BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KHUSUS ANAK DI INDONESIA
A. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtra. Undang-Undang ini secara tegas mengatur mengenai perdagangan anak 42. Pasal 59 ayat (1) menegaskan “pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak 43. Perlindungan khusus kepada anak yang dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada 44:
a. Anak dalam situasi darurat; 42
Ibid, Halaman. 41. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 44 Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 43
44
Universitas Sumatera Utara
b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornogafi; g. Anak dengan HIV/AIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak Penyandang disabilitas; m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya. Pasal 76F Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu setiap orang dilarang
Universitas Sumatera Utara
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak” 45. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yaitu Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)” 46.
Pasal 20 Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan, yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemeritah, masyarakat, keluarga dan orangtua atau wali. Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam penyelenggaraan perlindungan anak, ditegaskan dalam Pasal 21 sampai Pasal 25 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 47. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan konprehensif tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan 45
Pasal 76FUndang-UndangNomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 46 Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 47 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit., Halaman. 123.
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk anak-anak korban perdagangan manusia, mengingat karakteristik kejahatannya sangat khas, perlu diberikan perlindungan khusus, antara lain sebagai berikut 48.
a.
Perlindungan berkaitan dengan identitas korban, terutama selama proses persidangan Tujuannya perlindungan ini adalah agar korban terhindar dari berbagai ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama proses persidangan berlangsung.
b.
Jaminan keselamatan dari aparat berwenang. Korban harus diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian.
c.
Bantuan medis, psikologis, hukum, dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada keluarga, dan komunitasnya.
d.
Kompensasi dan restitusi. Korban memperoleh kompensasi dan restitusi karena penderitaan korban juga merupakan tanggung jawab Negara
48
Ibid., Halaman. 127.
Universitas Sumatera Utara
B. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa perdagangan orang adalah sebagai berikut:
“Tindakan
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara
maupun
antar
negara,
untuk
tujuan
mengeksploitasi
atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.” Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, eksploitasi dijelaskan dalam Pasal 1 angka (7) yang menyebutkan bahwa : “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateril.”
Universitas Sumatera Utara
Unsur tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam defenisi diatas digunakan. Pelaku selalu menggunakan argumentasi bahwa korban telah setuju atau adanya persetujuan dari korban atau korban mau atau sepakat untuk ikut. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. Unsur tindak pidana ini juga menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat 49. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertian perekrutan dan pengiriman terdapat dalam Pasal 1 angka (9) dan angka (10) yang menyebutkan: “Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya Pengiriman adalah tindakan yang memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ketempat lain.” Kekerasan dalam rumusan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka (11) yang menyebutkan:
49
Farhana, op.cit., Halaman. 25-26.
Universitas Sumatera Utara
“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.” Ancaman kekerasan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang lebih terinci. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka (12) menyebutkan bahwa ancaman kekerasan adalah: “Setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.” Pemalsuan dalam tindak pidana perdagangan orang berkaitan dengan setiap yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dukumen negara atau dukumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang (Pasal 19) 50. Dokumen negara dalam ketentuan ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada paspor, KTP, Ijazah, kartu keluarga, akta kelahiran, surat nikah, dan dimaksud dengan dokumen lain dalam ketentuan ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada surat perjanjan kerja bersama, surat permintaan TKI, asuransi dan dokumen terkait 51.
50
Ibid., Halaman. 26-27. Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang 51
Universitas Sumatera Utara
Penyalahgunaan kekuasan dalam Undang-Undang Nomopr 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya tidak sesuai dengan tujuan poemberian kekuasaan tersebut atau menjalankan secara tidak sesuai dengan peraturan. Pengertian pemamfaatan posisi kerentanan tiadak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 52. Pengertian penjeratan utang dalam Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa 53: “Penjeratan utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau oorang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.” Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengenal penggolongan pelaku perdangan orang, antara lain:
1. Orang Perseorangan a. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi 52
Farhana, op.cit., Halaman. 27. Pasal 1 angka (15)Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 53
Universitas Sumatera Utara
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2). b. Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau eksploitasi di negara lain (Pasal 3) c. Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 4) d. Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi (Pasal 5), dan setiap orang yang melakukan pengiriman anak kedalam negeri atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi (Pasal 6) e. Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi (Pasal 9), dan setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 10) f. Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang g. Setiap orang yang menggunakan
atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang 54. 2. Kelompok terorganisir Kelompok terorganisir adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertiindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 yang bunyinya 55: “Dalam hal tindak pidana perdangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka pelaku setiap tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah sepertiga.”
3. Aparat Negara Penyelenggara Negara, yaitu pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum, atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang. Penyelenggara negara tidak dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 8 UU RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang bunyinya:
54
Ibid., Halaman. 122. Alfitra, op.cit., Halaman. 146
55
Universitas Sumatera Utara
Pasal 8 ayat (1) “Setiap penyelenggara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidan perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6.” Pasal 8 ayat (2) “Selain sanksi pidana sebagaiman dalam ayat (1), pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jababatannya.” Pasal 8 ayat (3) “Pidana tambahan sebagaiman dimaksud dalam ayat (2), dicantumkan sekaligus dalam amar putusan Pengadilan 56.”
4. Korporasi Subjek tindak pidana korporasi dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republuk Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 UU RI No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Isi dari Pasal tersebut sebagai berikut 57:
56
Ibid ., Halaman. 143. Ibid., Halaman. 142.
57
Universitas Sumatera Utara
Pasal 13 ayat (1) “Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-perorangan yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungn kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama.” Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.” Pasal 14 “Dalam hal pangilan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus ditempat pengurus berkantor, ditempat korporasi itu beroperasi atau ditempat tinggal pengurus.” Pasal 15 ayat (1) “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi berupa pidana denda dengan pemberian 3 kali dari pidana denda sebagaimana domaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”
Universitas Sumatera Utara
Pasal 15 ayat (2) “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidan tambahan, berupa pencabutan ijin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan/atau, pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama” Tindak pidana percobaan perdagangan orang dapat dihukum sesuia dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 9 yang menyebutkan: “Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supanya melakukan tindak pudana perdagang orang, dan tindak pidana itu terjadi, dipidana dengan pidan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta) rupiah dan paling banyak Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta) rupiah.” Pasal 9 diatas sejalan dengan Pasal 163 bis KUHP ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam Pasal 55 ke-2, mencoba menggerakkan oarang lain supaya elakukan kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun penjara dan denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika tidak mengakibatkan pidana atau percobaan kejahatan dipidana, tetapi
Universitas Sumatera Utara
dengan ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat daripada yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.” Penyertaan dalam tindak pidan perdagangan orang diatur dalam Pasal 16 yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisir tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).” Perlindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam bentuk dipidananya pelaku juga diwujudkan dalam pemenuhan hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut:
1. kerahasian identitas korban tindak tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua (Pasal 44) Kerahasiaan identitas merupakan perlindungan keamanan pribadi korban dan ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain. Kerahasiaan identitas korban ini menghindari penggunaan identitas korban seperti tentang sejarah pribadi, pekerjaan sekarang dan masa lalu, sebagai alasan untuk menggugurkan tuntutan korban atau untuk memutuskan tidak dituntut para pelaku kejahatan. Kerahasiaan identitas dan sejarah korban selain itu juga tidak boleh menjadi cataratan publik secara terbuka, sehingga dapat mempersulit yang bersangkutan untuk melaksanakan dan memenuhi hak-haknya
Universitas Sumatera Utara
sebagai manusia, perempuan atau anak kecuali jika diijinkan
identitasnya
dipublikasikan oleh korban.
2. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau haratanya (Pasal 47) Perlindungan keamanan dari ancaman terhadap diri, jiwa, dan/atau harta sangat diperlukan oleh korban, karena kerentanan korban yang diperlukan kesaksianya, dapat diteror dan di intimidasi dan lain-lain yang telah membuat korban tidak berminat melaporkan informasi penting yang diketahuinya. Korrban perlu ditempatkan pada suatu tempat yang dirahasiakan atau disebut rumah aman.Perlindungan terhadap korban diberikan baik sebelum, selama, maupun sesudah proses perkara. 3. Hak untuk mendapatkan restitusi (Pasal 48) Setiap korban atau ahli warisnya berhak untuk memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas: a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Penderitaan; c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau; d. Kerugian lain yang diderita korban bagai akibat perdagangan orang. Kerugian lain yang dimaksud ketentuan ini adalah kehilangan harta milik, biaya tranportasi dasar, biaya pengacara atau biaya yang berhubunga dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Restitusi tersebut diberikan dan
Universitas Sumatera Utara
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pemberian restitusi dilaksanakan dalam 14 (empat belas) hari terhitungt sejak diberitahukan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberian restitusi berupa ganti kerugian dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pelaku yang tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan penganti paling lama satu tahun.
4. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah (Pasal 51) Penjelasan undang-ndang tersebut bahwa rehabilitasi kesehatan maksudnya adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis. Rehabilitasi sosial maksudnya adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan peranya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Reintegrasi sosial maksudnya adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau penggatian keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak tas pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bawa korban benar-benar menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besr bagi korban tersebut. Pemerintah dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab dala bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial dan dapat dilaksanakan secra bersama-sama antar penelenggara kewenangan tingkat
Universitas Sumatera Utara
pusat, propinsi, dan kabupaten/kota khususnya darimana korban berasal atau bertempat tinggal. 5. Korban yang berada diluar negeri herhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas biaya negara (Pasal 54) Korban yang berada dilur negeri akan diberikan bantuanuntuk dipulangkan melalui perwakilan diluar negeri, yaitu kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya dengan biaya negara 58.
C. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindunghan saksi dan korban lahir pada tanggal 11 Agustus 2006. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan dan diberlakukan, sekalipun Undang-Undang ini harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, berlakunya Undang-Undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungansaksi dan korban kejahatan. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 direvisi sehingga melahirkan UndangUndang Nomor 31 tahun 2014. Dasar pertimbangan perlunya Undang-Undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan (dan saksi) disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian menimbang dari Undang-Undang ini, yang antara lain meyebutkan: penegak
58
Farhana, Op.cit., hlm180-182.
Universitas Sumatera Utara
hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan pelaku karean tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban yang disebabkan adanya ancamanfisik maupun psikis dari pihak tertentu. Saksi (korban) dalam suatu proses pengadilan pidana menempati peran kunci dalam mengungkapkan suatu kebenaran materil. Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama diatas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Saksi (korban) pada saat akan memberikan keterangan, tentunya harus disertai jaminan bahwa
yang bersangkutan terbebas dari rasa takut
sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan untuk memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan (pressure) dai pihak-pihak tertentu 59. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi diantara ketiganya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
59
Pasal 1 butir 26 KUHAP; yaitu orang dapat memberikan tentang suatu keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban yang meliputi 60 :
a.
Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.
Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.
Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.
Mendapat penerjemah;
e.
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.
Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g.
Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h.
Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i.
Dirahasiakan identitasnya;
j.
Mendapat identitas baru;
k.
Mendapat tempat kediaman sementara;
l.
Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n.
Mendapat nasihat hukum;
60
Dikdik Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit., Halaman. 151-153.
Universitas Sumatera Utara
o.
Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
p.
Mendapat pendampingan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
nomor 13 Tahun 2006 Pasal 5 ayat (2), hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK 61. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 62:
(1) Korban pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat selain berhak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabititasi psiko-sosial dan psikologis (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan LPSK
61
Ibid., Halaman. 154. Pasal 6Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 62
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana, meliputi :
a.
Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);
b.
Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya (Pasal 10 ayat 1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini merupakan lembaga mandiri yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, namun mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan 63.
D. Perda Nomor 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Pemerintah Sumatera Utara membuat suatu langkah maju dengan melahirkan suatu peratuaran daerah Trafiking yang disahkan pada tanggal 6 juli tahun 2004, oleh Gubernut Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin dan diundangkan tanggal 26 juli 2004.
63
Dikdik Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit., Halaman. 155.
Universitas Sumatera Utara
Perda ini memuat bahwa perdagangan perempuan dan anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat terhadap manusia dan melanggar hak asasi manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi terhadap penghormatan hak asasi manusia baik nasional maupun skala internasional. Perempuan adalah penerus generasi bangsa yang merupakan makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk itu perlu dilindungi harga diri dan martabatnya, serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya, karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam bergbagai bentuk pemamfaatan dan ekploitasi yang tidak berprikemanusiaan harus segera dihentikan. Sekelompok orang dalam kenyataannya masih ada yang dengan teganya telah memperlakukan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis, yakni melalui perdagangan manusia (Trafficking). Trafficking terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian 64. Nilai-nilai yang dianut/terkandung dalam pelaksanaan RAP P3A ini adalah 65:
a. Kepentingan terbaik untuk perempuan dan anak, yaitu bahwa dalam semua tindakan yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun masyarakat, swata, lembaga peradilan, lembaga pemerintahan atau badan 64
Chairul Bariah Mozasa, Op.cit., Halaman. 48-49. Maidin Gultom II op.cit., Halaman. 62-63.
65
Universitas Sumatera Utara
legislatif yang menyangkut anak dan perempuan harus menjadi pertimbangan utama; b. Kemitraan, yakni: segala upaya yang dilakukan dalam mengimplimentasiakan Rencana Aksi Propinsi harus dilakukansecara terkoordinatif dan melibatkan semua pihak yang terkait; c. Nondiskriminasi artinya, artinya: semua upaya perlindungan hak yang diakuai harus diberlakukan kepada setiap anak dan perempuan (korban maupun bukan korban) tanpa adanya perbedaan apapun; d. Transparansi dan memiliki integritas serta komitmen yang tinggi, artinya; pelaksanaan rencana aksi ini harus dilakukan secar terbuka, jujur, bebas dari tarikan kepentingan individu, terbebas dari korupsi, dan dilandasi keinginan yang hakiki demi penyelamatan korban (trafficking) perempuan dan anak; e. Propesional dan berkualitas, artinya: pelaksanaan rencana aksi propinsiini harus dilakukan sesuai dengan kemampuan, tugas, fungsi dan peran dari masing-masing institusi, baik yang bergabung dengan gugus tugas maupun stakeholder terkait dengan mengedepankan kualitas hasil dan dampak yang dirasakan target grup; f. Partisipasi anak dan perempuan, maksudnya bahwa pendapat anak dan perempuan (korban maupun bukan korban) terutama menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan dan kepentingannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Universitas Sumatera Utara