MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 76 DAN 83/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI PEMOHON DAN PIHAK TERKAIT (V)
JAKARTA RABU, 29 OKTOBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 76 DAN 83/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 245] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: 1. Supriyadi Widodo Eddyono 2. Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: 1. Febi Yonesta 2. Rizal ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon dan Pihak Terkait (V) Rabu, 29 Oktober 2014, Pukul 11.22 – 11.55 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Muhammad Alim Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Maria Farida Indrati Aswanto Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman
Hani Adhani Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Supriyadi Widodo Eddyono 2. Anggara B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Erasmus Napitupulu 2. Robert Sidauruk C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Roichatul Aswidah D. Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Febi Yonesta E. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Ichsa Zikri 2. Tigor 3. Wirdan Fauzi F. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Nurdin Priyanto G. Pemerintah: 1. Budijono 2. Jaya 3. Violita 4. Liana Sari H. Kuasa Hukum Pihak Terkait Nasdem: 1. Taufik Basari I. Kuasa Hukum Pihak Terkait PKS: 1. Ismail Nganggon 2. Aristia Dewi
i
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.22 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara 76/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon yang 76?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Hadir, Yang Mulia.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Pemohon yang 83?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ICHSA ZIKRI Hadir, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Dari Pemerintah?
6.
PEMERINTAH: BUDIJONO Hadir, Yang Mulia.
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. DPR tidak hadir. Belum terbentuk komisinya. Ada Nasdem di sini ini. Pihak Terkait Nasdem ada ya?
8.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Hadir, Yang Mulia.
1
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA PKS?
10.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PKS: ISMAIL NGANGGON Hadir.
11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Baik, terima kasih. Hari ini kita lanjutkan sidang untuk mendegarkan keterangan dari Ahli untuk Perkara 76 satu orang dan saksi untuk Perkara Nomor 83 satu orang. Saya persilakan maju ke depan, Ibu Roichatul Aswidah untuk Ahli.
12.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, mohon ikuti kata-kata saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
13.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
14.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan kembali ke tempat. Saya persilakan maju ke depan untuk diambil sumpah sebagai Saksi, Saudara Nurdin Priyanto, ya maju ke depan.
16.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Mohon ikuti kata-kata saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
2
17.
SAKSI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
18.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih.
19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, kembali ke tempat. Ya, Saudara Nurdin Priyanto silakan di podium, apa yang mau disampaikan? Ya, berdiri di podium di situ, ya.
20.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: NURDIN PRIYANTO Ya, sebelumnya assalamualaikum wr. wb. Kepada Yang Mulia Majelis Hakim, nama saya Nurdin Priyanto, dipanggil Nurdin. Saya adalah seorang pengamen jalanan di daerah Cipulir. Saya akan menceritakan dua pengalaman pahit saya selama berhadapan aparat kepolisian. Awal mula pengalaman saya berhadapan dengan polisi, dimulai pada tanggal 30 Juni 2013. Pada hari itu, saya dan teman-teman saya baru pulang dari Parung Panjang sehabis menginap di rumah Emak Parung. Sepulangnya dari situ, saya dan teman-teman saya menuju ke kolong jembatan Cipulir. Waktu saya sampai di bawah kolong Cipulir, saya lihat ada orang tergeletak lemas. Kemudian karena kasihan dengan kondisinya, saya dekati dan sempat saya tanyakan, apa dia butuh bantuan atau tidak? Karena dia bilang tidak, ya sudah, saya tinggalkan karena saya akan pergi mengamen kembali dan kembali ke Parung setelah mengamen. Saya sampai di Parung lagi pada tengah malam, saya langsung mencari tempat beristirahat seperti biasanya, Bapak dan Ibu Hakim, saya tidur di depan warnet pinggir jalan. Saat saya tertidur lelap di depan warnet, kira-kira pukul 04.00 WIB pagi, tiba-tiba saya dibangunkan oleh kurang-lebih 5 orang bertubuh besar dan tegap. Saya pikir, saya dibawa Kantib karena saya tidur di jalanan. Tapi, tahu-tahu begitu saya bangun, kepala saya langsung ditinju, saya jatuh, dan langsung ditendang, dan diinjak-injak oleh orang-orang tersebut. Saya minta ampun dan bertanya apa salah saya, Pak? Tanpa menjawab pertanyaan saya, saya dibawa masuk ke dalam mobil dan di mobil dibawa ke Polda. Barulah saya tahu, yang baru saja memukuli saya adalah polisi. Sesampainya di Polda, saya bertemu dengan teman-teman saya. Ada Andro dan anak-anak kecil pengamen yang lain, saya langsung 3
nanya, ada apa? Dan dari mereka, saya baru tahu kalau saya dituduh membunuh orang yang saya temui di kolong Cipulir. Belum lama saya sampai di Polda, saya dibawa ke lapangan berdua Andro, saya dibawa masuk ke ruangan, mata saya dilakban, dan kemudian saya disetrum di bagian perut saya, saya menjerit kesakitan, saya berontak, tapi dipegangi oleh polisi. Saya disetrum lagi sampai akhirnya polisi menanyakan, “Ngaku enggak kamu? Teman-teman kamu yang kecil sudah pada ngaku!” Saya enggak tahan, Pak Hakim dan Bu Hakim, saya takut, akhirnya saya bilang, “Ya, Pak, saya ngaku.” Barulah sehabis itu saya tidak disetrum lagi dan saya dibawa ke ruangan dan diperiksa. Selama ditahan, saya hanya pasrah saja. Sampai akhirnya, ibu teman saya si Andro mengatakan, kami mendapat bantuan dari pengacara LBH Jakarta. Saya sangat berharap dan buru-buru ingin keluar dari penjara. Tetapi, di Pengadilan Jakarta Selatan, saya divonis bersalah, saya divonis tujuh tahun penjara. Padahal pelaku sebenarnya sudah bersedia mengakui bahwa dia dan dua orang temannya yang membunuh. Lagi-lagi saya hanya pasrah, saya hanya bersedih kalau ingat ibu saya. Alhamdulillah, sekarang saya dan Andro dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta karena tidak terbukti melakukan pembunuhan. Berapa bulan semenjak saya kembali jadi orang bebas, saya bekerja serabutan dan masih menjadi pengamen untuk membu … memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Sampai kira-kira tiga minggu yang lalu, pada siang hari, saya sedang keliling untuk mengamen di daerah Cipulir, saya disergap oleh tiga orang berpakaian preman. Saya disergap di dalam bengkel di daerah Cipulir dan inilah pengalaman kedua saya. Saya disergap, langsung dijatuhkan dan dipiting oleh orang-orang tersebut. Lagi-lagi tanpa tahu mereka siapa. Hanya saja, kali ini saya tahu mereka sepertinya adalah polisi karena saya langsung diborgol sambil diinjak-injak dan dipegangi, saya digeledah. Saya hari itu hanya pakai kaus, celana pendek, dan sepatu. Seluruh badan saya digeledah karena mereka bilang saya adalah pengedar narkoba. Saat saya digeledah, tidak ada narkoba apa pun yang didapat dari saya. Tapi, saya tetap dibawa ke dalam mobil oleh polisi tersebut. Di dalam mobil, saya sudah lemas, saya terbayang kejadian yang pernah menimpa saya sebelumnya. Polisi menuduh saya pengedar narkoba di dalam mobil. Kaki saya ditodong pistol dan saya dipukul di dada saya, tapi kali ini saya tidak mau mengulangi kesalahan saya yang sama. Saya tetap bilang tidak, saya tidak mau mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan, walaupun risikonya kaki saya ditembak. Saya tidak mau terulang pengalaman seperti dulu. Saya tidak kuat, Pak Hakim dan Bu Hakim.
4
Pengalaman saya yang kedua membuat saya berpikir, apa saya salah menjadi pengamen? Demi Allah, Pak Hakim dan Bu Hakim, saya hanya mengamen untuk mencari nafkah untuk menghidupi saya dan keluarga saya. Saya mengamen karena memang saya hanya bisa mengamen. Saya memang hidup di jalanan, tidak sekolah, namun sumpah Demi Allah, Pak Hakim dan Bu Hakim, saya bukan penjahat. Saya harap cerita saya dapat membantu orang-orang lain mendapatkan keadilan dan jangan sampai diperlakukan seperti saya. Saya juga berharap agar polisi jangan sewenang-wenang memperlakukan orang, terutama orang-orang kecil dan miskin seperti kami. Demikian keterangan saya. Terima kasih banyak, Pak Hakim Yang Mulia dan Bu Hakim Yang Terhormat. 21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan kembali ke tempat duduk dulu. Ya, Ibu Roichatul, silakan ke podium.
22.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ROICHATUL ASWIDAH Selamat siang, assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Atas permintaan Pemohon dalam Pengujian Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (Undang-Undang MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bersama ini saya sampaikan keterangan tertulis saya. Pertama adalah tentang hak atas kesetaraan di hadapan hukum. Kesetaraan di hadapan hukum sebagai hak diakui dan dijamin oleh konstitusi, di mana Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan ini dapat kita pandang sebagai salah satu pengejawantahan dari jaminan nondiskriminasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) konstitusi kita yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Ketentuan-ketentuan tersebut serupa dengan ketentuan dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan oleh 5
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, di mana Pasal 14 ayat (1) juga menjamin hak untuk setara di hadapan hukum. Hal ini juga dipandang sebagai pengejewantahan prinsip umum kesetaraan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 26 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dan dari risalah persidangan untuk perumusan ketentuan tersebut, dapat kita ketahui bahwa kesetaraan di hadapan pengadilan adalah sebuah prinsip umum yang penting dari rule of law. Komite Asasi Manusia menegaskan bahwa hak atas kesetaraan di hadapan pengadilan dan peradilan yang adil adalah sebuah elemen yang sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia dan merupakan perangkat prosedural untuk menjamin terjaminnya rule of law. Pasal 14 Kovenan ini bertujuan untuk menjamin administrative of justice yang layak dan pada akhirnya menjamin serangkaian hak asasi manusia. Prinsip ini harus dibaca secara bersama dengan larangan diskriminasi, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dalam hal ini, praktik diskriminiatif oleh peradilan, utamanya atas alasan-alasan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21 seperti ras, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan lainnya, asal usul kebangsaan, atau sosial, hak milik, status kelahiran, atau status lainnya juga dapat merupakan pelanggaran dari Pasal 14 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik. Yang Mulia, hak ini dijamin juga oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat (2) undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan pengakuan hukum yang adil, serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Yang Mulia, izinkan saya menjelaskan berkaitan dengan soal imunitas, kaitannya dengan hak atas kesetaraan di hadapan hukum, hak atas asas pada pengadilan, dan dampaknya bagi pemenuhan hak korban. Hal ini terkait dengan ketentuan dari Pasal 24 … 245 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang dalam hal ini menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Ayat (2) menyatakan, “Dalam hal persetujuan tertulis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan, paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.” Ayat (3) nya menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara 6
berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.” Pertanyaannya adalah apakah rumusan Pasal 245 UndangUndang MD3 merupakan bentuk diskriminasi ataupun penyimpangan terhadap prinsip kesetaraan di hadapan hukum, oleh karena dalam beberapa hal memberikan imunitas pada anggota parlemen? Dalam hal ini, izinkan saya untuk merujuk pada ketentuan dan pemaknaan dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah saya sampaikan bahwa Kovenan tersebut telah disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 14 pada Kovenan yang mengatur kesetaraan di hadapan pengadilan, pada dasarnya meliputi hak atas asas pada pengadilan, dimana hak ini menjamin tidak ada orang … tidak ada satu orang pun yang terkurangi haknya untuk menuntut keadilan. Yang Mulia, hak ini memang tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi berdasar atas pembatasan yang sah. Misalnya, pembatasan dalam periode waktu tertentu, peraturan terkait anak, orang dengan keterbatasan mental, ataupun imunitas parlemen, serta imunitas dari organisasi internasional. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa kesetaraan di hadapan peradilan memang tetap tidak terpengaruh, misalnya oleh diplomatic privilege ataupun oleh imunitas parlemen. Artinya, imunitas ataupun privilege memang masih diperkenankan dan bukan merupakan penyimpangan dari prinsip kesetaraan di hadapan pengadilan dan tidak menyimpang dari prinsip diskriminasi. Namun demikian, Komite Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pembatasan apa pun terkait dengan hak atas akses pada pengadilan, haruslah tetap berdasarkan atas hukum dan harus sah berdasar atas alasan yang objektif dan masuk akal. Komite Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa sebuah pelanggaran atas Pasal 14 dari kovenan hak sipil dan politik apabila pembatasan dilakukan dengan tidak berdasar hukum tidak diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah. Atau jika akses pada individu kemudian akan mengurangi esensi hakiki dari hak yang dijamin oleh Pasal 14 kovenan hak sipil dan politik. Pengadilan hak asasi manusia di Eropa menerapkan tes yang serupa, di mana pembatasan tidak boleh mengurangi esensi hak, serta harus memenuhi asas proporsionalitas dan diperlukan untuk tujuan yang sah. Yang Mulia, imunitas parlemen memang diperkenankan, akan tetapi sebagai dasar pembatasan hak, harus pula menjalani tes proporsionalitas dan asas keperluan. Dalam hal ini, hal-hal yang harus dicermati adalah bahwa dalam sejarahnya, imunitas parlemen lahir dengan sebuah alasan yang sangat kuat, yaitu untuk membentengi parlemen dari tirani penguasa. Pada abad modern saat ini, di negara-negara demokratis semakin dipandang bahwa anggota parlemen tidak memiliki ketakutan dari kekuasaan para raja. Imunitas dan privilege yang diberikan kemudian, 7
justru dipandang seperti membentengi yang kuat melawan yang lemah daripada yang sebaliknya. Oleh karena itu, pengadilan hak asasi manusia Eropa mengakui praktik-praktik di banyak negara yang memberikan imunitas pada parlemen hanya untuk mencapai tujuan yang sah dalam rangka melindungi kebebasan berbicara di parlemen, serta menjaga pembagian kekuasaan separation of power antara legislator dan penegak hukum. Kecenderungan yang terjadi, kemudian di banyak negara demokratis adalah adanya pembatasan lingkup imunitas. Di Perancis izin dari majelis tidak lagi diperlukan bagi penyidikan kasus pidana sejak Reformasi Konstitusi Perancis pada Tahun 1995. Demikian juga di Italia, serta di Rumania, sejak reformasi konstitusi pada 2003, di mana terhadap senator dapat langsung dilakukan penyidikan pidana, maupun penyidikan untuk tindak pidana atau untuk tindak yang tidak terkait langsung dengan pendapat, ataupun pemberian suara dalam rangka pelaksanaan tugas mereka sebagai senator. Inggris juga hanya menerapkan imunitas pada perkara perdata. Namun untuk tindak pidana, anggota parlemen diperlakukan sama seperti orang pada umumnya. Yang Mulia, hal terakhir yang saya soroti adalah dampak pengaturan Pasal 245 Undang-Undang MD3 terhadap pemenuhan hak korban atas keadilan. Pasal 14 Kovenan Hak Sipil dan Politik menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya, undue delay. Hal ini bukan hanya melingkupi hak seseorang untuk diadili dalam waktu yang masuk akal tanpa penundaan yang tidak semestinya, akan tetapi sesungguhnya juga untuk menjamin agar hak korban dari kasus terkait hak mendapatkan keadilannya. Oleh karena itu, penundaan proses penyidikan kemudian akan melanggar hak korban untuk mendapatkan keadilan. Kesimpulannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 memuat imunitas parlemen untuk mengikuti proses hukum dalam ranah pidana yang dapat dipandang sebagai pembatasan kesetaraan di hadapan hukum, serta hak atas akses pada pengadilan. Imunitas tersebut walaupun pada umumnya diperkenankan, namun dalam hal ini tidak memenuhi asas proporsionalitas dan tidak juga memenuhi untuk ... dan juga tidak diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah, imunitas tersebut oleh karena menunda proses yang harus dilakukan kemudian telah memengaruhi dan melanggar hak korban atas keadilan. Yang terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, demikian keterangan yang dapat saya berikan. Atas perhatian, diucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.
8
23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Pemohon untuk Perkara Nomor 83/PUUXII/2014 ada pertanyaan untuk Saksi?
24.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ICHSA ZIKRI Tidak ada, Yang Mulia.
25.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak ada. Pemerintah ada?
26.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Yang Mulia.
27.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pihak Terkait? Untuk Saksi dulu.
28.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Tidak ada, Yang Mulia.
29.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ahli?
30.
Baik. Pemohon Nomor 76/PUU-XII/2014 ada pertanyaan untuk
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: Tidak ada, Yang Mulia.
31.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak ada. Pemerintah?
32.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Yang Mulia.
9
33.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Pihak Terkait?
34.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Ada, Yang Mulia.
35.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ada. Ya, silakan.
36.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Baik, terima kasih, Yang Mulia. Kepada Saudara Ahli. Dalam pelaksanaannya, Pasal 245 Undang-Undang MD3 ini seorang DPR yang hendak dipanggil dan diminta keterangannya untuk penyidikan harus mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan pemberian persetujuan ini diberikan rentang waktu hingga 30 hari untuk mendapatkan kepastiannya. Nah, artinya, apabila Majelis Kehormatan Dewan belum juga memberikan persetujuan, maka proses pemanggilan dan permintaan keterangan tersebut menjadi tertunda hingga sampai 30 hari. Nah, penundaan ini kan juga merupakan bagian penundaan dari proses penyidikan. Pertanyaannya, di dalam teori hukum, kan terdapat adagium justice delayed is justice denied. Nah, penundaan proses penyidikan ini, menurut kami juga termasuk justice delayed for the public and the victims rights. Nah, mohon penjelasan Ahli mengenai kaitan antara justice delayed is justice denied ya dalam konteks prinsip hak asasi manusia, sehubungan dengan Pasal 245 Undang-Undang MD3 ini. Yang kedua, Yang Mulia. Tadi Ahli mengutip European Court of Human Rights yang di dalam kasus Kart vs Turkey dalam Dissenting Opinion of Judgment Bonello, dan kawan-kawan. Ada pengakuan terhadap imunitas anggota parlemen untuk memberikan perlindungan hak berbicara di parlemen. Nah, kalau kita kaitkan dengan Pasal 245 ini, sebenarnya kan agak berbeda. Ini bukan imunitas terkait dengan kebebasan berbicara parlemen. Karena Pasal 245 ini juga bisa mencakup tindak pidana yang lain, misalnya anggota parlemen ada yang melakukan penggelapan, ada yang melakukan penipuan, ada yang melakukan pemalsuan surat. Juga kalau kita lihat konteksnya Pasal 245 ini, juga termasuk harus ditunda ya atau harus meminta izin dahulu ketika diperiksa. Nah, oleh karena itu, saya mohon penjelasan dari Ahli. Apabila kemudian, ternyata konteks Pasal 245 bukan dalam rangka memberikan 10
imunitas terkait memberikan perlindungan anggota parlemen dalam menjalankan tugas-tugasnya, apakah Pasal 245 ini masih diperlukan jika sebenarnya imunitas terhadap tugas-tugas anggota parlemen ini sudah diberikan, artinya tidak diperlukan lagi kalau sudah ada imunitas terkait dengan tugas itu. Demikian, Yang Mulia. 37.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan Ahli.
38.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ROICHATUL ASWIDAH Terima kasih, Yang Mulia. Izinkan saya menjawab pertanyaan yang kedua terlebih dahulu. Seperti tadi saya nyatakan bahwa Pasal 245 memuat ketentuan yang kemudian memuat gagasan soal imunitas terhadap anggota parlemen dan seperti tadi saya kemukakan yang ingin juga saya tegaskan bahwa pembatasan hak kemudian harus melalui tes proporsionalitas dan tes nesesitas, yang dalam hal ini kemudian Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan kecenderungan di banyak negara demokratis di dunia. Memberikan imunitas parlemen dengan sangat terbatas hanya kepada tugas dalam pelaksanaan tugas berbicara di hadapan parlemen. Jadi proporsionalitas … tes proporsionalitas untuk 245 sebenarnya kemudian menjadi tidak terpenuhi. Pasal 245 tidak memenuhi asas proporsionalitas dan nesesitas yang diperlukan untuk pemberian imunitas tersebut karena memang imunitas tersebut sejauh ini sekarang ini pada abad modern hanya diperlukan bagi parlemen dalam melaksanakan tugas-tugas keparlemenannya. Yang kedua, untuk sebenarnya, untuk pidana umum, anggota parlemen seperti semua dari orang yang masuk di dalam proses hukum, kemudian haknya dilindungi dengan presumption of innocence. Itu kemudian juga amanah dari Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Yang kedua, berkaitan dengan undue delay. Yang Mulia, gagasan soal undue delay menjadi salah satu elemen yang sangat penting untuk fair trial dan dalam rangka melaksanakan atau melindungi hak asasi manusia. Pada negara-negara yang telah meratifikasi atau mengesahakan Kovenan Hak Sipil dan Politik, maka negara pihak kemudian harus menetapkan dan mengatur seluruh proses peradilannya untuk memastikan bahwa proses peradilan berlangsung secara efektif dan dalam proses yang cepat. Prinsip itu kemudian juga harus diejawantahkan di dalam semua proses tahap-tahap dari penyelidikan, penyidikan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena itu, maka kemudian kita tahu bahwa seluruh proses dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan, penahanan 11
dan sebagainya, semuanya memiliki waktunya di semua negara-negara, termasuk di Indonesia. Hal ini tentu sebagaimana kita ketahui adalah dalam rangka menjunjung prinsip dari undue delay yang di dalam bahasa Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa harus diadili, in reasonable time. Yang kemudian, tentu hal ini juga kita pandang sebagai pelaksanaan dari prinsip atau hak atas kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, mungkin nanti dari penyidik atau dari kepolisian yang bisa menjelaskan dampak dari 30 hari itu pada proses kerja mereka. Tetapi, bisa saya ketengahkan bahwa secara prinsipil, itu akan mengganggu prinsip dari undue delay itu. Dan kemudian nanti, akan kemudian seperti saya ketengahkan tadi secara tertulis, akan juga mengurangi dan melanggar hak korban atas keadilan. Selain juga hak dari terduga pelaku atas keadilan. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 39.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Pemohon, apakah masih ada saksi atau ahli yang akan diajukan, Nomor 76?
40.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Cukup. Kami ada satu lagi sebenarnya, Yang Mulia, yang harusnya hadir hari ini, tapi tidak … tidak bisa hadir. Jadi, kami memberikan kebijakan dari Yang Mulia. Tapi kalaupun tidak ada waktu, kami akan memberikan keterangan secara tertulis, Yang Mulia. Jadi, akan ada dua keterangan tertulis.
41.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, tertulis sajalah, ya? Tertulis saja.
42.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Baik, Yang Mulia.
43.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dari Pemohon Nomor 83?
12
44.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ICHSA ZIKRI Sudah cukup, Yang Mulia.
45.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sudah cukup, ya. Pemerintah, apakah ada ahli atau saksi?
46.
PEMERINTAH: BUDIJONO Pemerintah cukup, Yang Mulia.
47.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup, ya. Pihak Terkait juga cukup, ya?
48.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Cukup, Yang Mulia.
49.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Dengan demikian, seluruh sidang pemeriksaan saksi dan ahli untuk perkara ini selesai. Dan Pemohon Nomor 76 dapat mengajukan tambahan keterangan tertulis. Ahli atau saksi?
50.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Yang Mulia.
51.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Keterangan tertulis ahli, ya. Seminggu, ya? Bisa masuk seminggu keterangan ahlinya? Sekaligus kesimpulan, ya?
52.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Baik, Yang Mulia.
13
53.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Jadi, Saudara masukkan kesimpulan, sekaligus … sekaligus keterangan tertulis dari ahli tanggal … hari Rabu, tanggal 5 November. Hari Rabu, tanggal 5 November 2014, pukul 14.00 WIB di Kepaniteraan Mahkamah, tidak melalui sidang lagi. Begitu juga dengan Pihak Terkait dan Pemerintah, ya. Dengan demikian, sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.55 WIB Jakarta, 29 Oktober 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
14