Abiyasha dkk.
Ketetapan Hati Sebuah kumpulan cerita pendek
Ketetapan Hati Penulis Proofreader Penyunting Desain Sampul Penata Letak
: Abiyasha dkk. : Javas Nugroho : Shiki & Mario Bastian : Onky Sandhitya : Bagus Tito
Penerbit
Nulisbuku Self-Publishing ILP Center, Lt.3-01 Jl. Raya Pasar Minggu No.39A Pancoran, Jakarta Selatan. 12780 Email :
[email protected] Twitter: @nulisbuku Cetakan pertama, Oktober 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 27 Ayat 2 Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2
Daftar Isi Ketetapan Hati Anomali Arnawarna = Samudra Buku Nama Panji Caramel Raisin With Kismis Cendawan Dan Serangga Di Balik Nyanyian Bulbul Di Pelataran Senja Impian Kelas Bisnis Ijinkan Aku Berada di Sampingmu Pelajaran Hidup Rezha Sepasang Bayangan Seratus Empat Puluh Empat Sincerity Undangan Wa(nita)ria
9 21 35 51 65 77 93 107 121 143 157 171 185 197 213 223
3
4
Ketetapan Hati Abiyasha
“Kenapa kamu nekat ke sini? Papa sama Mama tahu?” Amarah yang sempat menguasaiku, tertelan oleh rasa khawatir ketika satu jam lalu, ponselku berdering dan mendapati nama Yodha di layar. Ketika aku mengetahui keberadaannya, tanpa memedulikan berkas-berkas pekerjaanku yang masih teronggok di meja, aku mengendarai motorku untuk menjemputnya di Terminal Ubung, Denpasar. Di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di Warung Ocha dan aku masih 5
menunggu jawaban atas satu-satunya pertanyaanku itu sejak kami sampai di sini, sejak ditemani riuhnya suara kendaraan yang berlalu lalang setengah jam yang lalu. Pertanyaan yang belum sempat aku ajukan ketika melihatnya menungguku di terminal tadi. “Kalau mereka tahu, aku nggak mungkin nyampe di sini sekarang, Mas. Tapi, aku akan cerita kalau udah pulang nanti. Paling Papa akan marah-marah dan Mama cuma bilang supaya aku nggak ngulangin ini lagi. Mas, aku ini udah 20 tahun, masak masih harus lapor ke manapun aku pergi sama Papa dan Mama?” Dengan ringan, Yodha menjawab kalimatku, seolah kepergiannya ke sini tidak akan punya dampak untuk kami berdua, terutama untuknya. Aku tidak keberatan dengan kedatangan Yodha, namun aku tidak ingin dia menceritakan kebohongan
kepada
Papa
dan
Mama
hanya
untuk
mengunjungiku. Aku lebih memikirkan apa yang harus Yodha tanggung nanti sepulangnya dia ke rumah setelah Papa dan Mama tahu. “Kamu tahu bukan itu masalahnya, Yodha.” Aku menghela napasku sebelum menandaskan setengah gelas Iced Lemon Tea yang sudah sepuluh menit ada di hadapanku. Tenggorokanku pantas mendapatkannya setelah kami menembus teriknya sinar matahari bulan Juni di Bali untuk sampai di sini. Yodha masih sibuk mengedarkan 6
pandangannya ke lalu lintas di Jalan Raya Seminyak dan mengabaikan jus jeruk yang tetes-tetes embunnya mulai membasahi permukaan meja di hadapannya. “Nicolas apa kabar, Mas?” “Baik. Mas yakin kalau dia juga akan punya reaksi yang sama seperti Mas kalau tahu kamu ke sini tanpa ngasih tahu Papa dan Mama.” Yodha
mengedikkan
bahunya
sambil
kembali
menatapku dengan ekspresinya yang seperti ingin bilang “Mau gimana lagi?” itu. Kami memang hanya saudara angkat dan meskipun sudah hampir dua tahun sejak kepergianku dari rumah, komunikasi kami tidak pernah putus. Yodha akan selalu mendapatkan kasih sayang dariku, sesuatu yang tidak mungkin bisa direnggut, bahkan oleh Nico sekalipun. “Kalau aku ngasih kabar, Mas Adit pasti juga ngelarang aku buat ke sini. Udahlah, Mas, aku udah di sini sekarang, nggak usah diomongin lagi bagaimana dan kenapanya. Aku tahu apa yang aku lakuin, Mas.” Aku memutuskan untuk menghela napas panjang. Kalau sudah seperti itu, apapun yang aku ucapkan selanjutnya hanya akan membuatnya semakin yakin bahwa tindakannya benar. “Papa sama Mama sehat, kan?” Hanya dari Yodha aku bisa mengetahui keadaan Papa dan Mama setelah aku pergi. Itupun terkadang Yodha tidak 7
mau memberitahuku secara rinci bagaimana keadaan mereka hingga selalu menimbulkan kekhawatiranku. Bagaimanapun juga, aku berutang begitu banyak pada kedua orangtua yang telah membesarkanku ketika mereka mengadopsiku dua puluh tujuh tahun yang lalu, saat aku masih berusia dua tahun. Aku berutang kehidupan yang tidak akan pernah bisa aku balas dengan apapun dan sampai kapanpun. “Papa sehat, Mama juga sehat, meskipun kadang mengeluh kalau dadanya sakit. Tapi, nggak terlalu sering kok, Mas. Biasanya setelah istirahat, Mama baikan lagi.” Aku mengangguk. “Kamu jaga Mama, ya?” Permintaan yang sama yang selalu aku bilang ke Yodha sebelum kami mengakhiri pembicaraan di telepon, setiap kali kami punya waktu untuk mengobrol. Tidak terlukiskan bagaimana rasa kangenku terhadap wanita yang sudah mengajarkanku begitu banyak pelajaran hidup serta kasih sayang melalui nasehat-nasehat bijaknya. Wanita yang telah membentukku menjadi pribadi yang tidak mudah mengumbar amarah dan emosi seperti sekarang. “Kapan Mas Adit pulang?” Pertanyaan yang juga cukup sering diajukan Yodha, sesering aku memintanya untuk menjaga Mama. Pertanyaan yang membuat hatiku selalu dipenuhi rasa bersalah sekaligus rindu yang saling tumpang tindih karena aku tidak tahu mana yang memiliki porsi lebih besar. Aku bisa mengelak setiap kali 8
Yodha menanyakan itu di telepon, namun kali ini, aku yakin Yodha tidak akan membiarkanku lolos dari pertanyaannya.
9