PENINGKATAN HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 26 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016 (Skripsi)
Oleh ASYTHARIKA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2016
ABSTRAK
PENINGKATAN HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 26 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh ASYTHARIKA
Masalah dalam penelitian ini adalah self esteem siswa rendah. Permasalahan penelitian ini “apakah self esteem dapat ditingkatkan dengan layanan konseling kelompok”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peningkatkan self esteem melalui layanan konseling kelompok pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 26 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015/2016. Metode penelitian ini bersifat eksperimen semu dengan desain one group pretest-posttest, dan dianalisis dengan menggunakan uji wilcoxon. Subjek penelitian sebanyak sepuluh siswa yang memiliki self esteem rendah. Teknik pengumpulan data menggunakan skala self esteem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan self esteem pada siswa setelah diberikan layanan konseling kelompok. hal ini ditunjukkan dari hasil pretest dan posttest harga diri yang diperoleh z hitung =-2,805 < z tabel 0,05 = 1,645., maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Kata kunci : bimbingan konseling, layanan konseling kelompok, self esteem
PENINGKATAN HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 26 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh ASYTHARIKA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN Pada Program Studi Bimbingan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING UNIVERSITAS LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Asytharika lahir di Bandar Lampung tanggal 21 November 1992, sebagai anak pertama dari tiga saudara buah hati Bapak M. Tamkin AL dan Ibu Sulastri.
Pendidikan formal penulis diawali dari Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Muhajirin Semuli Jaya Kecamatan Abung Semuli Kabupaten Lampung Utara diselesaikan tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Raja Basa Bandar Lampung lulus tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8 Bandar Lampung lulus tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 14 Bandar Lampung lulus tahun 2011.
Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan, Program studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas lampung. Pada Tahun 2014, Penulis melaksanakan Praktek Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (PLBK-S) di SMP Negeri 1 Kota Agung Timur Kabupaten Tanggamus.
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur pada Allah SWT atas terselesaikannya penulisan skripsi ini yang kupersembahkan karya kecilku ini pada :
Teruntuk Ayahanda Muhammad Tamkin dan Ibunda Sulastri tercinta, tak lebih, hanya sebuah karya sederhana ini yang bisa kupersembahkan. Khusus bagi Ibundaku, aku ingin engkau merasa bangga telah melahirkanku kedunia ini. Adik-adikku yang kusayang: Atqonnisa dan Muhammad Ibrohim Suta Serta Keluarga Besarku.
-
Asytharika -
MOTTO
“Barang siapa bertaqwa pada Allah, maka Allah memberikan jalan keluar kepadanya dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barang siapa bertaqwa pada Allah, maka Allah menjadikan urusannya menjadi mudah.”. (QS Ath-Thalaq: 2-3)
You may never know what results come of your action, but if you do nothing there will be no result (Mahatma Gandhi)
SANWACANA
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha penyayang. Segala puji bagi Allah SWT yang tak henti-hentinya melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Peningkatkan Harga Diri (Self Esteem) Dengan Layanan Konseling Kelompok Pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 26 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015/2016” ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Lampung.
Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum,. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;
2.
Ibu Dr. Riswanti Rini, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Lampung;
3.
Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si. selaku Ketua Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Lampung dan selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan masukan dan bimbingan demi terselesaikannya skripsi ini dengan baik;
4.
Ibu Ratna Widiastuti, S.Psi., M.A., Psi. selaku Pembimbing Pembantu yang telah memberikan motivasi, bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis selama ini;
5.
Ibu Diah Utaminingsih, S.Psi., M.A., Psi. selaku dosen penguji terima kasih atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini;
6. Bapak dan Ibu Dosen Bimbingan dan Konseling Unila. Terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama ini; 7. Bapak dan Ibu staf dan karyawan FKIP Unila, terima kasih atas bantuannya selama ini dalam membantu menyelesaikan segala keperluan administrasi; 8.
Bapak Zamhasri, M.Pd selaku Kepala SMP Negeri 26 Bandar Lampung dan Ibu Dewi, S.Pd selaku guru bimbingan dan konseling, terima kasih telah berkenan memberikan izin dan kesediaannya membantu penulis untuk melaksanakan penelitian;
9.
Kedua orang tuaku tercinta yang tak henti-hentinya menyayangiku, memberikan do’a, dukungan, semangat serta menantikan keberhasilanku;
10. Adik-adikku tercinta Atqon dan Rohim yang tak henti-hentinya memberikan semangat serta canda tawa disetiap harinya 11. Sahabat-sahabatku: Jeje, Liana, Ratih, Nindy, Melly, Pipit, Nisa, Opi terima kasih telah mewarnai hari-hariku; 12. Sahabat-sahabat seperjuanganku bimbingan dan konseling Universitas Lampung. 13. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat Bimbingan dan Konseling Unila terima kasih untuk do’a dan dukungannya;
14. Teman-teman KKN dan PLBK Uya, Tere, Dilah, Sugeng, Uci, Eriska, Enggar, Ivah, Ajeng, Bang Udin, Bang Aji, Bang Wawan, Ibu Via, Pak Ncah, Dek Sashi, Dek Ardi, Dek Fani, Dek Giri, Dek Adi, dan Dek Ari terima kasih atas canda tawa kalian selama tiga bulan, kebersamaan itu membuat KKN dan PLBK terasa begitu menyenangkan; 15. Semua yang mengisi dan mewarnai hidupku, terima kasih atas kasih sayang, kebaikan dan dukungannya untukku selama ini; 16. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih.
Semoga Allah SWT membalas amal kebajikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga bermanfaat. Aamiin.
Bandarlampung, Penulis
Asytharika
2016
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 2. Identifikasi Masalah .......................................................................... 9 3. Pembatasan Masalah ......................................................................... 9 4. Rumusan Masalah ............................................................................. 9 B. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................................. 10 1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10 2. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10 C. Ruang Lingkup penelitian ..................................................................... 10 1. Ruang Lingkup Ilmu ......................................................................... 11 2. Ruang Lingkup Objek ....................................................................... 11 3. Ruang Lingkup Subjek...................................................................... 11 4. Ruang Lingkup Wilayah ................................................................... 11 5. Ruang Lingkup Waktu ...................................................................... 11 D. Kerangka Pikir ...................................................................................... 11 E. Hipotesis .............................................................................................. 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hargadiri (self esteem)danBimbinganPribadi ............................................. 18 1. BidangBimbinganPribadi ................................................................. 18 2.PengertianSelf Esteem ....................................................................... 21 3. SumberSelf Esteem ........................................................................... 25 4. Cara MeningkatkanSelf Esteem ........................................................ 30 5. Self EsteemRendah ........................................................................... 32 6. Self EsteemTinggi ............................................................................. 34 7. HambatanUtamaMenghargaiDiriSendiri .......................................... 37 8. Cara-Cara NegatifMengatasiSelf Esteem ......................................... 38 9. Cara-Cara PositifMengatasiSelf Esteem ........................................... 39 B. Konseling Kelompok ................................................................................... 42
1.PengertianKonseling kelompok ........................................................ 42 2. Dinamika Kelompok ........................................................................ 45 3. Asas Konseling Kelompok ............................................................... 48 4. TujuanLayananKonselingKelompok.…………………………….49 5. Faktor-Faktor Yang MempengaruhiKonselingKelompok ............... 52 6. StrukturKonseling Kelompok .......................................................... 56 7. TahapanKonselingKelompok ........................................................... 59 8.KegiatanLayananKonselingKelompok ............................................. 64 9. TeknikKonselingKelompok……………………………………….66 C. Peningkatan Self Esteem Dengan Layanan Konseling Kelompok ....... 69 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 72 B. Metode Penelitian................................................................................. 72 C. DesainPenelitian ................................................................................... 73 D. SubyekPenelitian…………………………………………………….. 74 E. VariabeldanDefinisiOperasional .......................................................... 75 1. Variabel Penelitian .......................................................................... 75 2. Definisi Operasional ........................................................................ 76 F. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 77 1. Skala ................................................................................................ 78 G. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ......................................................... 81 1. Uji Validitas..................................................................................... 81 2. Uji Reliabilitas ................................................................................. 85 H. Teknik Analisis Data ............................................................................ 86 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HasilPenelitian ..................................................................................... 88 1. GambaranSubyekPenelitian (Prestest)........................................... 88 2. Deskripsi Data ................................................................................ 89 B. PelaksanaanLayananKonselingKelompok ........................................... 91 1. Deskripsi Data PretestdanPosttest ................................................. 99 2. Analisis Data HasilPenelitian......................................................... 100 C. DeskripsiHasil yang diperolehdariSetiapPertemuan ............................ 103 D. Pembahasan .......................................................................................... 132 V. Kesimpulandan Saran A. Kesimpulan .......................................................................................... 140 1. Kesimpulanstatistik ........................................................................ 140 2. Kesimpulanpenelitian ..................................................................... 141 B. Saran ..................................................................................................... 141 1. Kepadasiswa ................................................................................... 141 2. Kepada guru bimbingandankonseling ............................................ 141 3. Kepadaparapeneliti ......................................................................... 141 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Skema kerangka pikir ..................................................................................... Gambar 3.1 one group pretest posttest design ................................................................... Gambar 4.1 grafik peningkatan self esteem siswa ............................................................. Gambar 4.2 grafik peningkatan self esteem Agus ............................................................. Gambar 4.3 grafik peningkatan self esteem Atala ............................................................ Gambar 4.4 grafik peningkatan self esteem Egip .............................................................. Gambar 4.5 grafik peningkatan self esteem Gustia ........................................................... Gambar 4.6 grafik peningkatan self esteem Ichsan ........................................................... Gambar 4.7 grafik peningkatan self esteem Ade .............................................................. Gambar 4.8 grafik peningkatan self esteem Rizky ............................................................ Gambar 4.9 grafik peningkatan self esteem Putri ............................................................. Gambar 4.10 grafik peningkatan self esteem Saprisal ...................................................... Gambar 4.11 grafik peningkatan self esteem Yuana .........................................................
16 73 94 100 104 107 110 113 116 118 121 124 126
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kriteria penilaian skala ....................................................................................... Tabel 3.2 Blue print skala self esteem siswa....................................................................... Tabel 3.3 Kriteria self esteem ............................................................................................. Tabel 3.4 Hasil judgment expert dengan Aiken’s V ............................................................ Tabel 4.1 Daftar subjek penelitian...................................................................................... Tabel 4.2 Kriteria self esteem konseling kelompok............................................................ Tabel 4.3 Hasil pretest sebelum pemberian layanan konseling kelompok......................... Tabel 4.4 Jadwal pelaksanaan kegiatan layanan konseling kelompok ............................... Tabel 4.5 Data hasil skala self esteem siswa sebelum dan setelah layanan konseling kelompok............................................................................................................ Tabel 4.6 Deskripsi masalah anggota kelompok ................................................................ Tabel 4.7 Skor perubahan self esteem Agus sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.8 Skor perubahan self esteem Atala sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok ......................................................................................... Tabel 4.9 Skor perubahan self esteem Egip sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.10 Skor perubahan self esteem Gustia sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.11 Skor perubahan self esteem Ichsan sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.12 Skor perubahan self esteem Ade sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.13 Skor perubahan self esteem Rizky sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.14 Skor perubahan self esteem Putri sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.15 Skor perubahan self esteem Saprisal sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok .......................................................................................... Tabel 4.16 Skor perubahan self esteem Yuana sebelum dan sesudah kegiatan layanan konseling kelompok ..........................................................................................
79 79 81 82 89 90 90 91 99 101 106 109 112 115 118 121 124 126 128 131
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Blue Print Kisi-Kisi Skala................................................................... 2. Skala Self Esteem ................................................................................ 3. Hasil Uji Ahli 3 dosen......................................................................... 4. Perhitungan Uji Validitas.................................................................... 5. Hasil Uji Reliabilitas........................................................................... 6. Laporan Hasil Uji Coba ...................................................................... 7. Tahap Pelaksanaan Penelitian............................................................. 8. Penjaringan Subyek ............................................................................ 9. Hasil Pretest dan Posttest ................................................................... 10. Perhitungan Presentase Pretest Posttest ............................................ 11. Tabel Distribusi Z ............................................................................... 12. Uji Wilcoxon SPSS............................................................................. 13. Satuan Layanan ................................................................................... 14. Dokumentasi .......................................................................................
146 148 153 157 165 166 171 172 174 176 177 180 181 189
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang harus dilewati oleh setiap individu dalam tiap rentang kehidupan manusia. Kata remaja berasal dari bahasa latin adolescene yang berarti to grow atau to grow maturity (Jahja, 2011:219). Masa remaja dibagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dari umur 13 hingga 16 tahun dan masa remaja akhir dari umur 16 hingga 18 tahun (Jahja, 2011:220). Pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, terjadi perubahan dalam hubungan dengan orang tua, cita-cita dan orientasi masa depan.
Hal-hal yang sering dihadapi oleh para remaja pada umumnya adalah gejolak emosi dan masalah remaja lain, yaitu adanya konflik peran. Pada masa ini remaja
akan
mulai
menyampaikan
kebebasan
dan
haknya
untuk
mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak dihindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan. Remaja lebih mudah dipengaruhi temantemannya, ini berarti pengaruh orang tuapun melemah.
Jika remaja tidak
berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dalam rangka konflik peran karena
2
terlalu mengikuti gejolak emosinya, maka besar kemungkinan ia akan terperangkap ke jalan yang salah.
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, namun belum termasuk golongan orang dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan fisik individu yang disebabkan oleh pertambahan hormon yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan emosi. Pada masa ini seorang anak tidak lagi hanya bersifat reaktif, tetapi juga mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka menemukann dirinya (akunya), serta mencari pedoman hidup, untuk bekal kehidupannya mendatang. Dalam menemukan dirinya individu mulai menyadari akan keberadaan dirinya, yang lebih dalam dibanding pada sebelumnya. Serangkaian perubahan psikologis akan menyertai perkembangan fisik seorang remaja. Adanya proses tersebut berdampak pada perubahan sikap dan penyesuaian diri dengan lingkungan, sehingga akan memotivasi remaja untuk melakukan perubahan-perubahan dalam menghadapi kondisi baru agar diterima di dalam lingkungannya (Santrock,2002: 89).
Remaja sebagai seorang individu yang sedang dalam proses berkembang, yaitu berkembang
kearah
kematangan
atau
kemandirian,
untuk
mencapai
kematangan tersebut remaja memerlukan bimbingan karena masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya. Juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan
3
dalam alur lancar, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Sekolah sebagai tempat mempersiapkan remaja untuk dapat hidup lebih baik di masa depannya menyuguhkan materi/pelajaran yang lebih mengedepankan perkembangan kognitif anak. Padahal, mengarungi kehidupan tidak sematamata bermodalkan kecerdasan akademik. Lebih dari itu, sisi emosional seorang individu bahkan dapat memegang peran lebih dominan daripada intelegensi. Sejalan dengan tujuan sekolah untuk mengembangkan kompetensi siswa dari berbagai macam aspek, perlu disadari bahwa terdapat beberapa sisi psikologis yang hendaknya juga ditumbuhkan dalam proses pembelajaran di kelas, yaitu pengendalian diri, kebutuhan berprestasi dan penguasaan, serta self esteem. Hal ini dikarenakan masa remaja ialah pencarian identitas diri. Pencarian diri ialah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Jahja, 2011:237).
Self esteem dapat dilihat sebagai karakteristik kepribadian disfungsional yang terbentuk sangat awal dalam hidup dan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Siswa yang memiliki self esteem rendah berorientasi negatif terhadap pemecahan masalah dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kemarahan dan permusuhan, selain itu siswa yang memiliki self esteem rendah merupakan indikasi dari kepribadian yang tidak berfungsi normal, selalu berfikiran negatif tentang permasalahn dalam hidup karena tidak mampu menghadapi
kenyataan
atau
segala
konsekuensi
(Mruk,
2006:84).
4
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Jahja, 2011:234). Dibanding pada masa anakanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstrakulikuler, dan bermain dengan teman (Jahja, 2011:234).
Berbicara mengenai self esteem, keberadaan self esteem mengacu pada harapan diterima dan dihargainya individu oleh orang-orang disekitamya. Self esteem terbentuk dari masa bayi dan berubah ketika beranjak dewasa. Menurut Matthew (2000:280) “From your smile a baby learns that he is delightful, from your touch a baby learns that he is safe. From your responsiveness to his crying, a baby learns that he is effective and important. These are the first lessons about his worth and the building blocks of self-esteem” yang artinya dari senyum bayi belajar bahwa ia menyenangkan, dari sentuhan bayi belajar bahwa ia aman, dari respon ketika menangis bayi belajar bahwa ia penting. Ini adalah pelajaran pertama tentang self esteem dan pembentukan self esteem (Matthew, 2000:280). Maka dari itu self esteem perlu mendapat penanganan khusus dari guru bimbingan konseling, sehingga self esteem yang rendah dapat ditingkatkan.
Self esteem memiliki peranan yang penting dalam menciptakan kondisi atau suatu proses yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan potensi diri dan perkembangan dirinya sehingga dapat tercapai pula prestasi belajar dan kehidupan
yang baik serta dalam perkembangannya individu dapat
mengaktualisasikan dirinya. Maslow (Santrock, 2010:334). Dalam hal ini
5
sudah tentu peran guru bimbingan konseling sangat penting, bagaimana guru bimbingan konseling melakukan usaha-usaha untuk dapat mengembangkan self esteem agar siswa melakukan aktivitas belajar dan kehidupan dengan baik.
Peranan guru bimbingan dan konseling adalah mendampingi siswa dalam beberapa hal, antara lain dalam perkembangan belajar/akademis, mengenal diri sendiri, dan peluang masa depan mereka, menentukan cita-cita dalam tujuan hidupnya, dan menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu, serta mengatasi masalah pribadi. Dalam meningkatkan self esteem ada teori yang menyatakan bahwa self esteem dapat ditingkatkan menggunakan konseling kelompok, dalam bimbingan dan konseling terdapat dua layanan yang diberikan secara kelompok, yaitu bimbingan kelompok dan konseling kelompok. Menurut Mruk (2006:188) “This form of the program can be offered as a psychoeducational group for non-clinical populations or as a therapeutic group for clinical ones. I point out distinctions between the two when necessary and sug- gest guidelines to help structure them appropriately for each population. Both forms of the group are designed for about 6–12 people, plus a leader or two co-therapists. It is a good idea to keep a group designed to enhance self-esteem for clinical populations near the middle of this range, as other” yang artinya self esteem dapat ditingkatkan dengan kelompok yang terdiri dari populasi yang memiliki masalah terhadap self esteem. Setiap individu akan dijadikan sebuah kelompok untuk menyelesaikan masalah yang dialaminya dengan cara menyajikan prosedur langkah demi langkah untuk digunakan sebagai metode untuk mencapai tujuan tersebut.
6
Berdasarkan penjelasan diatas, self esteem dapat didefinisikan sebagai evaluasi diri secara keseluruhan. Keseluruhan ini meliputi penilaian positif atau negatif. Individu yang memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya atau memiliki tingkat self esteem yang tinggi akan mampu memilih dan memilah perilaku mana yang pantas dan perilaku mana yang tidak pantas dilakukan. Individu tersebut akan lebih percaya diri dalam menentukan sikap apa yang harus dilakukan, tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk karena dapat bersikap tegas dan tidak takut mengungkapkan pendapatnya. Dengan bersikap tegas atau asertif seseorang dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, dan hak-hak pribadinya tanpa melanggar hak atau merugikan orang lain.
Self esteem dalam bimbingan dan konseling merupakan bimbingan pribadi. Dalam kenyataannya, pelaksanaan bimbingan pribadi dihadapkan pada banyak kesulitan dan hambatan. Sebagian dari hambatan ini timbul karena keadaan dunia pendidikan sekolah di Indonesia yang masih dalam taraf perkembangan dan kehidupan remaja yang sangat rentan akan keadaan dirinya, sebagian timbul karena sikap keluarga yang mengharapkan ini dan itu atau kurang mendukung perkembangan psikis anak, sebagian timbul karena sikap siswa sendiri yang kurang mampu mengenali diri sendiri, menerima diri sendiri, mengatur dirinya sendiri, sebagian lagi timbul karena guru kurang mampu dalam mengelola proses belajar mengajar yang menunjang pengembangan diri.
7
Individu dengan self esteem yang tinggi akan menjadi manusia yang memiliki jiwa yang bahagia dan sehat. Self esteem yang tinggi tersebut akan memberikan manfaat bagi individu yang memilikinya. Individu tersebut akan merasa baik tentang dirinya, mampu mengatasi secara efektif permasalahan yang ada dengan menganggapnya sebagai tantangan, dan hidup dengan lingkungan sosial
di
mana
dia
percaya
bahwa
orang
akan
menghargai
dan
menghormatinya. Sebagian besar orang dengan self esteem yang tinggi muncul untuk hidup bahagia dan produktif.
Sebaliknya, self esteem yang rendah telah ditemukan berhubungan dengan kemarahan dan permusuhan, dan beberapa masalah khusus dimensi yang berkaitan dengan kemarahan, permusuhan, dan agresi. Individu yang berorientasi lebih negatif terhadap masalah dalam hidup cenderung untuk melihat masalah sebagai ancaman daripada tantangan, meragukan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah secara efektif, dan menunjukkan toleransi yang rendah untuk masalah (yaitu, mudah menjadi frustrasi dan marah ketika dihadapkan dengan masalah).
Selain itu, kemarahan dan permusuhan yang kerap kali muncul menyebabkan semakin besarnya kemungkinan individu tersebut tidak disenangi oleh orangorang di sekitar lingkungan tinggalnya. Mereka dengan self esteem yang rendah diyakini sebagai individu yang psikologisnya tertekan atau mungkin bahkan depresi. Menurut Mruk (2006:84) “research shows that those who live this type of low self-esteem tend to reject positive feedback, focus on negative
8
information about themselves, avoid risk, and so forth” yang artinya individu dengan self esteem yang rendah melihat dunia melalui filter lebih negatif, dan tidak menyukai persepsi umum tentang gambaran dari segala sesuatu di sekitarnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rendahnya self esteem perlu mendapat penanganan khusus, sehingga self esteem yang rendah dapat ditingkatkan. Pada penelitian ini penulis mencoba mengemukakan alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut melalui layanan konseling kelompok. Adapun hal yang mendasari penulis menggunakan teknik layanan konseling kelompok dalam meningkatkan self esteem ialah adanya beberapa teori yang menyatakan bahwa self esteem dapat ditingkatkan dengan menggunakan sistem kelompok. Dalam hal ini peneliti menggunakan layanan konseling kelompok dengan dinamika kelompoknya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik meneliti tentang Peningkatan self esteem siswa dengan Layanan Konseling Kelompok di SMP Negeri 26 Bandar Lampung ketika melakukan wawancara menunjukkan bahwa self esteem yang dimiliki oleh siswa kelas VIII di SMP Negeri 26 Bandar Lampung cenderung rendah. Dari masalah diatas, melalui konseling kelompok ini diharapkan dapat meningkatkan self esteem siswa terhadap penilaian diri sendiri. Konseling kelompok menjadi salah satu cara yang dapat digunakan oleh guru dalam meningkatkan self esteem siswa.
9
2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu: 1. Terdapat siswa yang enggan mengungkapkan pendapatnya dengan orang lain 2. Terdapat siswa yang beranggapan teman-temannya tidak menyukainya 3. Terdapat siswa yang menyatakan gagal sebelum mencoba 4. Terdapat siswa yang beranggapan temannya lebih baik dari dirinya 5. Terdapat siswa yang menjauhkan diri dari temannya 6. Terdapat siswa yang marah ketika dikritik temannya 7. Terdapat siswa yang tampak ketergantungan terhadap teman 8. Terdapat siswa yang mengabaikan tugas yang diberikan guru
3. Batasan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah “Peningkatan self esteem dengan layanan konseling kelompok pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 26 Bandar Lampung tahun pelajaran 2015/2016?”
4. Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah self esteem siswa yang rendah maka yang menjadi rumusan masalah ini adalah “ Apakah self esteem siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan layanan konseling kelompok ”.
10
B. Tujuan, Manfaat, dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai peneliti adalah untuk mengetahui apakah self esteem dapat ditingkatkan dengan menggunakan layanan konseling kelompok.
2. Manfaat Penelitian Kegunaan dari pelaksanaan yang dilakukan, dapat dirinci manfaat teoritis dan praktis. 1. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep-konsep Bimbingan Konseling untuk meningkatkan self esteem. 2. Secara praktis a. Bahan masukan guru bimbingan dan konseling dalam memberikan bantuan yang tepat terhadap siswa-siswa untuk meningkatkan self esteem siswa dalam hal komunikasi dan penyesuaian diri. b. Dapat di jadikan suatu sumbangan informasi, pemikiran bagi guru pembimbing, peneliti selanjutnya dan tenaga kependidikan lainnya dalam penggunaan Konseling Kelompok untuk meningkatkan self esteem siswa yang rendah. C. Ruang Lingkup Penelitian Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini agar penelitian ini lebih jelas dan tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, diantaranya adalah:
11
1.
Ruang lingkup ilmu Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu bimbingan dan konseling.
2. Ruang lingkup objek Ruang lingkup objek dalam penelitian ini adalah meningkatkan self esteem siswa melalui layanan konseling kelompok yang diberikan konselor sekolah. 3. Ruang lingkup subjek Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 26 Bandar Lampung Tahun 2015/2016. 4. Ruang lingkup wilayah Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah SMP Negeri 26 Bandar Lampung. 5. Ruang lingkup waktu Ruang lingkup waktu dalam penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2015/2016.
D. Kerangka Pikir Remaja biasanya mulai mengalami kebingungan dengan identitas diri mereka Pencarian identitas diri menjadi penting selama masa remaja karena remaja dihadapkan pada sejumlah perubahan psikologis, fisiologis, seksual, kognitif/intelektual, dan sosial yang beragam. Pada masa remaja, Individu mulai mencari tahu siapa diri mereka, seperti apa watak mereka dan bagaimana orang lain menilai diri mereka. Pembentukan self esteem pada
12
remaja sangat penting karena akan mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, serta pemahaman dan penerimaan terhadap dirinya sendiri.
Menurut Rogers (Jarvis, 2011:89) self esteem dapat didefinisikan sebagai seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Rogers meyakini bahwa kita memiliki citra diri dalam pikiran kita seperti keadaan kita sekarang, sekaligus citra diri kita yang ideal (ideal-self), yaitu citra diri yang kita inginkan. Jika kedua citra itu kongruen (artinya, sama), kita akan mengembangkan harga diri yang baik. Perkembangan kongruen dan self esteem
bergantung pada
penghargaan positif tak bersyarat (unconditional positif regard) dari orang lain berupa penerimaan, cinta, dan kasih sayang. Tanpa penghargaan positif tak bersyarat dalam tingkat tertentu, kita tidak bisa mengaktualisasikan diri.
Maslow (Jahja, 2011:23) berpendapat bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh individu, yang dibagi menjadi lima yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Apabila keempat kebutuhan telah terpenuhi maka ia akan didorong oleh kebutuhan yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dari semua bakat, pemenuhan semua kualitas, dan kapasitas, sesuai dengan potensi seseorang untuk menjadi, atau dengan kata lain aktualisasi diri menunjukkan kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan kemampuannya untuk menjadi diri
13
sendiri sesuai dengan kemampuanya. Sehingga individu yang tidak dapat mencapai aktualisasi diri akan mengalami selalu mengeluh dan merasa kesusahan, tidak mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun kekurangan, tidak mampu mengendalikan emosi, tidak memiliki rasa tanggung jawab, dan bergantung kepada orang lain.
Gazda (Lubis, 2011:198) konseling kelompok merupakan hubungan antara beberapa konselor dan beberapa klien yang berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari. Ia menyatakan bahwa konseling kelompok ini bertujuan untuk memberikan dorongan dan pemahaman pada klien untuk memecahkan masalahnya.
Sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Gazda tersebut, Awang (Lubis, 2011:198) juga menjelaskan bahwa ciri utama konseling kelompok adalah berfokus pada pemikiran sadar, tingkah laku, dan menerapkan interaksi terbuka. Ia menambahkan bahwa klien konseling kelompok adalah individu yang normal dan konselor bertindak sebagai fasilitator yang menggerakkan klien. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Coopersmith dan Rosenberg (Jarvis, 2011:105) yaitu
penting bagi kita untuk mengukur
bagaimana seseorang menilai dirinya melalui bagaimana mereka dilihat oleh orang lain yang berperan penting atau berpengaruh dalam kehidupan mereka, seperti teman sebaya, lingkungan, masyarakat, dan anggota keluarga. Sehingga siswa yang mengalami self esteem rendah baik di sekolah, di rumah dengan orang tua, di lingkungan masyarakat. Juga dilingkungan bergaul
14
dengan teman sebaya. Perlu diperhatikan dengan serius oleh guru pembimbing konselor sekolah karena permasalahan ini dapat mengganggu siswa dalam proses belajar.
Jika siswa merasa dirinya tidak diterima maka akan banyak permasalahan yang menghambat siswa dalam proses pendidikan. Ketika self esteem siswa rendah maka akan berdampak pada kemampuan bersosialisasi siswa diantaranya perilaku: 1. Ingin menyendiri. Remaja biasanya mulai menarik diri dari berbagai kegiatan keluarga dan sering bertengkar dengan teman- teman. Sering melamunkan betapa seringnya ia merasa bersalah. 2. Antagonisme Sosial. Remaja sering kali tidak mau bekerja sama, sering membantah dan menentang.
3. Emosi yang meninggi. Kemurungan, ledakan amarah dan cenderung menangis karena hasutan yang sangat kecil. 4. Hilangnya kepercayaan diri. Anak yang tadinya sangat yakin pada diri sendiri, sekarang menjadi kurang percaya diri dan takut pada kegagalan karena daya trik menurun dengan adanya orang tuanya.
15
Dari hal tersebut di atas maka sebagai guru bimbingan konseling yang mengerti akan peranannya sebagai konselor sekolah agar bimbingan konseling di sekolah dapat berjalan dengan baik maka konselor sekolah memiliki kewajiban dalam menangani masalah tersebut. Termasuk masalah self esteem siswa. Upaya konselor sekolah dalam menangani masalah rendahnya self esteem siswa dapat dilakukan dengan menggunakan layanan konseling kelompok.
Menurut (Mruk, 2006:188 “This form of the program can be offered as a psychoeducational group for non-clinical populations or as a therapeutic group for clinical ones. I point out distinctions between the two when necessary and sug- gest guidelines to help structure them appropriately for each population. Both forms of the group are designed for about 6–12 people, plus a leader or two co-therapists. It is a good idea to keep a group designed to enhance self-esteem for clinical populations near the middle of this range, as other” yang bermakna selain melalui layanan individu, self esteem dapat juga ditingkatkan melalui kelompok, dalam kelompok memungkinkan individu untuk terlibat dalam dialog, sehingga masing-masing individu dapat menyimpulkan masalahnya. Siswa yang mengikuti kegiatan konseling kelompok dapat secara langsung berlatih menciptakan dinamika kelompok, yaitu berlatih berbicara, menanggapi, mendengarkan, dan bertenggang rasa dalam suasana kelompok.
16
Dalam kegiatan konseling kelompok memungkinkan siswa sebagai anggota kelompok akan saling berkomunikasi dan berinteraksi. Siswa akan dilatih berbicara, menanggapi, mendengarkan, bertenggang rasa dan saling menghargai. Keadaan yang demikian, jika dapat dilakukan maka akan memungkinkan siswa untuk bisa melatih diri dan mengembangkan dirinya dalam memahami dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya sehingga self esteem siswa dapat meningkat, dengan demikian pada tahap–tahap dalam melakukan konseling kelompok siswa dilatih kepercayaan diri, dilatih bagaimana
mengungkapkan
pendapat,
merespon
kata–kata
teman,
mengekspresikan perasaannya, siswa dilatih untuk dapat menerima dirinya juga temannya, hal ini ketika dinamika kelompok berjalan dengan baik maka penghargaan terhadap dirinya akan meningkat.
Dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa konseling kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan self esteem siswa . Berdasarkan uraian di atas kerangka pikir dalam penelitian ini sebagai berikut : Self esteem rendah
Self esteem tinggi
Layanan Konseling kelompok Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
17
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Bandarlampung yang memiliki self esteem
rendah diberikan layanan
konseling kelompok sebagai upaya meningkatkan self esteem dengan mengembangkan kemampuan setiap anggota untuk saling berbagi informasi, berbagi pengalaman dan menambah wawasan dengan dinamika kelompok didalamnya untuk meningkatkan self esteem rendah siswa tersebut, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal.
E. Hipotesis Hipotesis
adalah
suatu
jawaban
yang
bersifat
sementara
terhadap
permasalahan penelitian seperti terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006:71). Hipotesis penelitian yang penulis ajukan adalah bahwa self esteem siswa di sekolah dapat ditingkatkan melalui layanan konseling kelompok pada siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015/ 2016. Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, penulis mengajukan hipotesis statistik penelitian ini sebagai berikut : Ho : self esteem siswa tidak dapat ditingkatkan melalui konseling kelompok pada siswa kelas VIII di SMP N 26 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015/ 2016. Ha : self esteem siswa dapat ditingkatkan melalui konseling kelompok pada siswa kelas VIII di SMP N 26 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015/ 2016.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri (Self Esteem) 1. Harga Diri dalam Bidang Bimbingan Pribadi Secara umum tujuan penyelenggaraan bantuan pelayanan bimbingan dan konseling adalah membantu siswa menemukan karakter pribadinya, dalam hal mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya, serta menerima dirinya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut.
Bimbingan juga membantu siswa dalam rangka mengenal lingkungan dengan maksud agar peserta didik mengenal secara obyektif lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik dan menerima berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis pula. Pengenalan lingkungan itu meliputi lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan alam, dan masyarakat sekitar serta lingkungan yang lebih luas yang diharapkan
dapat
menunjang
dimanfaatkan
sebesar-besarnya
untuk
pengembangan diri secara mantap dan berkelanjutan. Selanjutnya membantu siswa dalam rangka merencanakan masa depan dengan maksud agar peserta didik mampu mempertimbangkan dan mengambil keputusan tentang masa depan dirinya sendiri. Salah satu bidang bimbingan dan konseling terutama
19
mengenai hal-hal menyangkut studi pengembangan diri adalah bidang bimbingan pribadi. a. Pengertian Bidang Bimbingan Pribadi Bimbingan pribadi (personal guidance) merupakan bidang bimbingan dan konseling yang diarahkan kepada pengembangan individu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan individu secara psikis, sehingga yang bersangkutan memiliki sarana objektif yang cukup untuk mengembangkan potensi diri dalam kehidupan individunya dan masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Prayitno (2004:16) mengartikan bahwa “layanan bimbingan pribadi adalah membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, mantap dan mandiri serta sehat jasmani dan rohani”.
b. Tujuan Bidang Bimbingan Pribadi Bidang bimbingan pribadi ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME. 2. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yg bersifat fluktuatif (antara anugerah dan musibah) & mampu meresponnya dengan positif. 3. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif 4. Memiliki sikap respek terhadap diri sendiri
20
5. Dapat mengelola stress 6. Mampu mengendalikan diri dari perbuatan yang diharamkan agama 7. Memahami perasaan diri dan mampu mengekspresikan perasaan tersebut secara wajar 8. Memiliki kemampuan memecahkan masalah 9. Memiliki rasa percaya diri 10. Memiliki mental yang sehat 11. Mengembangkan potensi diri melalui berbagai aktivitas yang positif 12. Menghayati nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam berperilaku 13. Memiliki kemampuan mengendalikan diri (self-control) dalam mengekspresikan emosi atau dalam memenuhi kebutuhan diri.
c. Harga diri (self esteem) Dalam Bimbingan Pribadi Self esteem dalam bimbingan dan konseling merupakan bimbingan pribadi. Dalam kenyataannya, pelaksanaan bimbingan pribadi dihadapkan pada banyak kesulitan dan hambatan. Sebagian dari hambatan ini timbul karena keadaan dunia pendidikan sekolah di Indonesia yang masih dalam taraf perkembangan dan kehidupan remaja yang sangat rentan akan keadaan
dirinya,
sebagian
timbul
karena
sikap
keluarga
yang
mengharapkan ini dan itu atau kurang mendukung perkembangan psikis anak, sebagian timbul karena sikap siswa sendiri yang kurang mampu mengenali diri sendiri, menerima diri sendiri, mengatur dirinya sendiri, sebagian lagi timbul karena guru kurang mampu dalam mengelola proses belajar mengajar yang menunjang pengembangan diri siswa.
21
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, self esteem memiliki peranan yang penting dalam menciptakan kondisi atau suatu proses yang mengarahkan
siswa
untuk
mengembangkan
potensi
diri
dan
perkembangan dirinya sehingga dapat tercapai pula prestasi belajar dan kehidupan yang baik. Dalam hal ini sudah tentu peran guru bimbingan konseling sangat penting, bagaimana guru bimbingan konseling melakukan usaha-usaha untuk dapat mengembangkan self esteem agar siswa melakukan aktivitas belajar dan kehidupan dengan baik. Untuk dapat belajar dengan baik diperlukan proses dan self estem yang baik pula.
2. Pengertian Harga diri (self esteem) Menurut Rogers (Jarvis, 2011:343) Self esteem dapat didefinisikan sebagai seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Rogers meyakini bahwa kita memiliki citra diri dalam pikiran kita seperti keadaan kita sekarang, sekaligus citra diri kita yang ideal (ideal-self), yaitu citra diri yang kita inginkan. Jika kedua citra itu kongruen (artinya, sama), kita akan mengembangkan harga diri yang baik. Perkembangan kongruen dan harga diri bergantung pada penghargaan positif tak bersyarat (unconditional positif regard) dari orang lain berupa penerimaan, cinta, dan kasih sayang. Tanpa penghargaan positif tak bersyarat dalam tingkat tertentu, kita tidak bisa mengaktualisasikan diri. Anak-anak yang kurang mendapatkan penghargaan positif tak bersyarat dari orang lain semasa kanak-kanak
22
karena pola pengasuhan orang tua yang keras, kurang perhatian, atau pengasuhan yang dicirikan dengan cinta bersyarat, yaitu cinta yang hanya diberikan jika anak berperilaku sesuai syarat tertentu, kemungkinan akan memiliki harga diri yang rendah saat dewasanya, sehingga rentan mengidap gangguan jiwa, terutama depresi. Pentingnya harga diri ditunjukkan dalam studi klasik yang dilakukan Coopersmith (Jarvis, 2011:346).
Istilah self esteem sering digunakan pada keadaan emosi sesaat, terutama yang muncul sebagai konsekuensi positif atau negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya dapat meningkatkan self esteem atau menurunkan self esteem mereka. Misalnya seseorang mengatakan bahwa self esteem-nya meningkat karena mendapat nilai bagus, atau seseorang mengatakan bahwa self esteem-nya menjadi rendah setelah mengalami patah hati.
Berdasarkan hal tersebut James menyatakan bahwa keadaan emosi sesaat tersebut sebagai self feelings. Self esteem juga dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah konstruksi hirarki sedemikian rupa sehingga dapat dipecah menjadi bagian-bagian penyusunnya. Dari perspektif ini, ada tiga komponen utama : performa self esteem, self esteem sosial, self esteem fisik.
23
Self esteem yang tinggi dan konsep diri positif adalah karakteristik penting dari kesejahteraan anak-anak. Para peneliti kadang-kadang menggunakan istilah self esteem dan konsep diri secara bergantian atau tidak secara tepat mendefinisikan mereka, tetapi ada perbedaan yang signifikan antara mereka self esteem mengacu pada evaluasi diri secara keseluruhan disebut juga nilai diri atau citra diri. Sebagai contoh, seorang anak mungkin merasa bahwa ia tidak hanya seseorang, tetapi seorang yang baik. Konsep diri (self concept) mengacu pada domain spesifik dari evaluasi diri. Anak-anak dapat membuat evaluasi diri dibanyak domain dalam kehidupan mereka : akademis, prestasi, atletik, dan sebagainya. Singkatnya, harga diri mengacu pada evaluasi diri secara keseluruhan, sedangkan konsep diri untuk domain spesifik dari evaluasi (Santrock, 2010:344).
Bagi kebanyakan anak, self esteem yang tinggi dan konsep diri positif merupakan aspek penting dari kesejahteraan mereka. Namun, untuk beberapa anak, self esteem mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitas. Self esteem seorang anak mungkin mencerminkan keyakinan mengenai apakah ia cerdas dan menarik, misalnya, tetapi keyakinan tersebut belum tentu akurat. Dengan demikian, self esteem yang tinggi dapat merujuk ke persepsi yang akurat dan dibenarkan terhadap nilai manusia sebagai individu dan kesuksesan dan prestasi seseorang, tetapi dapat juga merujuk kepada perasaan sombong, hebat, tidak hanya didasarkan pada keunggulan atas orang lain. Dengan cara yang sama, self esteem yang rendah dapat mencerminkan, baik sebagai persepsi yang
24
akurat mengenai kekurangan maupun gangguan seseorang, bahkan ketidaksamaan patologis dan inferioritas.
Anak-anak dengan self esteem yang tinggi memiliki inisiatif yang lebih besar, tetapi dapat menghasilkan hasil yang positif dan negatif . Baumeister dkk (Mruk, 2006). Anak-anak dengan self esteem yang tinggi rentan terhadap, baik tindakan antisocial maupun prososial. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dari waktu ke waktu, anak-anak yang agresif dengan self esteem yang tinggi lebih menilai imbalan yang dapat dibawa agresi dan meremehkan korban-korban mereka. Selain itu kekhawatiran saat ini adalah bahwa banyak anak yang tumbuh dengan menerima pujian untuk kinerja yang sedang-sedang saja atau bahkan buruk dan sebagai konsekuensinya telah meningkatkan self esteem Graham dan Stipek (Santrock, 2010:67). Mereka mungkin mengalami kesulitan menghadapi persaingan dan kritik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self esteem merupakan evaluasi keseluruhan diri. Penilaian ini meliputi penilaian positif atau negatif. Individu yang memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya atau memiliki tingkat self esteem yang tinggi akan mampu memilih dan memilah perilaku mana yang pantas dan perilaki mana yang tidak pantas dilakukan. Individu tersebut akan lebih percaya diri dalam menentukan sikap apa yang harus dilakukan, tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk karena dapat bersikap tegas dan tidak takut
25
mengungkapkan pendapatnya. Dengan bersikap tegas atau asertif seseorang dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, dan hak-hak peribadinya tanpa melanggar hak atau merugikan orang lain.
3. Sumber Self Esteem Menurut Coopersmith sumber self esteem (Mruk, 2006:75) dibagi menjadi empat: kekuatan (kemampuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain), merasa diri bermakna (menjadi dihargai oleh orang lain seperti yang ditunjukkan oleh penerimaan mereka), kebijakan (kepatuhan terhadap standar moral), dan kompetensi (kinerja berhasil dalam tujuan). Baru-baru ini, Epstein (Mruk, 2006:75) menunjukkan bahwa jika sukses terlibat dalam self esteem, maka kemungkinan kegagalan rendah. Oleh karena itu, ia menggambarkan empat sumber yang serupa, tidak begitu lebih dinamis: prestasi seimbang dengan kerugian, kekuatan yang diimbangi dengan ketidakberdayaan, penerimaan digabungkan dengan kemungkinan penolakan, dan moral penerimaan diri juga harus mencakup kemungkinan malu atau rasa bersalah. Ada begitu banyak konvergensi antara dua baris independent kerja bahwa hasil menonjol sebagai dasar temuan sesuai dengan kriteria yang kita gunakan dan juga menyediakan kerangka kerja yang sangat baik untuk menunjukkan nilai mereka. Menurut Epstein (Mruk, 2006:76) terdapat empat sumber terbentuknya self esteem yaitu : 1)
Acceptance versus Rejection
26
Dari berbagai usia, penerimaan (atau sebaliknya, penolakan) mempengaruhi self esteem individu karena melalui hubungan dengan orang tua atau pengasuh, saudara kandung, rekan kerja, teman, pasangan atau mitra, rekan kerja atau kolega, dan lainnya. Tentu saja, ada istilah lain untuk menggambarkan sumber self esteem. Sebagai contoh,
berdasarkan
pengamatan
Harter
(Mruk,
2006:76)
menggunakan istilah "relasional self esteem " dalam pekerjaannya. Saya lebih suka kata-kata "menjadi bernilai" dalam pekerjaan saya karena menjelaskan kepentingan dari apa yang terjadi di dalam menerima hubungan atau interaksi sosial yang positif dan dinamis atau aktif dalam proses. Dalam setiap kasus, penerimaan adalah sumber self esteem karena berhubungan dengan keberadaan individu. Itu berarti orang lain menghargai. Dengan dibutuhkannya ekspresi perhatian, rasa hormat, atau bahkan cinta.
2) Virtue versus Guilt Coopersmith (Mruk, 2006:76) definisi kebajikan, yang merupakan pemenuhan standar moral dan etika, adalah penerimaan diri, gagasan persetujuan diri,
bertindak pada keyakinan. karena itu kebajikan
berarti bahwa ada nilai-nilai yang lebih tinggi atau standar perilaku untuk mengikuti untuk menjadi orang yang layak, bukan hanya mengukur dari beberapa budaya namun dari lingkungan juga. Demikian pula, rasa bersalah, dapat dipahami sebagai kegagalan untuk hidup sesuai dengan standar yang lebih dari sekedar pribadi atau
27
orang-orang dari kelompok referensi khusus. Hubungan antara yang rasa bersalah dan self esteem adalah identifikasi sebelumnya ketika kita meneliti temuan tentang nilai-nilai dan self esteem dalam beberapa jenis self esteem disaat setiap kali kita bertindak benar, atau cara yang diakui sebagai mengikuti standar tentang apa yang masuk akal, mampu, sehat. dari studi diri sebagai layak karena tindakan kita mengekspresikan diri kita dalam situasi ini. Setiap kali kita gagal untuk melakukannya mempengaruhi self esteem dengan cara yang negatif sejalan.
3) Influence versus Powerlessness Kekuasaan adalah istilah yang Coopersmith (Mruk, 2006:77) dan Epstein (Mruk, 2006:77) digunakan untuk menjelaskan seseorang kemampuan untuk mengelola atau lingkungan seseorang secara langsung. Namun dalam kasus ini akan menggunakan kata "influence" untuk menggambarkan sumber self esteem. Pertama, kekuasaan atas lingkungan seseorang dapat menangkap sesuatu dari bagaimana perilaku semacam ini benar-benar hidup, tetapi orang lain dapat menjadi bagian dari salah satu tentang konsep kekuasaan. Ini adalah suatu perbedaan untuk gagasan bahwa seseorang yang bertindak di lingkungan mereka untuk tujuan mereka sendiri sementara negatif mempengaruhi orang lain benar-benar memasuki sumber asli dari self esteem. Meskipun kekuasaan dapat digunakan untuk menggambarkan cara untuk berhubungan dengan orang lain, itu mungkin terlalu kuat
28
kata untuk menggambarkan aspek yang lebih halus untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Sebaliknya, terlalu banyak kegagalan cenderung menimbulkan rasa ketidakmampuan, ketidakberdayaan, atau mungkin bahkan harapan yang pupus, tergantung pada seberapa sering dan seberapa parah kegagalan yang terjadi, yang membuat self esteem menjadi rendah.
4) Achievements versus Failures Prestasi
adalah
sumber
sukses
dalam
self
esteem.
Menurut
Coopersmith (Mruk, 2006:78) kata prestasi ada karena salah satu komponen dasar self esteem yang dinyatakan oleh struktur umum. Epstein's (Mruk, 2006:78) istilah "sukses" tidak digunakan karena terlalu umum. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa itu baik untuk self esteem seseorang menjadi "sukses" dalam kaitannya dengan salah satu dari tiga sumber lain self esteem. Penggunaan istilah "prestasi" ini juga lebih akurat dalam menggambarkan sumber tertentu ini karena tidak semua keberhasilan menjadi penting. Misalnya, orang yang berhasil dalam hidup tetapi yang juga memiliki masalah yang jelas dengan self esteem. Selain itu, prestasi membawa banyak pribadi beranggapan bahwa keberhasilan tidak hanya dari kata sukses. Menurut William James, serangkaian teori self esteem dan penelitian oleh pencapaian penting di salah satu tempat dari empat daerah. Hal ini mungkin terjadi bahkan di mana pencapaian di bidang lain adalah biasa-biasa saja. Menurut Bradshaw (Mruk, 2006:79) menunjukkan
29
bahwa ada aspek yang dinamis dari hubungan antara self esteem dan sukses. Dikelompokkan dari semua pengalaman yang berpotensi meningkatkan self esteem dalam hidup sebagai cadangan potensi diri. Setiap
individu,
melalui
pencapaian,
memiliki
kekuatan
dan
kebebasan, yang bernilai, dan bertindak atas keyakinan. Kegagalan dapat dilihat sebagai kehilangan self esteem, tapi belum tentu masalah orang lain bisa kita samakan satu sama lain.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat sumber self esteem yaitu yang pertama, penerimaan atau penolakan yang dapat mempengaruhi terbentuknya self esteem individu karena adanya hubungan dengan orang sekitar sehingga apabila individu merasa diterima maka individu tersebut akan menganggap orang lain menghargainya, begitu pula sebaliknya, apabila individu merasa ada penolakan dari orang sekitarnya maka individu tersebut akan menarik diri dan menganggap dirinya tidak dihargai. Selanjutnya yang kedua, kebajikan atau rasa bersalah, kebajikan merupakan standar perilaku untuk menjadi orang yang layak, individu yang mampu melakukan yang dianggapnya benar tanpa menyalahi aturan yang berlaku mampu menjadikan individu memiliki self esteem yang tinggi sedangkan individu yang merasa bersalah atau tidak berani melakukan hal yang diinginkan cenderung mengalami self esteem yang rendah. Selanjutnya yang ketiga, kekuasaan atau ketidakberdayaan, dalam hal ini individu mampu menguasai diri saat menghadapi kegagalan sehingga apabila ia mengalami kegagalan individu tersebut tidak akan
30
mudah menyerah sedangkan individu yang memiliki ketidakberdayaan dalam menghadapi kegagalan akan membuat self esteem menjadi rendah. Dan yang terakhir, prestasi atau kegagalan, dalam hal ini prestasi menyatakan seseorang berhasil sehingga individu akan merasa bangga terhadap dirinya dan membentuk self esteem tinggi sedangkan kegagalan cenderung menjadikan individu memiliki harga diri rendah.
4. Cara Meningkatkan Self Esteem Empat cara meningkatkan self esteem, mencakup mengidentifikasi penyebab dari self esteem yang rendah, memberikan dukungan emosional dan persetujuan sosial, membantu mencapai sesuatu dan membantu mengatasi sesuatu Bednar, Wells, & Peterson, Harter (Santrock, 2010:258): a. Mengidentifikasi penyebab self esteem yang rendah. Intervensi harus menargetkan penyebab self esteem yang rendah. individu memiliki self esteem tertinggi ketika mereka melakukan secara kompeten dalam domain yang penting bagi mereka. Oleh karena itu, individu harus didorong untuk mengidentifikasi dan menilai area kompetensi. Area tersebut mungkin termasuk keterampilan akademis, keterampilan atletik, daya tarik fisik, dan penerimaan sosial. b. Menyediakan dukungan emosional dan persetujuan sosial. Beberapa individu dengan self esteem yang rendah berasal dari keluarga berkonflik atau situasi ketika mereka mengalami pelecehan atau pengabaian situasi ketika dukungan tidak tersedia. Dalam beberapa
31
kasus, sumber alternative dukungan dapat diatur, baik secara informal melalui dorongan dari guru, pelatih atau orang dewasa penting lainnya, maupun lebih formal, melalui program-program seperti Big Brothers dan Big Sisters. c. Membantu individu mencapai sesuatu. Prestasi juga dapat menigkatkan self esteem individu. Sebagai contoh, pengajaran secara langsung dari keterampilan nyata untuk individu sering berdampak pada peningkatan prestasi, sehingga meningkatkan self esteem. Individu mengembangkan self esteem yang lebih tinggi karena mereka tahu tugas-tugas penting yang akan mencapai tujuan mereka, dan mereka telah melakukan hal tersebut atau perilaku serupa dimasa lalu. d. Membantu individu mengatasi sesuatu. Self esteem sering kali meningkat ketika individu menghadapi masalah dan mencoba untuk mengatasinya, bukan menghindarinya. Jika mengatasi lebih unggul daripada menghindari, individu sering menghadapi masalah secara realistis, jujur, dan nondefensif. Hal tersebut menghasil pikiran evaluasi diri yang menguntung yang mengarahkan persetujuan yang dihasilkan diri yang meningkatkan self esteem.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cara meningkatkan self esteem adalah mengidentifikasi penyebab self esteem yang rendah, memberikan dukungan untuk diri dalam melakukan hal yang diinginkan, meningkatkan prestasi, menghadapi masalah dengan mengatasinya, bukan menghindarinya. Masalah dihadapi secara
32
realistis, jujur dan nondefensif, hal ini dapat meningkatkan self esteem karena individu akan merasa lebih percaya diri dan menghargai dirinya.
5. Self Esteem Rendah Kita sudah melihat bahwa self esteem yang rendah adalah kriteria diagnostik atau terkait karakteristik gangguan mental, tetapi individu memeriksa efek dari self esteem yang rendah dapat juga dilihat dari kualitas hidup.
Dengan hubungan yang sering lemah, hampir setiap individu yang memiliki self esteem rendah mendapatkan berbagai masalah emosional dan perilaku lebih umum di antara individu dari harga diri yang tinggi. Self esteem yang rendah terkait dengan gangguan distimik, depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, malu patologis, usaha bunuh diri, dan gangguan kepribadian pada anak-anak dan orang dewasa. Leary & MacDonald (Mruk, 2006:82).
Dan setelah mempelajari diri selama lebih dari 3 dekade, Rosenberg dan Owens juga mengidentifikasi karakteristik utama dari self esteem yang rendah, terutama bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka self esteem
yang tinggi
yaitu
perasaan seperti
hipersensitivitas dan
ketidakstabilan.
Temuan umum bahwa banyak anak-anak dilecehkan secara seksual mengalami self esteem rendah beberapa jenis masalah yang muncul adalah kesehatan mental, seperti rendah diri, depresi, kecemasan, dan cedera diri.
33
Selain itu mereka akan mengalami trauma seksual (belajar perilaku seks tidak pantas umur), pengkhianatan (perasaan depresi, permusuhan atau isolasi yang terkait dengan penyalahgunaan), ketidakberdayaan (seperti kecemasan, rasa penurunan pribadi, dan peningkatan risiko korban di masa depan), dan merasa dirinya tidak berharga (menyalahkan diri sendiri atau malu). Namun demikian, hal ini jelas bahwa salah satu potensi efek paling merusak adalah pelecehan masa kanak-kanak karena hal itu dapat mempengaruhi penghargaan pada diri sendiri, yang memiliki segala macam kemungkinan negatif untuk masa depan.
Individu yang memiliki self esteem rendah akan memanfaatkan strategi perlindungan diri, ditandai dengan keengganan untuk mengambil risiko, berfokus pada kualitas buruk mereka, menghindari kesenangan bersama, dan menarik diri. Campbell juga menemukan bahwa orang-orang tersebut sering menunjukkan kurangnya kejelasan mengenai identitas mereka dan sensitif terhadap lingkungan sosial dirinya. Individu yang mengalai rendah diri menjadi resisten terhadap perubahan, bertindak sebagai penggerak perubahan, tidak merasa nyaman. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memiliki harga diri rendah cenderung menolak umpan balik positif, fokus pada informasi negatif tentang diri mereka sendiri, menghindari risiko, dan sebagainya.
34
Menurut Gea (2003:52) ciri-ciri orang yang self esteem rendah antara lain : 1. Menuntut cinta dan kekaguman terlalu banyak dari orang lain 2. Gila kesempatan dan berharap terlalu banyak pada dirinya 3. Terlalu takut mengalami kekalahan dan kegagalan 4. Terlalu dihantui kesuksesan orang lain 5. Menghindari tanggung jawab dengan menyatakan telah gagal 6. Terlalu peka perasaan Biasanya untuk menghindari atau mengurangi self esteem rendah, seseorang bisa menempuh berbagai cara, ada yang tergolong negatif dan ada yang positif.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang individu memiliki self esteem rendah apabila selalu menyalahkan diri sendiri tanpa menyadari kebenarannya, tidak berani mengambil resiko dalam bertindak, mudah tersinggung dengan orang lain, dan fokus pada informasi negatif tentang diri sendiri. Jika harga diri rendah tidak segera diatasi maka akan mengakibatkan individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.
6. Self Esteem Tinggi Self esteem yang tinggi hampir selalu dikaitkan dengan kemampuan positif dan karakteristik yang membuat kondisi yang diinginkan. Tidak diragukan lagi aspek-aspek positif dari self esteem yang tinggi memainkan peran utama dalam konsep psikologis. Namun, penelitian tentang self esteem yang tinggi menunjukkan bahwa tidak semua berbentuk positif, ada yang
35
memiliki mengalami kebingungan yang cukup besar dalam dirinya. Di satu sisi, sebagian besar karakteristik positif dikaitkan dengan self esteem yang tinggi. Terdapat dua jenis umum self esteem tinggi yaitu membantu menjaga
diri
dan
mereka
yang
memungkinkan
diri
untuk
mengaktualisasikan.
Baumeister dan rekan (Mruk, 2006:85) “found evidence supporting the position that high self-esteem is helpful in dealing with stress and avoiding anxiety in a way that allows a person to continue functioning in the face of stress or even trauma” yang artinya menemukan bukti yang mendukung posisi bahwa self esteem yang tinggi sangat membantu dalam mengatasi stres dan menghindari kecemasan dengan cara yang memungkinkan seseorang untuk terus berfungsi dalam menghadapi stres atau bahkan trauma. Fungsi peningkatan self esteem juga telah menerima dukungan karena dapat menciptakan afektif positif dan manfaat perilaku self esteem yang tinggi. Misalnya, ada yang positif hubungan statistik antara self esteem yang tinggi dan kebahagiaan, sehingga membuat self esteem tinggi umumnya menarik dan diinginkan.
Leary & MacDonald (Mruk, 2006:85) “People with high self-esteem simply feel better about themselves, about life, about the future, and so forth than do people with low self-esteem. High self-esteem is also associated with desirable personal and interpersonal characteristics and behavior. For example, such self-esteem appears to help job performance
36
and problem solving under certain circumstances, especially those that require initiative and persistence”yang artinya Orang dengan self esteem yang tinggi merasa lebih baik mengenai tentang dirinya, tentang kehidupan, tentang masa depan, dan sebagainya daripada orang dengan self esteem rendah. Self esteem yang tinggi juga dikaitkan dengan pribadi yang diinginkan dan karakteristik interpersonal dan perilaku. Sebagai contoh, seperti self esteem muncul untuk membantu dalam pemecahan masalah di bawah keadaan tertentu, terutama yang membutuhkan inisiatif dan ketekunan. Self esteem juga berhubungan dengan perilaku prososial, seperti menjunjung tinggi standar moral dan kepuasan hubungan, dan kinerja kelompok positif, terutama dalam kaitannya untuk tugas prestasi. Baumeister et al (Mruk, 2006:85)
“High self-esteem may even have long-term benefits. Higher levels of selfesteem similarly have been found in other research to prospectively predict growth in socioemotional functioning among younger, preschoolage children and, at the other end of the developmental continuum, decreased likelihood of mortality among older adults” yang artinya Self esteem yang tinggi memiliki manfaat dalam jangka panjang. Tingginya tingkat self esteem dapat mengalami pertumbuhan fungsi sosioemosional kalangan muda, anak-anak prasekolah usia dan penurunan kemungkinan kematian di antara orang dewasa yang lebih tua. Dubois & Flay (Mruk, 2006:86).
37
Beberapa individu berpikir nilai dirinya lebih tinggi dari nilai kepada orang lain. Hal ini menyebabkan self esteem yang tinggi lebih terkait dengan kondisi yang benar-benar negatif, seperti pembelaan diri, narsisme, dan beberapa kategori perilaku anti-sosial seperti intimidasi. Dapat disimpulkan bahwa self esteem tinggi dapat dibagi menjadi dua yaitu penilaian diri positif dan penilaian diri negatif. Kita akan melihat apakah mungkin untuk mengatasi masalah ini dengan menggunakan struktur dasar harga diri untuk menjernihkan kebingungan yang dihasilkan oleh heterogenitas tersebut.
Menurut Hurlock (1999:63) ciri-ciri individu yang memiliki self esteem tinggi yaitu : a. Mandiri b. Bertanggung jawab c. Bangga kepada kemajuan dirinya d. Mampu menghadapi kegagalan e. Mampu menghargai diri sendiri f. Aktif dalam diskusi g. Percaya diri h. Disenangi banyak orang
7. Hambatan Utama Menghargai Diri Sendiri Babari (2003:108) salah satu penghalang seseorang untuk menghargai diri sendiri adalah self esteem rendah, yang dapat dimengerti sebagai suatu
38
sikap negatif memandang diri sendiri rendah. Hal ini menjadi corak khas dari orang yang tak tahu akan self esteem. Sikap ini merupakan ciri dari kepribadian yang menyebabkan si pemilik kepribadian itu merasa bahwa orang lain lebih baik dari dirinya. Orang yang rendah diri tidak akan pernah bias menikmati kedamaian jiwa. Orang yang rendah diri senantiasa dikejar-kejar oleh kekurangan-kekurangan
yang menghantui, baik
kekurangan itu sungguh-sungguh ada atau hanya dibayangkan oleh diri sendiri. Seluruh hidupnya penuh diliputi oleh kerja membandingbandingkan dirinya dengan orang lain dan hamper selalu mereka merasa kalah. Meskipun kenyataannya mungkin tidak demikian, mereka sudah terlanjur menganggap diri sendiri kecil dan tidak berarti.
8. Cara-Cara Negatif Mengatasi Self Esteem 1. Membangun mekanisme pertahanan Cara pertama adalah mkanisme pertahanan atau dalam bahasa seharihari disebut mncari perlindungan. Individu yang mengalami self esteem rendah menutupi kekurangannya dengan bicara besar, berlagak hebat, mengada-ada, membual tentang prestasi-prestasinya dalam banyak bidang, menunjukkan sikap berlebih-lebihan pada saat-saat yang tidak tepat. Cara seperti ini tak akan membawa hasil positif bagi perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan dan orang lainpun segan menerimanya. Bahkan dalam banyak hal justru akan menambah rasa
39
cemasdalam dirinya, karena ia selalu was-was dan berjaga-jaga kalaukalau orang lain sampai tahu siapa dia sebenarnya 2. Mengundurkan diri dari lingkungan Individu memilih minder dan bersembunyi, berkhayal tentang kehebatan dirinya yang tak pernah terjadi. Membayangkan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Cara seperti ini tak akan membawa perbaikan dan hanya membuat individu semakin jauh dari realitas dirinya yang sebenarnya.
9. Cara-Cara Positif Mengatasi Self Esteem 1. langsung bertindak mengatasi kekurangan Self esteem yang rendah memang dapat menjadi pembunuh yang kejam. Tapi dilain pihak dapat menjadi sumber semangat yang luar biasa. Hal mengatasi kekurangan ini membawa seseorang kearah kompensasi berlebihan, yang dilakukan oleh orang-orang penderita rendah diri dan sering dinggap sebagai pendorong munculnya orangorang besar atau karya-karya bersejarah, sepanjang jaman. Dengan kompensasi ini, tidak saja kelemahan atau kekurangan dalam suatu bidang diatasi, tapi lebih jauh lagi, orang mengubah kelemahannya semula menjadi kelebihan dan kekuatan yang dapat diandalkan. Kemauan yang keras, tekad yang membaja untuk mengatasi kelemahan melahirkan usaha-usaha fanatik dengan hasil yang menakjubkan pula. Sejauh usaha-usaha fanatik ini tidak menjurus pada egoisme sempit, atau tidak mengganggu kepentingan orang lain, maka kompensasi
40
berlebihan dapat dipandang sebagai suatu cara mengatasi rendah diri. Dengan tekad dan keberanian, kita bisa memanfaatkan cacat-cacat atau kelemahan sebagai batu loncatan menuju sukses. 2. Substitusi (tindakan pengganti) Kekurangan dalam satu bidang bisa juga diatasi dengan memupuk kelebihan dibidang lain. Seseorang yang lemah jasmaninya bisa memupuk kelebihan dengan mengembangkan daya rohaninya. Ini misalnya dilakukan oleh manuel kant, filsuf jerman yang tersohor itu. Karena ia benci melihat bentuk tubuhnya sendiri, ia memuaskan perhatian pada kemampuan berfikir. Dan memang buah fikiran yang menjadikan dia termasyur. 3. Mau menerima kekurangan-kekurangan dan batas-batas kemampuan kita. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah menerima kekurangan dan batasbatas kemampuan kita sebagai sesuatu yang wajar. Ini tidak berarti bahwa kita tidak berbuat apa-apa. Kita tetap berusaha memahami kenapa kelemahan itu timbul, menyadarinya sebagai suatu kenyataan dan berusaha menerimanya. Jika kita tidak bisa menerima kekurangan dan ketidak sempurnaan yang nyata ada pada kita, maka tekanan jiwa yang semakin berat akan membebani hidup kita. Tak ada gunanya menjadi seseorang yang lain, yang nyata-nyata tak mungkin kita capai, atau hanya dapat kita capai melalui pengorbanan-pengorbanan luar biasa.
41
4. Tuhan menciptakan tiap-tiap manusia dengan selalu member keistimewaan tertentu. Keistimewaan itulah yang perlu kita sadari dan kembangkan. Selain itu, kenyataan banyak menunjukkan bahwa kebahagiaan hidup tak selalu tercapai dengan kekayaan, kemasyuran, kebesaran, dan lain-lain yang biasanya dijadikan ukuran sukses hidup. Sering terjadi bahwa dibalik kemegahan sseorang tersembunyi kesengsaraan dan kehausan akan kebahagiaan hidup sejati., yang tak pernah terpuaskan. Maka terimalah kenyataan tentang diri sendiri dengan lapang dada, sambil terus berusaha memperbaiki diri selangkah demi selangkah. Dan sebenarnya usaha-usaha kita dalam memberi arti pada kehidupan itulah yang menentukan bahagia tidaknya diri kita, biarpun hasilnya tidak selalu cemerlang atau sesuai dengan harapan kita. 5. Mencatat dan mengingat-ingat sukses yang pernah dicapai Ini cara yang tepat untuk memulihkan pengharapan dan kepercayaan kita terhadap diri sendiri. Biar bagaimanapun, tidak pernah hidup seseorang itu terdiri dari kegagalan-kegagalan semata. Pasti ada saatsaat dimana seseorang pernah mencapai sesuatu yang tidak biasa, biarpun kecil. Kalau anda telah demikian peka akan kegagalan, mengapa anda tidak peka pula terhadap sukses yang pernah anda raih. Pengalaman pernah membuat prestasi kecil dimasa lalu bisa menjadi dasar bagi anda untuk memulihkan keyakinan bahwa sebenarnya anda lebih baik, lebih dibutuhkan, lebih mujur, lebih menarik dari pada yang dipikirkan.
42
B. Konseling kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok Winkel (Lubis, 2011:198) menjelaskan bahwa Konseling kelompok merupakan pelaksanaan proses konseling yang dilakukan antara seorang konselor professional dan beberapa klien sekaligus dalam klompok kecil. Sementara itu menurut Gazda (Lubis, 2011:198) konseling kelompok merupakan hubungan antara beberapa konselor dan beberapa klien yang berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari. Ia menyatakan bahwa konseling kelompok ini bertujuan untuk memberikan dorongan dan pemahaman pada klien untuk memecahkan masalahnya.
Sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Gazda tersebut, Awang (Lubis, 2011:198) juga menjelaskan bahwa cirri utama konseling kelompok adalah berfokus pada pemikiran sadar, tingkah laku, dan menerapkan interaksi terbuka. Ia menambahkan bahwa klien konseling kelompok adalah individu yang normal dan konselor bertindak sebagai fasilitator yang menggerakkan klien.
Kemudian Herman (Lubis, 2011:198) menyatakan bahwa definisi konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis dan terfokus pada pikiran dan tingkah laku yang disadari serta dibina dalam suatu kelompok yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri menuju perilaku yang lebih baik dari sebelumnya.
43
Latipun (Lubis, 2011:198) menambahkan bahwa konseling kelompok adalah bentuk konseling yang membantu beberapa klien normal yang diarahnya mencapai fungsi kesadaran secara efektif. Konseling kelompok biasanya dilakukan untuk jangka pendek atau menengah.
Menurut Prayitno (2004:1) layanan konseling kelompok pada dasarnya adalah layanan konseling perorangan yang dilaksanakan didalam suasana kelompok yang memanfaatkan dinamika kelompok. Disana ada konselor dan ada klien, yaitu para anggota kelompok (yang jumlahnya minimal dua orang). Disana terjadi hubungan konseling dalam suasana yang diusahakan sama seperti dalam konseling perorangan yaitu hangat, permisif, terbuka dan penuh keakraban. Dimana juga ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah (jika perlu dengan menerapkan metode-metode khusus), kegiatan evaluasi dan tindak lanjut.
Maksud pernyataan di atas bahwa konseling kelompok dapat diartikan suatu upaya membina kelompok siswa untuk menjadi kelompok yang kecil melalui dinamika kelompok, yang hangat, permisif, terbuka dan penuh keakraban.
Kegiatan
yang
dilakukan
melalui
kelompok
dengan
memanfaatkan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan dalam bimbingan dan konseling. Semua peserta dalam kegiatan kelompok saling berinteraksi, bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi, memberi saran, dan lain-lain sebagainya; apa yang dibicarakan itu semuanya bermanfaat
44
untuk diri peserta yang bersangkutan sendiri dan untuk pemecahan masalah siswa.
Menurut Burton dan Watson (Lubis, 2011:200) mengemukakan pengertian konseling kelompok yaitu : konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri-ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan-perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian,
saling
pengertian,
dan
saling
mendukung.
Sedangkan
Natawidjaja (Lubis, 2011:200) yang mengemukakan bahwa konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, dan diarahkan kepada
pemberian
kemudahan
dalam
rangka
perkembangan
dan
pertumbuhannya.
Romlah (Lubis, 2011:200), konseling kelompok adalah upaya untuk membantu individu agar dapat menjalani perkembangannya dengan lebih lancar, upaya itu bersifat pencegahan serta perbaikan agar individu yang bersangkutan dapat menjalani perkembangannya dengan lebih mudah.
Melalui kegiatan konseling kelompok, individu yang dibimbing akan belajar melatih diri untuk memahami diri terutama pengembangan dalam
45
kemampuan sosial, meningkatkan kemampuan diri sesuai bakat dan minat, dan menghargai dirinya.
Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling kelompok itu memberi dorongan dan motivasi kepada individu untuk mengubah diri dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki secara optimal, sehingga memahami dirinya dan menghargai diri sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah upaya pemberian bantuan kepada siswa melalui kelompok dengan memanfaatkan
dinamika
kelompok
yaitu
adanya
interaksi
saling
mengeluarkan pendapat, memberikan tanggapan, saran, dalam suasana yang hangat, permisif, terbuka dan penuh keakraban, dimana pemimpin kelompok menyediakan informasi-informasi yang bermanfaat agar dapat membantu individu mencapai perkembangan yang optimal, menyusun rencana, membuat keputusan yang tepat, serta untuk memperbaiki dan mengembangkan pemahaman terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya dalam menunjang terbentuknya perilaku yang lebih efektif.
2. Dinamika Kelompok Selain dua hal yang menentukan dalam konseling kelompok adalah peran pemimpin kelompok dan anggota kelompok, hal yang tak kalah penting
46
untuk menentukan keberhasilan konseling kelompok adalah dinamika kelompok.
Dinamika kelompok yang diciptakan dalam konseling kelompok sangat penting sebagai jiwa yang menghidupkan kelompok, dimana setiap anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan (sesuai asas kegiatan) , bersikap terbuka dan sukarela dalam mengemukakan pendapat (sesuai dengan asas keterbukaan dan kesukarelaan), menjunjung tinggi kerahasiaan tentang yang dibicarakan dalam kelompok (sesuai asas kerahasiaan), dan bertindak sesuai aturan yang disepakati bersama (sesuai asas kenormatifan).
Kegiatan konseling kelompok sengaja menumbuh kembangkan dinamika kelompok. Dinamika kelompok adalah hubungan interpersonal yang ditandai dengan semangat, kerja sama antar anggota kelompok, saling berbagi pengetahuan, pengalaman dan mencapai tujuan kelompok. Hubungan yang interpersonal inilah yang nantinya akan mewujudkan rasa kebersamaan di antara anggota kelompok, menyatukan kelompok untuk dapat lebih menerima satu sama lain, lebih saling mendukung dan cenderung untuk membentuk hubungan yang berarti dan bermakna di dalam kelompok.
Dinamika kelompok merupakan sinergi dari semua faktor yang ada dalam suatu kelompok; artinya merupakan pengerahan secara serentak semua faktor yang dapat digerakkan dalam kelompok itu. Dengan demikian dinamika kelompok merupakan jiwa yang menghidupkan dan menghidupi suatu kelompok (Prayitno, 1995: 23).
47
Kehidupan kelompok dijiwai oleh dinamika kelompok yang akan menentukan gerak dan arah pencapaian tujuan kelompok. Dinamika kelompok ini dimanfaatkan untuk mencapai tujuan konseling kelompok. Konseling kelompok memanfaatkan dinamika kelompok sebagai media dalam upaya membimbing anggota kelompok dalam mencapai tujuan. Dinamika kelompok unik dan hanya dapat ditemukan dalam suatu kelompok yang benar-benar hidup. Kelompok yang hidup adalah kelompok yang dinamis, bergerak dan aktif berfungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan dan mencapai suatu tujuan.
Para anggota melalui konseling kelompok memanfaatkan dinamika kelompok,
dapat
mengembangkan
diri,
yaitu
mengembangkan
kemampuan-kemampuan sosial secara umum yang selayaknya dikuasai oleh individu yang berkepribadian mantap. Keterampilan berkomunikasi secara efektif, sikap tenggang rasa, memberi dan menerima toleransi, mementingkan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan sikap demokratis, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial seiring dengan kemandirian yang kuat, merupakan arah pengembangan pribadi yang dapat dijangkau melalui diaktifkannya dinamika kelompok itu.
Setiap anggota kelompok melalui dinamika kelompok diharapkan mampu tegak sebagai perorangan yang sedang mengembangkan kediriannya dalam hubungan dengan orang lain. Ini tidak berarti bahwa kemandirian seseorang lebih ditonjolkan daripada kehidupan kelompok secara umum. Dinamika
48
kelompok akan terwujud dengan baik apabila kelompok tersebut, benarbenar hidup, mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai, dan membuahkan manfaat bagi masing-masing anggota kelompok, juga sangat ditentukan oleh peranan anggota kelompok.
3. Asas Konseling Kelompok Prayitno (2004 :13-15) mengemukakan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok terdapat asas-asas yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan kegiatan bimbingan kelompok sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
a) asas kerahasiaan, yaitu para anggota harus menyimpan dan merahasiakan informasi apa yang dibahas dalam kelompok, terutama hal-hal yang tidak layak diketahui orang lain b) asas keterbukaan, yaitu para anggota bebas dan terbuka mengemukakan pendapat, ide, saran, tentang apa saja yang yang dirasakan dan dipikirkannya tanpa adanya rasa malu dan ragu-ragu. c) asas kesukarelaan, yaitu semua anggota dapat menampilkan diri secara spontan tanpa malu atau dipaksa oleh teman lain atu pemimpin kelompok. d) asas kenormatifan, yaitu semua yang dibicarakan dalam kelompok tidak boleh bertentangan dengan norma-norma dan kebiasaan yang berlaku. e) asas kegiatan, yaitu partisipasi semua anggota kelompok dalam mengemukakan pendapat sehingga cepat tercapainya tujuan bimbingan kelompok. (Prayitno, 2004: 13-15).
49
4. Tujuan Layanan Konseling Kelompok Tujuan khusus konseling kelompok adalah konseling kelompok terfokus pada pembahasan masalah pribadi individu peserta kegiatan layanan. Melalui layanan kelompok yang intensif dalam upaya pemecahan masalah tersebut para peserta memperoleh dua tujuan sekaligus :
Terkembangkannya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap terarah kepada tingkah laku khususnya dalam bersosialisasi/komunikasi
Terpecahnya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya imbasan pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain peserta layanan konseling kelompok
Secara umum tujuan layanan konseling kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan berkomunikasinya. Melalui layanan konseling kelompok, hal-hal dapat menghambat atau menganggu sosialisasi dan komunikasi siswa diungkap dan dinamikakan melalui
berbagai
teknik,
sehingga
kemampuan
sosialisasi
dan
berkomunikasi siswa berkembang secara optimal. Melalui layanan konseling kelompok juga dapat dituntaskan masalah klien (siswa) dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Adapun tujuan konseling kelompok menurut Barriyah (Lubis, 2011:205) adalah:
Membantu individu mencapai perkembangan yang optimal
Berperan mendorong munculnya motivasi kepada klien untuk merubah dimilikinya
prilakunya
dengan
memanfaatkan
potensi
yang
50
Klien dapat mengatasi masalahnya lebih cepat dan tidak menimbulkan gangguan emosi
Menciptakan dinamika sosial yang berkembang intensif
Mengembangkan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial yang baik dan hebat
Sementara itu Wiener (Lubis, 2011:205) mengatakan bahwa tujuan dari konseling adalah sebagai media terapeutik bagi klien, karena dapat meningkatkan pemahaman diri dan berguna untuk perubahan tingkah laku secara individual. George dan cristiani juga menjelaskan bahwa konseling kelompok dimanfaatkan sebagai proses belajar dan upaya membantu klien dalam pemecahan masalahnya.
Selaras dengan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok, maka penulis merasa perlu menguraikan kelebihan dan kekurangan pada konseling kelompok pada bagian ini sebagai bahan pertimbangan bagi pembaca untuk mengetahui lebih jauh mengenai konseling dalam format kelompok. Ada beberapa kelebihan atau keuntungan yang dapat diperoleh klien melalui konseling kelompok seperti yang dikemukakan Hough (Lubis, 2011:205) berikut ini : 1. Konseling kelompok menerapkan pendekatan yang menjalin hubungan perasaan sebagai sebuah kelompok dalam masyarakat yang sudah saling terasing dan tidak memiliki aturan yang jelas. 2. Kelompok
juga
saling
memberikan
dukungan
menghadapi masalah yang dihadapi setiap orang.
dalam
51
3. Kelompok dapat memberikan kesempatan untuk belajar antara satu sama lain. 4. Kelompok dapat menjadi motivator bagi masing-masing klien. Mereka yang merasa telah menjadi anggota kelompok akan berusaha menyesuaikan perilakunya dengan harapan kelompok. 5. Kelompok dapat menjadi tempat yang baik untuk menguji dan mencoba perilaku yang baru. 6. Kelompok menanamkan perasaan tenteram kepada anggotanya karena mereka bebas dapat berbicara dengan orang yang tidak akan menertawakan atau merendahkan mereka karena masingmasing memiliki masalah. 7. Anggota-anggota kelompok yang ada dapat saling membantu dengan menjadi buddy (pasangan yang selalu dapat memberikan pertolongan dan bersedia membantu) dan juga dapat menjadi mentor kepada anggota kelompok yang lain.
Sebaiknya apapun format konseling yang digunakan, tetap saja akan kita lihat kekurangan atau keterbatasan pada praktiknya. Berikut ini adalah keterbatasan yang terdapat dalam konseling kelompok seperti yang ditulis oleh Latipun (Lubis, 2011:206) : 1. Klien perlu menjalani konseling individual terlebih dahulu sebelum mengikuti konseling kelompok. Karena apabila tidak dilakukan, ia akan mengalami kesulitan untuk langsung bergabung dengan anggota kelompok.
52
2. Konselor harus memberikan perhatian secara adil pada semua anggota kelompok. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan 3. Kelompok dapat bubar seketika karena masalah dalam “proses kelompok” 4. Klien yang sulit mempercayai orang lain akan berpengaruh negatif pada situasi konseling secara keseluruhan.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi konseling kelompok Untuk mencapai tujuan dalam konseling kelompok, maka konselor perlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses konseling. Yalom (Lubis, 2011:207) menyebutnya sebagai faktor kuratif. Faktor-faktor tersebut antara lain : membina harapan, universalitas, pemberi informasi, altruism, pengulangan korektif keluarga primer, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, belajar menjalin hubungan interpersonal, kohesivitas kelompok, katarsis, dan faktor-faktor eksistensial. Berikut ini adalah penjelasannya. 1. Membina harapan Harapan akan menimbulkan perasaan optimal pada diri klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Melalui harapan, klien akan belajar memahami dan mengembangkan kemampuan/potensi yang dimilikinya. Adanya keterlibatan dalam kelompok juga akan menguatkan semangat klien untuk saling membantu mewujudkan tujuan bersama yang ingin dicapai. 2. Universalitas
53
Universalitas akan mengurangi tingkat kecemasan klien karena mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki masalah. Teman-teman satu kelompoknya juga memiliki masalah walaupun dalam dimensi
yang berbeda. Untuk itulah memberikan
pemahaman pada klien bahwa permasalahan adalah hal yang wajar dalam kehidupan sangat diperlukan agar klien tertantang untuk mengatasi masalahnya. 3. Pemberian informasi Informasi dapat diperoleh melalui pemimpin kelompok (konselor) maupun dari anggota kelompok lain. Informasi ini meliputi pengalaman dari anggota kelompok, pemecahan masalah yang ditawarkan oleh konselor atau anggota kelompok dan hal yang bermakna bagi kehidupan klien. 4. Altruisme Altruisme mengacu kepada proses member dan menerima. Klien yang merasa bahwa kelompoknya telah memberikan banyak masukan dan kebaikan pada dirinya selama menjalani proses konseling, akan melakukan hal yang sama terhadap anggota kelompoknya. Hal ini akan mendorong terjadinya umpan balik antar anggota. 5. Pengulangan korektif keluarga primer Pengulangan korektif keluarga primer dimaksudkan untuk menjalin kedekatan emosional antar-anggota dan konselor. Masing-masing klien diharapkan dapat merasa sebagai satu
54
keluarga yang saling mendukung dan memberi perhatian layaknya hubungan saudara. Hal ini akan lambat laun akan dipelajari oleh anggota kelompok sehingga dapat mencoba perilaku baru dalam berhubungan dengan orang lain. 6. Pengembangan teknik sosialisasi Teknik sosialisasi berhubungan dengan cara anggota kelompok menjalin hubungan interpersonal. Masing-masing anggota belajar untuk dapat mengomunikasikan keinginannya dengan tepat, memberikan perhatian dan dapat memahami orang lain. Hal ini juga meliputi bagaimana kesiapan anggota memperoleh umpan bali dari kelompok yang ditunjukan untuk dirinya. 7. Peniruan tingkah laku Peniruan tingkah laku diperoleh dari pengalaman atau hasil identifikasi anggota kelompok yang dirasakan layak untuk ditiru. Mendapatkan model positif yang dapat ditiru akan sangat menguntungkan
anggota
karena
memudahkannya
dalam
mempelajari tingkah laku baru yang lebih positif. 8. Belajar menjalin hubungan interpersonal Anggota kelompok diharapkan dapat saling belajar menjalin hubungan interpersonal dengan kelompoknya. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain : berani mengekspresikan dirinya dihadapan kelompok, merespon apa yang disampaikan anggota kelompok serta meningkatkan sensitivitas terhadap masalah anggota kelompoknya.
55
9. Kohesivitas kelompok Kohesivitas tidak terjadi begitu saja. Ada bentuk penerimaan yang hangat dari masing-masing anggota serta keinginan untuk terus menerus menjalin hubungan interpersonal yang akrab. Apabila kohesivitas telah terbentuk, masing-masing anggota akan dapat berinteraksi secara optimal dan tanpa keraguan memberikan umpan balik demi kemajuan anggota kelompok 10. Katarsis Anggota kelompok diharapkan dapat melepaskan katarsis yang dimilikinya melalui pengungkapan perasan baik secara positif maupun negatif. Ekspresi perasaan tersebut dapat berubah marah, cinta, sedih, kecewa, atau kesulitan yang tidak dapat diungkapkan. Katarsis ini dapat disebabkan pengalaman masa lalu atau masa kini yang dialami anggota. Melalui katarsis, anggota kelompok dapat menyadari emosinya dan membuangnya kea lam sadar sehingga tidak menimbulkan represi yang dapat berakibat fatal. 11. Faktor-faktor eksistensial Faktor-faktor eksistensial perlu dibicarakan dan menjadi bahan diskusi bagi
anggota kelompok. Hal
ini penting untuk
memberikan pemahaman pada kelompok bahwa banyak hal yang harus dimengerti dan dicapai dalam hidup. Untuk itu, anggota kelompok dapat
termotivasi
mengatasi
masalahnya
untuk
mencapai kehidupan yang lebih banyak. Menanamkan tanggung
56
jawab pada klien juga bagian dari faktor eksistensial yang harus dibicarakan. Dengan mengetahui faktor kuratif yang telah dijelaskan diatas maka konselor dapat menyelaraskannya dengan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok. Karena keduanya adalah aspek
yang
berkesinambungan
dan
saling
mendukung
keberhasilan proses konseling.
6. Struktur Konseling Kelompok Setelah membicarakan tujuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konseling kelompok, maka hal penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah struktur. Untuk melaksanakan konseling kelompok, konselor harus memperhatikan struktur yang tepat dan sesuai dengan klien. (Lubis, 2011:210) telah menyusun struktur dalam konseling kelompok yang mencakup jumlah anggota kelompok, homogenitas kelompok, sifat kelompok, dan waktu pelaksanaan konseling kelompok. Berikut ini adalah penjelasannya : 1. Jumlah Anggota Kelompok Yalom (Lubis, 2011:210) jumlah keanggotaan pada konseling kelompok terdiri dari empat sampai 12 orang klien, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila jumlah anggota kelompok kurang dari empat orang dinamika kelompok menjadi kurang hidup, sebaliknya bila anggota kelompok lebih dari 12 orang, maka
57
konselor akan kewalahan mengelola kelompok karena jumlah anggota kelompok terlalu besar. Dalam menentukan jumlah anggota kelompok, konselor dapat pula menetapkannya
berdasarkan
kemampuan
dan
pertimbangan
keefektifan proses konseling. Konselor yang terbiasa menangani klien dengan format konseling individual dapat saja mengalami kesulitan ketika harus menangani klien dalam konseling kelompok dengan jumlah klien diatas lima orang. Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi konselor yang menangani konseling kelompok dengan jumlah klien diatas lima orang. Oleh karena itu, penetapan jumlah anggota kelompok ini bersifat sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang ingin diciptakan klien dan konselor.
2. Homogenitas kelompok Permasalahan homogenitas atau heterogenitas dalam konsleing kelompok tentu saja sangat relatif artinya tidak ada ketentuan yang baku dalam menentukan karakteristik kliennya dapat disebut homogeny
atau
heterogen.
Beberapa
konseling
kelompok
memandang bahwa homogenitas kelompok dilihat berdasarkan jenis kelamin klien yang sama, jenis masalah yang sama, dan kelompok usia yang sama. Tetapi pada saat yang berbeda seorang konselor dalam konseling kelompok dapat saja menetapkan bahwa homogenitas klien hanya dilihat dari masalah atau gangguan yang dihadapi. Artinya klien yang memiliki masalah yang sama
58
dimasukkan dalam kelompok yang sama meskipun dari segi usia yang jauh berbeda. Dan sekali lagi, Kaplan dan Sadock (Lubis, 2011:211) mengatakan bahwa penentuan homogenitas ini kembali disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok.
3. Sifat kelompok Ada dua macam sifat kelompok yang terdapat dalam konseling kelompok, yaitu : 1. Sifat terbuka Dikatakan sebagai sifat terbuka karena pada kelompok ini dapat menerima kehadiran anggota baru setiap saat sampai batas yang telah ditetapkan. Contoh : sebuah kelompok telah terdiri dari lima orang anggota, kemudia minggu berikutnya ada dua orang klien yang akhirnya dimasukkan ke dalam anggota kelompok, karena dianggap memiliki homogenitas dengan kelompok yang telah terbentuk. 2. Sifat tertutup Bersifat
tertutup
maksudnya
adalah
konselor
tidak
memungkinkan masuknya klien baru untuk tergabung dalam kelompok yang telah terbentuk. Contoh : sebuah kelompok terdiri dari empat orang maka sampai proses konseling kelompok berakhir, jumlah ini tidak akan bertambah.
59
4. Waktu pelaksanaan Batas akhir pelaksanaan konseling kelompok sangat ditentukan seberapa besar permasalahan yang dihadapi kelompok. Biasanya masalah yang tidak terlalu kompleks membutuhkan waktu penanganan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan masalah yang kompleks dan rumit. Selain itu, durasi pertemuan konseling sangat ditentukan pula oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Yalom (Lubis, 2011:212) mengatakan bahwa durasi konseling yang terlalu lama yaitu diatas dua jam akan menjadi tidak kondusif, karena
anggota
mengalami
kelelahan
dan
memungkinkan
terjadinya pengulangan pembicaraan.
7. Tahapan Konseling Kelompok Setelah membicarakan mengenai struktur, maka selanjutnya pembaca perlu mengetahui tahapan yang dilalui dalam konseling kelompok yang merupakan alur perjalanan dalam sebuah proses konseling. Untuk itu, penulis beranjak pada pemikiran Corey dan Yalom (Lubis, 2011:213) yang membagi tahapan tersebut menjadi enam bagian yaitu : prakonseling, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, dan pascakonseling. Berikut adalah uraiannya. a. Prakonseling Tahap
prakonseling
dianggap
sebagai
tahap
persiapan
pembentukan kelompok. Adapun hal-hal mendasar yang dibahas pada tahap ini adalah para klien yang telah diseleksi akan
60
dimasukkan dalam keanggotaan yang sama menurut pertimbangan homogenitas. Setelah itu, konselor akan menawarkan program yang dapat dijalankan untuk mencapai tujuan. Penting sekali bahwa pada tahap inilah konselor menanamkan harapan pada anggota kelompok agar bahu membahu mewujudkan tujuan bersama sehingga proses konseling akan berjalan efektif. Konselor juga perlu menekankan bahwa pada konseling kelompok hal yang paling utama adalah keterlibatan klien untuk ikut berpartisipasi dalam keanggotannya dan tidak sekedar hadir dalam pertemuan kelompok. Selain itu, konselor juga perlu memperhatikan kesamaan masalah sehingga semua masalah anggota dapat difokuskan kepad inti permasalahan yang sebenarnya. b. Tahap permulaan Tahap ini ditandai dengan dibentuknya struktur kelompok. Adapun manfaat dari dibentuknya struktur kelompok ini adalah agar anggota kelompok dapat memahami aturan yang ada dalam kelompok. Aturan-aturan ini akan menuntut anggota kelompok untuk bertanggung jawab pada tujuan dan proses kelompok. Konselor dapat kembali menegaskan tujuan yang harus dicapai dalam konseling. Hal ini dimaksudkan untuk menyadarkan klien pada makna kehadirannya terlibat dalam kelompok. Selain itu, klien diarahkan untuk memperkenalkan diri mereka masing-masing yang dipimpin oleh ketua kelompok (konselor). Pada saat inilah klien menjelaskan tentang dirinya dan tujuan yang ingi dicapainya
61
dalam proses konseling. Biasanya klien hanya akan menceritakan hal-hal umum yang ada dalam dirinya dan belum mengungkapkan permasalahannya. Latipun (Lubis, 2011:214) menguraikan secara sistematis langkah yang dijalani pada tahap permulaan adalah perkenalan, pengungkapan tujuan yang ingin dicapai, penjelasan aturan dan penggalian ide dan perasaan. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini adalah anggota kelompok dapat saling percaya satu sama lain serta menjaga hubungan yang berpusat pada kelompok melalui saling member umpan balik, memberi dukungan, saling toleransi terhadap perbedaan dan saling member penguatan positif. c. Tahap transisi Tahap ini disebut Prayitno sebagai tahap peralihan. Hal umum yang sering kali muncul pada tahap ini adalah terjadinya suasana ketidakseimbangan dalam diri masing-masing anggota kelompok. Konselor diharapkan dapat membuka permasalahan masing-masing anggota
sehingga
masalah
tersebut
dapat
bersama-sama
dirumuskan dan diketahui penyebabnya. Walaupun anggota kelompok mulai terbuka satu sama lain, tetapi dapat pula terjadi kecemasan, resistensi, konflik, dan keengganan anggota kelompok membuka diri. Oleh karena itu, konselor selaku pemimpin kelompok harus dapat mengontrol dan mengarahkan anggotanya untuk merasa nyaman dan menjadikan anggota kelompok sebagai keluarganya sendiri.
62
d. Tahap kerja Prayitno menyebut tahap ini sebagai tahap kegiatan. Tahap ini dilakukan setelah permasalahan anggota kelompok diketahui penyebabnya
sehingga
konselor
dapat
melakukan
langkah
selanjutnya yaitu menyusun rencana tindakan. Pada tahap ini anggota kelompok diharapkan telah dapat membuka dirinya lebih jauh dan menghilangkan defensifnya, adanya perilaku modeling yang diperoleh dari mempelajari tingkah laku baru serta belajar untuk bertanggung jawab pada tindakan dan tingkah lakunya. Akan tetapi, pada tahap ini juga dapat saja terjadi konfrontasi antar anggota dan transferensi. Dan peran konselor dalam hal ini adalah berupaya
menjaga
keterlibatan
dan
kebersamaan
anggota
kelompok secara aktif. Kegiatan kelompok pada tahap ini dipengaruhi pada tahapan sebelumnya. Jadi apabila pada tahap sebelumnya berlangsung dengan efektif maka tahap ini juga dapat dilalui dengan baik, bgitupun sebaliknya. Apabila tahap ini berjalan dengan baik, biasanya anggota kelompok dapat melakukan kegiatan tanpa mengharapkan campur tangan pemimpin kelompok lebih jauh. e. Tahap akhir Tahap ini adalah tahapan dimana anggota kelompok mulai mencoba perilaku baru yang telah mereka pelajari dan dapatkan dari kelompok. Umpan balik adalah hal penting yang sebaiknya dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok. Hal ini
63
dilakukan untuk menilai dan memperbaiki perilaku kelompok apabila belum sesuai. Oleh karena itu, tahap akhir ini dianggap sebagai tahap melatih diri klien untuk melakukan perubahan. Sehubungan dengan pengakhiran kegiatan, Prayitno mengatakan bahwa kegiatan kelompok harus ditujukan pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai dalm kelompok. Kegiatan kelompok ini biasanya diperoleh dari pengalaman sesame anggota. Apabila pada tahap ini terdapat anggota yang memiliki masalah belum dapat terselesaikan pada fase sebelumnya, maka pada tahap ini masalah tersebut harus diselesaikan. Konselor dapat memastikan waktu yang tepat untuk mengakhiri proses konseling. Apabila anggota kelompok meraskan bahwa tujuan telah tercapai dan telah terjadi perubahan perilaku maka proses konseling segera diakhiri. f. Pasca konseling Jika
proses
konseling
telah
berakhir,
sebaiknya
konselor
menetapkan adanya evaluasi sebagai bentuk tindak lanjut dari konseling kelompok. Evaluasi bahkan sangat diperlukan apabila terdapat hambatan dan kendala yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan dan perubahan perilaku anggota kelompok setelah proses konseling berakhir. Konselor dapat menyusun rencana baru atau melakukan perbaikan pada rencana yang telah dibuat sebelumnya atau dapat melakukan perbaikan terhadap cara pelaksanaannya. Apapun hasil dari proses konseling kelompok yang telah dilakukan seyogianya dapat memberikan peningkatan pada seluru anggota
64
kelompok. Karena inilah inti dari konseling kelompok yaitu untuk mencapai tujuan bersama.
8. Kegiatan Layanan Konseling Kelompok Prayitno (2004 :42) mengemukakan bahwa penilaian terhadap kegiatan bimbingan kelompok atau konseling kelompok dapat dilakukan secara tertulis, baik melalui essai, daftar cek, maupun daftar isisan sederhana. Secara tertulis para peserta diminta mengungkapkan perasaannya, pendapatnya, harapannya, minat dan sikapnya terhadap berbagai hal, baik yang telah dilakukan selama kegiatan, maupun kemungkinan keterlibatan mereka untuk kegiatan serupa. Selanjutnya sebagai catatan penilaian terhadap kegiatan layanan bimbingan kelompok hasilnya tidak bertitik tolak dari kriteria ”benar-salah”, namun berorientasi pada perkembangan, yaitu mengenali kemajuan atau perkembangan positif yang terjadi pada diri perta kegiatan. Lebih jauh, penilaian terhadap layanan tersebut lebih bersifat penilaian ”dalam proses” yang dapat dilakukan melalui hal-hal berikut ini, sebagaimana masih dikemukakan oleh Prayitno (2004: 42): 1. Mengamati partisipasi dan aktivitas peserta selama kegiatan berlangsung. 2. Mengungkapkan pemahaman peserta atas materi yang dibahas 3. Mengungkapkan kegunaan layanan bagi anggota kelompok, dan perolehan anggota sebagai hasil dari keikutsertaan mereka.
65
4. Mengungkapkan minat dan sikap anggota kelompok tentang kemungkinan kegiatan lanjutan. 5. Mengungkapkan
tentang
kelancaran
proses
dan
suasana
penyelenggaraan layanan.
Evaluasi yang dapat dilakukan oleh pimpinan kelompok berlangsung selama kegiatan layanan berlangsung. Pimpinan kelompok mengamati keaktifan siswa dalam memahami materi yang diberikan, selain evaluasi dilakukan saat berlangsungnya proses layanan pimpinan juga melakukan pada akhir kegiatan, yaitu memberikan kesempatan pada siswa sebagai anggota kelompok dalam mengungkapkan pendapat menganai berlangsungnya layanan konseling kelompok.
Evaluasi kegiatan yang dikemukakan oleh Sugiharto (Lubis, 2011:214) yaitu merupakan penilaian terhadap kegiatan bimbingan dan konseling kelompok yang dapat dilakukan tertulis, di mana para peserta diminta mengungkapkan perasaannya, harapannya, minat, dan sikapnya terhadap berbagai hal, baik yang telah dilakukan selama kegiatan kelompok (menyangkut isi maupun proses). Evaluasi kegiatan layanan perlu dilakukan, hal ini dikarena tahapannya ini dapat meninjau kualitas kegiatan kelompok dan hasil-hasilnya melalui pengungkapan kesan dari anggota kelompok. Evaluasi yang dilakukan juga dapat memberikan kesan berharga pada siswa, bahwa apa yang telah dilaksanakan berhasil atau tidak dalam memecahkan topik yang dibahas bersama.
66
9. Teknik Konseling Kelompok Penggunaan teknik dalam kegiatan konseling kelompok mempunyai banyak fungsi selain dapat lebih memfokuskan kegaiatan konseling kelompok terhadap tujuan yang ingin dicapai tetapi juga dapat membuat suasana yang terbangun dalam kegiatan konseling kelompok agar lebih bergairah dan tidak cepat membuat siswa jenuh mengikutinya, seperti yang dikemukakan oleh Romlah (Lubis, 2011:91) “Bahwa teknik bukan merupakan tujuan tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan konseling kelompok yaitu, antara lain : 1. Teknik Pertanyaan dan jawaban Salah satu teknik tersebut ialah para anggota menulis jawaban atas suatu pertanyaan pada selembar kertas yang disediakan oleh pemimpin kelompok. Misalnya pertanyaan “siapakah saya?” “bagaimana suasana hari ini?” “apakah yang perlu kita lakukan sekarang?” cara ini dapat merupakan awal dari usaha anggota untuk mengungkapkan diri sendiri. Jika diperlukan jawaban ini tanpa disertai nama si penjawab. Jawaban-jawaban ini selanjutnya dapat dipergunakan untuk mengukur keseluruhan suasana dan tanggapan kelompok atas sesuatu permasalahan yang dilontarkan. 2. Diskusi Kelompok Diskusi kelompok adalah percakapan yang telah direncanakan antara tiga orang atau lebih dengan tujuan untuk memecahkan masalah atau untuk memperjelas suatu persoalan.
67
Romlah (Lubis, 2011:200) menyebutkan tiga macam tujuan diskusi kelompok yaitu : (1) untuk mengembangkan terhadap diri sendiri, (2) untuk
mengembangkan
kesadaran
tentang
diri,
(3)
untuk
mengembangkan pandangan baru mengenai hubungan antar manusia.
1. Teknik Pemecahan Masalah (problem solving) Teknik pemecahan masalah mengajarkan pada individu bagaimana pemecahan
masalah
secara
sistematis.
Langkah-langkah
pemecahan masalah secara sistematis adalah :
Mengidentifikasi dan merumuskan masalah
Mencari sumber dan memperkirakan sebab-sebab masalah
Mencari alternatif pemecahan masalah
Menguji masing-masing alternative
Memilih
dan
melaksanakan
alternatif
yang
paling
menguntungkan
Mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai
2. Permainan Peranan (role playing) Menurut
Bennett
(Lubis, 2011:173) mengemukakan bahwa
permainan peranan adalah suatu alat belajar yang menggambarkan ketrampilan-ketrampilan
dan
pengertian-pengertian
mengenai
hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang paralel denga yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Didalamnya menyebutkan ada dua macam permainan peranan, yaitu
68
sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Sedangkan kedua adalah psikodrama adalah permainan yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya. 3. Permainan Simulasi (simulation games) Menurut Adams dalam Romlah (Lubis, 2011:173) menyatakan bahwa permainam simulasi adalah permainan yang dimaksudkan untuk merefleksikan situasi-situai yang terdapat dalam kehidupan sebenarnya. Permainan simulasi dapat dikatakan merupakan permainan peranan dan teknik diskusi.
Teknik-teknik konseling kelompok yang dikemukakan Prayitno (1995: 78) bahwa teknik-teknik konseling kelompok adalah sama dengan teknik yang digunakan dalam konseling perorangan. Hal tersebut memang demikian karena pada dasarnya tujuan dan proses pengembangan pribadi melalui layanan konseling kelompok dan konseling perorangan adalah sama. Perbedaannya hanya terletak pada proses interaksi antarpribadi yang lebih luas dalam dinamika kelompok pada konseling kelompok.
Menurut Prayitno (1995:77) teknik dalam konseling kelompok menggunakan teknik umum atau disebut juga “tiga M”, yaitu
69
mendengar dengan baik, memahami secara penuh, dan merespon secara tepat dan positif. Kemudian pemberian dorongan minimal dan penguatan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik konseling kelompok dapat menghasilkan hal positif bagi siswa, karena dapat melatih siswa untuk bisa berempati, dan dapat memberikan dorongan bagi siswa. Teknik yang diajarkan dalam konseling kelompok cukup sederhana dan diharapkan siswa dapat menerapkannya. Teknik tersebut yaitu mendengarkan, memahami, dan merespon. Apabila siswa telah dapat melakukan teknik tersebut, maka layanan konseling kelompok dapat terus dilanjutkan.
C. Peningkatan Self Esteem dengan Menggunakan Layanan Konseling Kelompok Siswa pada dasarnya adalah individu yang siap atau dipersiapkan untuk mengikuti proses pendidikan baik fisik dan psikologis. Individu yang siap, maksudnya adalah individu yang secara sadar mempersiapkan diri untuk belajar. Sedangkan individu yang dipersiapkan, maksudnya adalah individu yang perlu sedikit paksaan agar mengikuti proses pendidikan. Siswa juga adalah manusia secara rasional dan etnis selalu berusaha meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Mereka merupakan suatu totalitas kehidupan, suatu pribadi yang memiliki sifat dasar terbuka
70
keluar (akan siap menerima perubahan) dan terbuka kedalam (terus mengembangkan konsep-konsep individualitas). Siswa SMP adalah individu yang memiliki kebutuhan khas antara lain, yaitu ; 1) kebutuhan kasih sayang di cintai dan mencintai, 2) kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok, 3) kebutuhan untuk berdiri sendiri (mandiri), 4) kebutuhan akan berprestasi, 5) kebutuhan pengakuan dari orang lain, 6) kebutuhan untuk dihargai, dan 7) kebutuhan untuk memperoleh falsafah hidup. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak selalu mudah diperoleh oleh siswa. Terkait dengan kebutuhan akan berprestasi terdapat banyak siswa yang masih memiliki motivasi belajar yang rendah. Untuk itu motivasi belajar siswa perlu di tingkatkan Maslow ( Sadirman, 2011:34).
Menurut Herman (Lubis, 2011:198) menyatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis dan terfokus pada pikiran dan tingkah laku yang disadari serta dibina dalam suatu kelompok yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri menuju perilaku yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Mahler, Dinkmeyer & Munro (Wibowo, 2005:27) menyatakan bahwa: Kemampuan yang dikembangkan melalui konseling kelompok yaitu: a. pemahaman tentang diri sendiri yang mendorong penerimaan diri dan perasaan diri berharga, b. interaksi sosial, khususnya interaksi antarpribadi serta menjadi efektif untuk situasi-situasi sosial, c. pengambilan keputusan dan pengarahan diri,
71
d. sensitivitas terhadap kebutuhan orang lain dan empati, e. perumusan komitmen dan upaya mewujudkannya. Self esteem memegang peranan yang penting dalam proses pembelajaran dan kepribadian bagi siswa. Siswa yang memiliki self esteem yang tinggi, akan merasa lebih baik mengenai tentang dirinya, tentang kehidupan, tentang masa depan, dan kemampuan dalam belajar tinggi daripada siswa dengan self esteem yang rendah (Mruk, 2006:86). Sebaliknya siswa yang memiliki self esteem yang rendah, kemampuan dalam belajar juga rendah. Self esteem dapat timbul dari dalam diri sendiri dan juga dapat dirangsang dari luar, siswa diharapkan memiliki kesadaran dari dalam dirinya dalam proses pembelajaran dan memahami diri sendiri dengan harapan self esteem tinggi sesuai dengan yang diinginkan.
Upaya
meningkatkan
self
esteem
siswa,
maka
siswa
perlu
mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri yang mendorong penerimaan diri dan perasaan diri berharga serta pengambilan keputusan dan pengarahan diri. Dengan ini guru pembimbing dapat memberikan bantuan melalui pelaksanaan layanan konseling kelompok agar siswa mampu mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri yang mendorong penerimaan diri dan perasaan diri berharga serta pengambilan keputusan dan pengarahan diri dan hal tersebut akan mendorong siswa memiliki pemahaman diri serta penerimaan dirinya, oleh sebab itu konseling kelompok dapat digunakan dalam meningkatkan self esteem.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini adalah lokasi tertentu yang digunakan untuk objek dan subjek yang akan diteliti dalam penelitian. Sesuai dengan judul penelitian ini, maka peneliti akan mengadakan penelitian di SMP Negeri 26 Bandar Lampung yang berlokasi Jl. Imam Bonjol No. 52 Kemiling Bandar Lampung.
B. Metode Penelitian Metode
penelitian
mengumpulkan
data
merupakan dengan
cara tujuan
ilmiah
yang
tertentu.
digunakan
Penggunaan
untuk metode
dimaksudkan agar kebenaran yang diungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan memiliki bukti ilmiah yang akurat dan dapat dipercaya. Sedangkan metode penelitian pendidikan menurut Sugiyono (2010:6) dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah dalm bidang pendidikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experimental (eksperimen
73
semu). Alasan peneliti menggunakan metode ini karena sulit hanya untuk eksperimen murni pada orang, banyak variabel yang tidak bisa dikontrol. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Emzir (2012:102) yang menyatakan bahwa “mengikuti langkah-langkah dasar eksperimental, tetapi gagal memasukan kelompok control. Dengan kata lain, kelompok tunggal sering diteliti, tetapi tidak ada perbandingan dengan kelompok nonperlakuan dibuat”. Pada penelitian ini, penelitian tidak menggunakan kelompok control dan randomisasi, peneliti hanya melihat hasil dari pemberian layanan konseling kelompok pada siswa yang self esteem rendah di SMP Negeri 26 Bandar Lampung.
C. Desain Penelitian Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah PreEksperimental Design (One group Prettest-Posttest Design). Subyek diobservasi dua kali (pretest dan posttest). Alasan peneliti menggunakan desain ini karena tidak menggunakan kelompok kontrol dan subyek tidak dipilih secara random. Desain ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pengukuran (Pretest) O1
Pengukuran Perlakuan X
(Posttest) O2
Gambar 3.1. One Group Pretest-Posttest Design (Sugiyono, 2010:64) Keterangan : O1
: nilai pre test (sebelum diberikan perlakuan) yaitu
74
pengukuran/observasi awal sebelum siswa diberikan layanan konseling kelompok X
: Pemberian perlakuan layanan konseling kelompok pada siswa
yang memiliki harga diri rendah O2
: nilai post test (setelah diberikannya perlakuan) yaitu pengukuran
kedua setelah siswa diberikan layanan konseling kelompok.
Untuk memperjelas eksperimen dalam penelitian ini disajikan tahap-tahap rancangan eksperimen, yaitu sebagai berikut: 1. Melakukan Pre-test adalah pemberian pengukuran awal kepada siswa sebelum diadakan perlakuan sehingga diperoleh hasil siswa yang memiliki self esteem yang rendah. 2. Memberikan perlakuan (treatment) adalah pemberian perlakuan yaitu layanan konseling kelompok. 3. Melakukan Post-test sesudah pemberian layanan konseling kelompok
dengan tujuan untuk mengetahui apakah konseling kelompok dapat meningkatkan self esteem siswa yang rendah.
D. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah sumber data untuk menjawab masalah. Pada penelitian ini, peneliti tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian. Alasannya, karena dalam penelitian ini merupakan aplikasi konseling kelompok dalam meningkatkan self esteem pada diri siswa yang merupakan hasil dari proses konseling kelompok yang tidak dapat
75
digeneralisasikan antara subjek yang satu tidak dapat mewakili subjek yang lain. Subyek penelitian merupakan subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti atau sasaran peneliti (Arikunto, 2006 :145).
Pengambilan subjek ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, teknik ini dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya pertimbangan atau kriteria tertentu. Untuk
menjaring
subjek, peneliti
melakukan wawancara dengan guru BK dan wali kelas mengenai siswa yang memiliki kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti dan menyamakan persepsi mengenai self esteem dan indikatornya agar sesuai dengan keberadaan masalah dan jenis data yang ingin dikumpulkan. Berdasarkan hasil wawancara, guru BK merekomendasikan 55 siswa yang berasal dari kelas VIII A dan VIII B. Peneliti melakukan penjaringan subjek kembali dengan menyebar skala self esteem sehingga didapat subjek penelitian sebanyak 10 siswa.
E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Menurut Arikunto (2006:161) “variabel penelitian adalah objek penelitian, atau yang menjadi titik perhatian suatu penelitian, variabel juga merupakan segala sesuatu yang akan menjadi objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian”.
76
Penelitian ini, variabel yang digunakan adalah variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen), yaitu: a. Variabel bebas (independen) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini yaitu layanan konseling kelompok. Treatment layanan konseling kelompok disini diharapkan dapat menjadi sebab perubahan self esteem (variabel terikat), perubahan yang dimaksud adalah peningkatan self esteem yang dimiliki subjek penelitian.
b. Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah self esteem siswa.
2. Definisi operasional Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut (Nazir, 2011: 126). Definisi operasional meliputi: 1. Harga diri (self esteem) Definisi operasional self esteem adalah evaluasi keseluruhan diri berupa penilaian positif diri atau negatif diri oleh siswa mengenai dirinya melalui suatu bentuk penilaian penerimaan diri dan menunjukkan tingkat dimana siswa meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.
77
Indikator dari self esteem, meliputi: a. Mandiri b. Bertanggung jawab c. Bangga kepada kemajuan dirinya d. Mampu menghadapi kegagalan e. Mampu menghargai diri sendiri f. Aktif dalam diskusi g. Percaya diri h. Disenangi banyak orang
2. Layanan Konseling Kelompok Layanan Konseling kelompok adalah pemberian bantuan kepada siswa melalui kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok yaitu adanya interaksi saling mengeluarkan pendapat, memberikan tanggapan, saran, dalam suasana yang hangat, terbuka, dan penuh keakraban, dimana pemimpin kelompok menyediakan informasiinformasi yang bermanfaat agar dapat membantu individu mencapai perkembangan yang optimal, menyusun rencana, membuat keputusan yang
tepat,
serta
untuk
memperbaiki
dan
mengembangkan
pemahaman terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya dalam menunjang terbentuknya perilaku yang lebih efektif.
F. Teknik Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian selalu terjadi proses pengumpulan data untuk memperoleh data yang sejelas-jelasnya. Menurut Arikunto (2006:126),
78
metode pengumpulan data ialah “cara memperoleh data.” Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan 1(satu) metode pokok untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan instrumen berupa skala psikologis dalam hal ini skala self esteem yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya sehingga layak digunakan dalam penelitian ini.
1. Skala Peneliti menggunakan skala self esteem yang merupakan skala sikap.. Menurut Azwar (2009:59) skala sikap merupakan suatu metode pengambilan data-data dalam penelitian yang diperoleh melalui pernyataan atau pertanyaan tertulis yang diajukan responden mengenai suatu hal.
Pada penelitian ini penulis menggunakan skala sikap model Likert, “Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset atau penelitian” (Arikunto, 2006:128). Dengan alternatif respon pernyataan subjek skala lima. Kelima alternatif respon tersebut terdiri dari sangat setuju (SS), setuju (S), ragu (RR), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS) skala ini terdiri dari pernyataan yang (favorable) menyenangkan dan (unfavorable) tidak menyenangkan.
Pada penelitian ini, peneliti akan membagikan skala yang berisi item-item tentang self esteem yang sesuai dengan indikator self esteem yang akan diisi oleh siswa.
79
Tabel 3.1 Kriteria Penilaian Skala No
Pernyataan
Sangat Setuju
Setuju
Ragu ragu
Tidak Setuju
1
Favorable
5
4
3
2
Sangat Tidak Setuju 1
2
Unfavorable
1
2
3
4
5
Adapun blue print skala self esteem siswa dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.2 Blue print skala self esteem siswa No 1.
2.
3.
4.
5.
Indikator Mandiri
Deskriptor
1.1 Mampu menyelesaikan masalahnya sendiri 1.2 Mampu mengerjakan tugas sekolah Bertanggung 2.1 Bertindak sesuai jawab aturan yang berlaku di sekolah 2.2 Tepat waktu Bangga 3.1 Memiliki kepada kebanggaan kemajuan terhadap prestasi dirinya diri 3.2 Mengembangkan kemampuan akademik maupun non akademik Mampu 4.1 Optimis dalam menghadapi menjalani kegagalan tantangan hidup 4.2 Merencanakan masa depan Mampu 5.1 Menerima saran menghargai dan kritik diri sendiri 5.2 Menerima kelebihan dan kekurangan diri
Item Favorabel unfavorabel 1,2 3,4
Jumlah 4
5,8
6,7
4
12
9,10,11
4
13,14 17,18,20
15,16 19
4 4
23,24
21,22
4
25,26,30
27,28,29
6
31,33
32
3
34
35,36,37
4
41
38,39,40,41
5
80
6.
Aktif dalam 6.1 Berkomunikasi diskusi secara aktif 6.2 Mampu menyampaikan pendapat 7. Percaya diri 7.1 Menganggap dirinya sama dengan orang lain 7.2 Mengembangkan kemampuan yangg dimiliki 8. Disenangi 8.1 Memahami orang banyak lain orang 8.2 Menjadi diri sendiri Jumlah
42
43,44,45
4
49
46,47,48
4
50,54,55
51,53
5
56,57,58
3
59
4
60,61,62 63,64,65,66 31
4 35
66
Setelah hasil skala diketahui, kemudian hasil skala direkapitulasi dengan kriteria tingkat self esteem siswa yang ditentukan dengan interval yang dibuat dengan rumus : I=
Keterangan: I
= Interval
NT = Nilai Tertinggi NR = Nilai Terendah K = Kriteria Jadi, untuk menentukan kriteria self esteem yang tergolong rendah adalah : I=
=
(
) (
)
=
= 88
81
Table 3.3 Kriteria self esteem Interval
Kriteria
243-330
Tinggi
155-242
Sedang
66-154
Rendah
G. Pengujian Instrumen 1.
Uji Validitas Validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah.
Penulis menggunakan validitas isi. Untuk menguji validitas isi, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Instrument disusun berdasarkan aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan para ahli. Dalam hal ini, para ahli yang dimintai pendapatnya adalah tiga dosen Bimbingan dan Konseling FKIP Unila. Untuk menghitung koefisien validitas isi, penulis menggunakan formula Aiken’s V yang didasarkan pada hasil penilaian panel ahli sebanyak n orang terhadap suatu aitem. Penilaian di lakukan dengan cara memberikan angka antara 1 (yaitu sangat tidak mewakili atau sangat tidak relevan) sampai dengan 4 (yaitu sangat
82
mewakili atau sangat relevan). Rumus dari Aiken’s V adalah sebagai berikut:
V = ∑s / [n(c-1)]
Keterangan : ∑s = jumlah total n = jumlah ahli c = angka penilain validitas yang tertinggi s = r – lo r = angka yang diberikan oleh seorang penilai lo = angka penilaian validitas yang terendah (dalam hal ini = 1) c = Angka penilaian validitas yang tertinggi (dalam hal ini = 4) Berikut ini penghitungan Aiken’s V : Tabel 3.4 Hasil Judgment Expert dengan Aiken’s V
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pernyataan Dapat mengambil keputusan sendiri tanpa harus meminta pertimbangan dari teman-teman Berusaha mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi Sulit mengetahui apa yang harus dilakukan bila menghadapi masalah Meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Berupaya mengerjakan tugas sekolah dan tugas rumah sendiri Mencontek pekerjaan teman bila tugas dirasa sangat sulit Menunda dalam mengerjakan tugas sekolah dan tugas dirumah
Hasil Perhitungan Aiken’s V 0, 77 0, 77 0, 77 0, 77 0, 77 0, 77 0, 77
83
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Bertanya dengan guru apabila tugas dirasa sulit Pergi keluar kelas saat guru tidak hadir saat jam pelajaran Berpakaian seragam sekolah dengan rapih Berperilaku sesuka hati, meskipun ada guru yang sedang mengajar Membuang sampah pada tempatnya Datang ke sekolah tepat waktu Mengumpulkan tugas sesuai waktu yang ditentukan Berlama-lama dikantin saat jam istirahat telah selesai Merasa tidak pantas di puji oleh teman-teman karena prestasi yang diperoleh Bangga dengan hasil belajar berapapun yang telah diperoleh Menunjukkan prestasi yang pernah diperoleh kepada teman-teman Merasa minder apabila mendapat nilai kecil Senang pergi ke perpustakaan untuk membaca buku pelajaran Menyukai novel/buku cerita dibandingkan buku pelajaran Tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah Mengetahui bidang karir yang cocok dengan bakat dan minat Optimis dapat mencapai target yang telah ditetapkan Berupaya mencari solusi diri untuk setiap masalah Yakin bisa menghadapi setiap cobaan yang datang dalam hidup Merasa sangat sedih/prustasi, ketika mendapatkan nilai yang rendah Mudah putus asa ketika menemui kegagalan Takut bersaing dengan teman-teman satu kelas Cita-cita ingin menjadi orang sukses dibidang yang akan ditekuni Mengetahui potensi diri Tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah Komentar dari orang lain tentang diri, akan direnungkan sebagai bahan instropeksi diri Merasa senang jika ada yang mengomentari penampilan Akan marah dan tidak mau lagi berteman dengan orang yang selalu mengkritik perilaku Menjadi sangat marah jika ada yang mengkritik penampilan Merasa tidak percaya diri dengan kondisi fisik yang dimiliki Tidak menyukai sifat-sifat yang dimiliki dalam diri
0, 77 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,77 0,77 0,77 0,77
84
39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68.
Merasa kurang puas dengan proporsi tubuh Merasa iri dengan orang lain Senang berkumpul bersama teman-teman Senang berpartisipasi dalam kegiatan Lebih senang menyendiri daripada ada yang mengajak mengobrol Membutuhkan dukungan untuk berani mengungkapkan pendapat Berpendapat hanya akan membuat dijauhi teman-teman Kecewa seandainya pendapat yang sampaikan tidak diterima orang lain Jika menjadi ketua kelas/ekstrakulikuler, setuju maupun tidak setuju teman-teman harus mengikuti aturan yang buat Malu bergabung dengan teman yang lebih pintar Tetap percaya diri berteman dengan siapa saja, meskipun saya tidak sepintar teman-teman Berani memperkenalkan diripada orang yang baru dijumpai Merasa rendah diri terhadap kekurangan yang dimiliki Bangga dengan penampilan fisik yang dimiliki Merasa malu ketika ada yang memuji penampilan Merasa layak mendapatkan pujian atas usaha yang telah dilakukan Senang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang sesuai dengan hobi Tertarik membaca buku novel daripada buku pelajaran Sangat tidak tertarik mengikuti les mata pelajaran Membantu teman-teman yang membutuhkan pertolongan dengan senang hati hanya akan berteman dengan teman-teman yang pintar atau yang kaya saja Mengucapkan terima kasih dengan menunjukkan raut muka bahagia kepada orang yang telah memuji berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan Mengejek/memandang aneh teman yang berpenampilan Bertoleransi terhadap teman yang membutuhkan Merasa puas dengan tampilan wajah Merasa puas dengan penampilan yang dimiliki Pantas menjadi ketua dalam ekstrakulikuler karena kemampuan Dapat mengambil keputusan sendiri tanpa harus meminta pertimbangan dari teman-teman Berusaha mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi
0,66 0,66 0,66 0,66 0,77 0,77 0,77 0,77 0,66 0,66 0,66 0,66 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66
85
Semakin mendekati angka 1,00 perhitungan dengan rumus Aiken’s V dinterpretasikan
memiliki validitas yang tinggi. Berdasarkan hasil
penghitungan dengan rumus Aiken’s V yang telah dilakukan, dapat di simpulkan bahwa instrument valid dan instrumen dapat digunakan. Dalam pelaksanaan uji ahli (Judgment experts), peneliti melakukan uji ahli pada 3 dosen bimbingan dan konseling. Hasil uji ahli disajikan selengkapnya dalam lampiran 3 halaman 147.
2.
Uji Reliabilitas Menurut Arikunto (2006:154), reliabilitas adalah suatu instrumen yang cukup dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data karena instrumen itu sudah baik. Pada penelitian ini untuk mengukur reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus koefisien alpha dengan bantuan Statistical Product and Service Solution V.20 (SPSS 20). Tingkat reliabilitas skala dapat dilihat dengan menggunakan teknik rumus alpha.
r=[
(
] [1-
)
∑α α
]
keterangan: r = koefisien reliabilitas (Cronbach Alpha) k = banyaknya butir pernyataan = total varian butir = total varian
Indeks pengujian reliabilitas Cronbach alpha (α) menurut Guilford (Nazir, 2005: 144) adalah sebagai berikut:
86
0,90 - 1,00 0,70 - 0,90 0,40 - 0,70 0,20 - 0,40 0,00 - 0,20
= = = = =
sangat tinggi tinggi sedang rendah sangat rendah
Berdasarkan hasil uji coba instrumen reliabilitas pada instrumen yang dihitung dengan rumus Alpha Cronbach, diperoleh nilai koefisien reliabilitas Alpha menunjukkan bahwa instrumen ini memiliki reliabilitas yang tinggi karena nilai alpha = 0,983 > r tabel = 0,38 (hasil reliabilitas dapat dilihat di lampiran 5 halaman 159). Dari perolehan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa instrumen dalam penelitian ini layak untuk digunakan dalam penelitian.
H. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Dengan analisis data maka akan dapat membuktikan hipotesis. Arikunto (2006:151) menyatakan bahwa “penelitian eksperimen bertujuan untuk mengetahui dampak dari suatu perlakuan, yaitu mencoba sesuatu, lalu dicermati akibat dari perlakuan tersebut”. Subjek dalam penelitian ini kurang dari 25, maka distribusi datanya dianggap tidak normal (Sudjana, 2002:93).
Maka dari itu pendekatan yang efektif adalah hanya dengan membandingkan niai-nilai pretest dan posttest. Karena subjek penelitian diperoleh melalui purposive sampling, dan data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data ordinal maka analisis statistik yang digunakan adalah nonparametrik.
87
Maka analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon Match Pairs Test (Hasil uji Wilcoxon dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 174)
Adapun rumus uji Wilcoxon ini menurut Sugiyono (2010: 242-243) adalah sebagai berikut :
z = T-µT /σT Keterangan :
T = jumlah rank dengan tanda paling kecil µ T = n(n+1)/4 dan σT = √n(n+1)(2n+1)/24
Menurut Sugiyono (2010: 241) pengambilan keputusan dapat didasarkan pada hasil uji z, yaitu: Jika statistik hitung (angka z output) > statistik tabel (tabel z), maka H 0 diterima (dengan taraf signifikansi 5%)
Jika statistik hitung (angka z output) < statsitik tabel (tabel z), maka H 0 ditolak (dengan taraf signifikansi 5%).
Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah z = -2,805 < z tabel = 1,645. Maka dari hasil pengambilan keputusan diatas apabila z output < z tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di SMP Negeri 26 Bandar Lampung, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Kesimpulan Statistik Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian layanan konseling kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan self esteem siswa. Hal ini terbukti dari hasil uji hipotesis menggunakan uji Wilcoxon, diperoleh hasil perhitungan uji Wilcoxon, output didapat nilai z hitung adalah -2,805. Kemudian dibandingkan dengan z tabel, dengan nilai α = 5% adalah 0,05=1,645. Oleh karena z hitung < z tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya terjadi peningkatan yang signifikan pada self esteem siswa, sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan dengan layanan konseling kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa konseling kelompok dapat meningkatkan self esteem siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2015/2016.
141
2. Kesimpulan Penelitian Self esteem siswa dapat ditingkatkan dengan layanan konseling kelompok. Hal ini ditunjukkan dari hasil posttest dan perubahan perilaku kesepuluh subyek penelitian yang sebelum diberikan perlakuan memiliki self esteem yang rendah, tetapi setelah diberi perlakuan dengan konseling kelompok kesepuluh subyek tersebut self esteem meningkat menjadi lebih baik.
B. Saran Adapun saran yang dapat dikemukakan dari penelitian yang telah dilakukan di SMP Negeri 26 Bandar Lampung adalah: 1. Kepada Siswa Siswa yang memiliki self esteem yang rendah, dapat mengikuti layanan konseling kelompok yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling. 2. Guru Bimbingan dan Konseling Kepada guru bimbingan dan konseling dapat membuat layanan konseling kelompok sebagai salah satu program unggulan dalam program bimbingan dan konseling 3. Kepada para peneliti Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, kepada peneliti lain diharapkan untuk mengadakan penelitian sejenis lebih lanjut dengan mengambil wilayah penelitian yang lebih luas, subjek yang lebih banyak dan menggunakan layanan individu terlebih dahulu supaya peneliti lebih mudah mengetahui data diri subjeks, menggunakan variabel yang berbeda, juga melakukan penelitian pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi
142
seperti pada siswa SMA atau Universitas, sehingga dapat ditemukan hasil yang lebih optimal dan bisa digeneralisasikan pada wilayah yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bandung: Rineka Cipta. Azwar, S. 2009. Sikap Manusia, Teori, dan Pengukurannya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Babari, Yohannes. 2003. Relasi Dengan Diri Sendiri. Jakarta: Bina Nusantara. Emzir.2012.Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada. Evita. 2015. Peningkatan Self Esteem menggunakan Layanan Konseling Kelompok. Lampung: ALIBKIN Gea, Antonius Atosakhi, dkk. 2003. Character Building 1 Relasi dengan Diri Sendiri (edisi revisi). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hurlock, EB. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pndekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi 5. Surabaya. PT Gelora Aksara Pratama Erlangga Jahja, Yudrik. 2011.Psikologi Perkembangan. Jakarta:PT. Kencana. Jarvis, Matt.2011. Teori-teori Psikologi (Pendekatan Modern Untuk Memahami Prilaku, Perasaan, & Pikiran Manusia. Bandung: Nusa Media. Lubis, N.L. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: PT. Kencana Mruk, Christopher J. 2006. Self-esteem research, theory, and practice: toward a positive psychology of self-esteem 3rd Edition. New York: Manufacturing Group Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Patrick, Matthew. 2000. Self Esteem Third Edition. Canada: New Harbinger Publication Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia. __,dkk. 1999. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : PT. Renika Cipta 2004. Layanan Bimbingan Kelompok Konseling Kelompok. Padang: Universitas Padang. Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah Achmad Chusairi & Juda Damanik. Edisi ke-1 Jakarta: PT Erlangga. 2007. Remaja Edisi 11 Jilid 2. Jakarta : Erlangga _______2010. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah Achmad Chusairi & Juda Damanik. Edisi ke-12 Jakarta: PT Erlangga. 2011. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah Achmad Chusairi & Juda Damanik. Edisi ke-13 Jakarta: PT Erlangga. Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Administrasi. edisi Sembilan. Bandung: C.V Alfabeta. Wibowo, Mungin. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UPT Unnes Press