MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NO. 006/PUU-IV/2006 PERKARA 020/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TERHADAP UUD 1945 ACARA PENGUCAPAN PUTUSAN (VI)
JAKARTA
KAMIS, 07 DESEMBER 2006
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NO. 006/PUU-IV/2006 PERKARA 020/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TERHADAP UUD 1945
PEMOHON ASMARA NABABAN. S.H. dkk. ARUKAT DJASWADI.
ACARA PEMGUCAPAN PUTUSAN
Jumat, 7 Desember 2006 PUKUL 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI. Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. 2) Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. 3) H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. 4) Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. 5) I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. 6) Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. 7) MARUARAR SIAHAAN, S.H. 8) Dr. HARJONO, S.H., M.C.L 9) SOEDARSONO, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Alfius Ngatrin, S.H.
Panitera Pengganti
1
HADIR: Pemohon Perkara 006/PUU-IV/2006 1. 2. 3. 4.
Sumaun Utomo H. Tjasman Setyo Prawiro Soenarno Tomo Hardjono Asmara Nababan. (Ketua Elsam)
Kuasa Hukum Pemohon Perkara 006/PUU-IV/2006 • • • • • • • • •
Taufik Basari, S.H. S.Hum, LL.M. Herry Hendro Hardjuno, S.H. Yusuf Suranto, S.H. Wahyu Wagiman, S.H. Zainal Abidin, S.H. Sri Suparyati, S.H. Haris Azhar, S.H. Indria Ferninda, S.H. Sukamawanto, S.H.
Pemohon Perkara 020/PUU-IV/2006 1. Drs. Arukat Djaswadi 2. K.H. M. Ibrahim Kuasa Hukum Pemohon Perkara 020/PUU-IV/2006 • • •
Sumali, S.H., M.H. Dedy Prihambudi, S.H. Aris. B. Cahyono, S.H.
Pemerintah Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Kabag. Litigasi Dept Hukum dan HAM) DPR-RI : (Biro Hukum Setjen DPR-RI) • • •
Agus. (Tim Biro Hukum Setjen DPR-RI) Rudi Romansyah (Tim Biro Hukum Setjen DPR-RI) Dwi Prihartomo (Tim Biro Hukum DPR-RI)
2
Pihak Terkait (Komnas HAM) •
Haris Kriswanto (Ka.Bag Pelayanan Pengaduan Komnas HAM)
Ahli dari Pemohon Perkara 006/PUU-IV/2006 •
Taufik Ismail.
Ahli dari Pemohon Perkara 020/PUU-IV/2006 •
H. Firoz fauzan.
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah Saudara-saudara sekalian, sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk pembacaan putusan final dan mengikat atas perkara ini, dengan ini saya nyatakan di buka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Sebelum kita mulai, saya persilakan semua pihak yang menghadiri sidang ini untuk memperkenalkan diri dulu. Dan sebelum itu saya ingin sampaikan ada dua perkara yang putusannya akan dibacakan secara terpisah, tetapi secara berurutan dalam sidang ini juga. Semula kedua kelompok Pemohon sendiri-sendiri, tetapi karena undang-undang yang diuji adalah undang-undang yang sama maka setelah dimusyawarahkan oleh sembilan hakim dipandang perlu meskipun pemeriksaannya sendirisendiri, tetapi putusannya dibacakan dalam sidang yang sama meskipun tidak dalam sutu putusan. Itu setelah dipertimbangkan plus-minusnya dari semua segi, kami berpendapat/berpendirian ini yang lebih baik. Oleh karena itulah hari ini kedua kelompok Pemohon sama-sama dipanggil untuk mendengarkan langsung bunyi putusan, baik putusan yang satu maupun putusan yang kedua. Baik, saya persilakan dulu memperkenalkan diri mulai dari Pemohon, silakan. 2.
PEMOHON : ASMARA NABABAN Nama saya Asmara Nababan, Ketua Perkumpulan ELSAM sebagai pemohon untuk perkara Nomor 006/PUU-IV/2006.
3.
KUASA HUKUM PEMOHON : WAHYU WAGIMAN, S.H. Terima kasih yang Mulia, nama saya Wahyu Wagiman, kuasa hukum pemohon.
4
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : TAUFIK BASARI, S.H., M. Hum., LL.M Nama saya Taufik Basari, kuasa hukum pemohon perkara 006.
5.
PEMOHON : TJASMAN SETO PRAWIRO Nama saya Tjasman Seto Prawiro, Pemohon.
6.
PEMOHON : SOENARTO TOMO HARDJONO Nama saya Soenarnoto Tomo Mardjono, Pemohon.
7.
KUASA HUKUM PEMOHON : YUSUF SURAMTO, S.H. Nama saya Yusuf Suramto, kuasa pemohon perkara 006
8.
KUASA HUKUM PEMOHON : ZAINAL ABIDIN, S.H. Nama saya Zainal Abidin dari Kuasa Hukum Pemohon perkara 006
9.
KUASA HUKUM PEMOHON : SRI SUPARYATI, S.H Nama saya Sri Suparyati, Kuasa Pemohon perkara 006
10.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARIS AZHAR, S.H. Saya Haris Azhar, kuasa hukum pemohon
11.
KUASA HUKUM PEMOHON : IGNATIUS HERI HENDRO HARJUNO, S.H. Saya Hendro Harjuno, Kuasa Hukum Pemohon 006
12.
KUASA HUKUM PEMOHON : IDRIA FERNIDA, S.H. Indria Ferninda, kuasa hukum pemohon.
13.
KUASA HUKUM PEMOHON : SUKMAWANTO, S.H. Sukmawanto, kuasa hukum pemohon
14.
KUASA HUKUM PEMOHON : SUMALI, S.H., M.H
Bismillahirrahmanirrahim.
5
Nama saya Sumali, Kepala Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, selaku Kuasa Hukum Pemohon perkara nomor 020/PUU-IV/2006. 15.
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIS BUDI CAHYONO, S.H. 020.
16.
Nama saya Aris Budi Cahyono, Kuasa Hukum Pemohon Nomor
PEMOHON : Drs. ARUKAT DJASWADI Nama saya Arukat Djaswadi, Pemohon.
17.
PEMOHON : K.H M. IBRAHIM Nama saya Muhammad Ibrahim, Pemohon.
18.
PEMOHON : Saya Pemohon perkara nomor 020
19.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, saya teruskan di sebelah sini, urut saja.
20.
PIHAK TERKAIT : HARIS KRISWANTO (KOMNAS HAM)
Assalamualaikum wr. wb.
Terima kasih, nama saya Hari Kriswanto, Kepala Bagian Pelayanan Pengaduan Sekretariat Jenderal Komnas HAM. Di undangan sebagai pihak terkait, terima kasih. 21.
AHLI DARI PEMOHON : TAUFIK ISMAIL Nama saya Taufik Ismail, ahli untuk perkara 020.
22.
SAKSI DARI PEMOHON : H. FIROZ FAUZAN Nama saya Firoz Fauzan, saksi perkara 020.
23.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H (KA.BAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM)
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.
6
Saya Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan HAM, terima kasih. 24.
DPR RI : ROMANSYAH (TIM BIRO HUKUM SETJEN DPR-RI) Kami Rudi Romansah dan Dwi Prohartono dari Setjen DPR RI.
25.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sama, oh sudah ya. Baiklah Saudara-saudara sekalian, kami ucapkan selamat datang di Mahkamah Konstitusi, termasuk Saudara-saudara pengunjung dalam sidang tapi di luar pagar selamat datang. Hari ini kita akan membacakan putusan final dan mengikat atas dua perkara ini dan untuk dimaklumi bersama perkara ini sangat penting bagi bangsa kita ke depan dan ini mendapat perhatian masyarakat Indonesia di seluruh tanah air. Karena itulah sidang ini juga di samping kita saksikan dalam sidang ini juga disaksikan oleh warga masyarakat bangsa kita melalui televisi, melalui radio/RRI dan bahkan masyarakat dunia juga menunggu putusan ini. Sampai tadi pagi saya mendapat banyak pertanyaan dari luar negeri, dari Amerika, dari Eropa yang menanyakan dikiranya sudah pembacaan putusan ini. Oleh karena itu Saudara-saudara, mari dengarkan dengan seksama dan kami berharap mudah-mudahan baik Pemohon nomor 006 maupun 020 dapat bersamasama menyimak, karena yang kita harapkan bukanlah menang atau kalah, tetapi solusi dari masalah besar ini. Kedua, karena putusan ini sangat tebal kami akan mulai bacakan putusan 006/PUU-IV/2006 secara bergiliran dan seperti biasa tidak dibaca seluruhnya yang dibaca hanya pengantar langsung nanti kepertimbangan hukum, duduk perkara dan lain-lain sebagainya dianggap sudah pernah dibaca di sini, sehingga tidak perlu lagi dibaca, lalu nanti langsung ke amar dan penutupnya, lalu setelah selesai nanti sidang ini saya tutup, semua pihak termasuk pemerintah dan DPR juga akan langsung mendapat satu copy dari putusan ini secara langsung di sini dan juga bagi masyarakat luas dapat juga mengakses putusan ini langsung melalui internet. Mudah-mudahan ini menjadi tradisi juga dalam rangka perbaikan sistem peradilan di tanah air kita, putusan cepat dan kemudian dapat langsung di akses oleh semua orang.
PUTUSAN Nomor 006/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan Putusan dalam perkara 7
Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh : 1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) beralamat di Jalan. Siaga II Nomor 31, Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Telp (021) 7972662, 398 99777 dalam hal ini diwakili oleh Asmara Nababan, S.H., lahir di Siborong-borong, 2 September 1946, Kristen, WNI, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------PEMOHON I; 2. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) beralamat di Jalan. Borobudur Nomor 14, Jakarta Pusat dalam hal ini diwakili oleh Ibrahim Zakir, lahir di Jakarta, 31 Mei 1951, Islam, WNI, Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras); Selanjutnya disebut sebagai -----------------------------PEMOHON II; 3. Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), beralamat di Perumahan Depok Mulya III Blok AF 3 Tanah Baru, Depok, Jawa Barat, Telp (021) 775 0677 dalam hal ini diwakili oleh Ester Indahyani Yusuf, S.H., lahir di Malang, 16 Januari 1971, Kristen, WNI, Ketua Dewan Pekerja Solidaritas Nusa Bangsa (SNB); Selanjutnya disebut sebagai ------------------------PEMOHON III; 4. Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), beralamat di Jalan. Diponegoro Nomor 9, Jakarta Pusat, Telp (021) 319 00627 dalam hal ini diwakili oleh Rachland Nashidik, lahir di Tasikmalaya, 27 Februari 1966, Islam, WNI, Direktur Eksekutif; Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------PEMOHON IV; 5. Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), beralamat di Jalan. Kramat V No. I C, Jakarta Pusat dalam hal ini diwakili oleh Soenarno Tomo Hardjono, lahir di Solo, 24 Nopember 1934, Islam, WNI, Ketua Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65) Selanjutnya disebut sebagai --------------------------PEMOHON V; 6. Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPRKROB) beralamat di Jalan. Taman Singotoro Nomor 13, Candi Baru, Semarang, Jawa Tengah dalam hal ini diwakili oleh Sumaun Utomo, lahir di Surabaya, 18 Agustus 1923, Kristen, WNI, Ketua Umum Lembaga; Selanjutnya disebut sebagai -----------------------------PEMOHON VI;
8
7. Raharja Waluya Jati, lahir di Jepara, 24 Desember 1969, Islam, WNI, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jalan. Mede II No. 11 Utan Kayu Utara Matraman, Jakarta Timur, Telp (021) 813 8274; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------PEMOHON VII; 8. H. Tjasman Setyo Prawiro, lahir di Semarang, 3 Maret 1924, Islam, WNI, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jalan. Raya Pondok Gede No 19, Rt. 015/Rw. 011, Kelurahan Kramat Jati, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, Telp (021) 9147026; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------PEMOHON VIII; • •
Pemohon Nomor I sampai dengan VI adalah Pemohon yang merupakan Badan Hukum Privat; Permohon Nomor VII sampai dengan VIII merupakan Pemohon Individual (perorangan); Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 29 Agustus 2005 memberikan kuasa kepada :
1. A.H. Semendawai, S.H., LL.M; 2. Asfinawati, S.H; 3. Betty Yolanda, S.H; 4. Chrisbiantoro, S.H; 5. Edwin Partogi, S.H; 6. Erna Ratnaningsih, S.H; 7. Fajrimei. A. Gofar, S.H; 8. Gatot, S.H; 9. Haris Azhar, S.H; 10. Hermawanto, S.H; 11. Ignatius Heri Hendro Harjuno, S.H; 12. Indria Fernida, S.H; 13. Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., LL.M; 14. Ines Thioren Situmorang, S.H; 15. Poengki Indarti, S.H., LL.M; 16. Sondang Simanjuntak, S.H., LL.M; 17. Sri Suparyati, S.H; 18. Supriyadi Widodo Eddyono, S.H; 19. Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M; 20. Uli Parulian Sihombing, S.H; 21. Wahyu Wagiman, S.H; 22. Yusuf Suramto, S.H; 23. Zainal Abidin, S.H; Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Umum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Pengabdian
9
Hukum Indonesia (YAPHI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran memilih domisili hukum di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan. Diponegoro No. 74, Jakarta Pusat, yang bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------Para Pemohon; Telah membaca surat permohonan Pemohon; Telah mendengar keterangan Pemohon; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis ahli dalam negeri dan ahli dari luar negeri serta saksi-saksi yang diajukan oleh pihak Pemohon; Telah mendengar keterangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; Telah mendengar dan membaca keterangan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang KKR; Telah membaca kesimpulan Pemohon. Telah membaca kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; Telah memeriksa bukti-bukti; 26.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas. Menimbang bahwa terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam perkara ini, yaitu: 1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan yang diajukan oleh para Pemohon; 2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; 3. Pokok permohonan yang menyangkut konstitusionalitas undangundang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Terhadap ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH Menimbang Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang 10
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus tentang hasil pemilihan umum.” Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK); Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4429, selanjutnya disebut UU KKR) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon tersebut. II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Menimbang bahwa selain itu, sejak Putusan Nomor 006/PUUIII/2005 dan putusan-putusan berikutnya, Mahkamah telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK, sebagai berikut: a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
11
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Menimbang bahwa dalam menjawab persoalan apakah para Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian ini, maka harus diperiksa (i) dalam kualifikasi apakah para Pemohon akan dikategorikan, dan (ii) hak konstitusional apa yang dimiliki dan dirugikan dengan berlakunya UU KKR; Memimbang bahwa Pemohon I sampai dengan VI mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf c, akan tetapi berdasar alat-alat bukti yang diajukan, tidak ditemukan adanya pengesahan sebagai badan hukum yang telah dilakukan Departemen Hukum dan HAM sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Di lain pihak, Pemohon I sampai dengan VI tersebut yang mendasarkan diri pada apa yang oleh Pemohon sendiri disebut sebagai organisational standing, hanya sebagai perkumpulan, yang belum memperoleh kedudukan sebagai badan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tersebut hanya dapat dikualifikasikan sebagai perorangan warganegara atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Dengan demikian kualifikasinya sama dengan Pemohon VII dan VIII sebagai perorangan warga negara Indonesia. Menimbang para Pemohon mendalilkan bahwa yang menjadi hak konstitusional adalah hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) untuk tidak disiksa, hak untuk hidup, dan hak untuk memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi yang dijamin oleh UUD 1945. Berlakunya UU KKR, telah didalilkan merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena UU KKR dianggap memberi jaminan, penghormatan dan perlindungan HAM para Pemohon sebagaimana disebut Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945, terutama karena Pasal 1 angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, menentukan syarat kompensasi dan rehabilitasi digantungkan pada dikabulkannya amnesti, hal mana dapat menegasi hak atas rehabilitasi dan kompensasi sebagai HAM, yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi menurut UUD 1945 tanpa syarat, menjadi tidak pasti. Menimbang bahwa Pasal 1 angka 9 UU KKR berbunyi, ”Amnesti
adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 27 UU KKR berbunyi, ”Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.
12
Pasal 44 UU KKR berbunyi, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc”.
Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut: 1. Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin oleh undang-undang yang sesuai dengan undangundang dasar. 2. Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang persamaan di depan hukum dan di pemerintahan serta menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang mengatur jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap
orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” serta Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 berbunyi, ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
3. Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945, yang mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Menimbang Pemohon VII dan VIII, masing-masing adalah perseorangan yang mendalilkan dirinya sebagai korban penculikan dan penghilangan paksa tahun 1997-1998, dan bekas tahanan politik selama 14 tahun atas tuduhan terlibat G-30-S tanpa diadili dan dinyatakan bersalah. Berdasarkan anggapan bahwa UU KKR telah bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 tersebut di atas dan merugikan hak konstitusional Pemohon VII dan VIII terutama untuk Pasal 28D Ayat (1) yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 28I Ayat (1) yang berbunyi, ”Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa ...”, Pasal 28I Ayat (4) yang berbunyi, ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”, Mahkamah 13
berpendapat hak konstitusional Pemohon VII dan VIII yang tersebut di atas yang dianggap telah dirugikan oleh UU KKR dimaksud sehingga oleh Mahkamah dapat diterima sebagai pihak yang memenuhi syarat Pasal 51 Ayat (1) UU MK. Oleh karena itu Pemohon VII dan VIII mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ini. Adapun tehadap Pemohon I sampai dengan VI sebagai lembaga sosial masyarakat yang memberi advokasi dan perhatian serta perjuangan untuk membela hak-hak asasi para korban pelanggaran HAM dan bahkan telah ikut serta dalam dengar pendapat di DPR dalam proses pembentukan UU KKR, yang menganggap HAM yang dimuat dalam UUD sebagai hak dan kepentingan mereka sebagai warga negara, maka sesuai dengan putusanputusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005, serta Nomor 003/PUU-III/2005 Mahkamah berpendapat Pemohon I sampai dengan VI memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Sementara itu dua orang hakim konstitusi H.AS. Natabaya dan H.Achmad Roestandi, berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan VI tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk beracara di hadapan Mahkamah. Hal ini didasarkan bahwa para Pemohon I sampai dengan VI selaku asosiasi yang mendalilkan sebagai korban menurut undang-undang a quo tidak beralasan, karena selaku asosiasi menurut hukum pidana tidaklah mungkin para Pemohon dapat dikualifikasi sebagai korban pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sedangkan para Pemohon VII dan VIII, selaku perorangan juga tidak dapat dikualifikasi sebagai korban menurut undang-undang a quo disebabkan para Pemohon tidak memenuhi pengertian korban yang diatur Pasal 1 Angka 5 juncto Pasal 1 Angka 4 UU KKR. Lebih-lebih lagi lembaga KKR yang mempunyai kewenangan untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat belum terbentuk, khususnya kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat masih prematur. 27.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L III. POKOK PERMOHONAN Menimbang bahwa dalil permohonan Pemohon menyatakan Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 27 UU KKR membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara. 2. Amnesti dalam Pasal 27 UU KKR mensyaratkan adanya pelaku. Konsekuensinya tanpa adanya pelaku yang ditemukan, maka amnesti
14
3. 4.
5. 6.
7.
tidak akan mungkin diberikan, sehingga korban tidak mendapat jaminan atas pemulihan; Ketentuan ini telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti. Implikasi dari perumusan Pasal 27 UU KKR telah membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku dan telah mendisriminasikan hak atas pemulihan yang melekat pada korban, dan tidak bergantung pada pelaku dan tidak menghargai korban yang telah menderita akibat pelanggaran HAM yang berat yang dialaminya. Pasal 44 UU KKR memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan lembaga pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial. Pengaturan Pasal 44 UU KKR yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan HAM Ad Hoc, apabila pemeriksaan tersebut telah diselesaikan melalui KKR telah menghilangkan hak negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM yang berat sebagaimana yang diatur dalam hukum internasional baik yang diatur dalam praktik maupun dalam perjanjian-perjanjian internasional. Amnesti bagi pelanggaran HAM berat bertentangan dengan hukum internasional, namun dalam rumusan Pasal 1 Angka 9 UU KKR justru menjelaskan bahwa amnesti diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat sehingga pasal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat internasional.
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya para Pemohon telah mengajukan alat-alat bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-36b, dua orang saksi, dan enam orang ahli yang keterangannya telah diuraikan secara lengkap dalam duduk perkara yang pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: Keterangan Saksi. 1. Saksi Marullah: - Bahwa saksi adalah salah satu korban penyiksaan dalam kasus Tanjung Priok yang ditahan di Guntur, LP Cimanggis, kemudian dipindahkan ke Rutan Salemba. Saksi disidangkan dalam persidangan anak-anak dan divonis 20 bulan penjara dipotong selama dalam tahanan, dan sisa hukumannya dijalani di LP Cipinang selama 17 bulan; - Bahwa saksi adalah salah satu saksi hidup yang menunjukkan tempattempat korban pembunuhan yang dikuburkan antara lain di Pekuburan Pondok Rangon, di Mengkok, dan di Pekuburan Tipar Cakung. Saksi adalah salah satu dari ke-13 orang korban yang mendapatkan kompensasi sebesar Rp 21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah).
15
2. Saksi Mugiyanto: - Saksi sebagai aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMIK) yang memperjuangkan otonomi kampus dan menolak intervensi militer di kampus, diculik pada tanggal 13 Maret 1998 dirumah kontrakan saksi di Klender pada pukul 19.00 WIB oleh petugas dibawa dengan kendaraan dan berhenti di Pos Koramil Duren Sawit, setelah diintrerogasi kemudian dibawa lagi ke Kodim Jakarta Timur; - Saksi dituduh melanggar pasal-pasal antisubversi dan ditahan di Kodim Jakarta Timur, dipindahkan ke Kodam Jaya, kemudian ke Polda Metro Jaya selama tiga bulan dari tanggal 15 Maret sampai dengan 6 Juni 1998. Saksi dilepaskan karena ada perubahan pemerintahan dari Pemerintahan Soeharto kepada Pemerintahan Presiden Habibie dan beliau mencabut Undang-Undang Antisubversi; - Saksi adalah satu dari sembilan korban yang selamat sementara teman-teman anggota organisasi mencatat peristiwa penculikan aktivis tahun 1997-1998 itu ada 13 orang yang masih hilang dan seorang lagi yang dulunya dinyatakan hilang, beberapa hari kemudian ditemukan sudah meninggal. - Menurut saksi, Pengadilan Tim Mawar belum menyentuh para pelaku, sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh korban, keluarga korban, dan oleh saksi sendiri. - Saksi sangat prihatin karena sampai saat ini saksi sebagai warga yang baik, akan tetapi masyarakat tetap mempunyai anggapan bahwa saksi sebagai orang komunis, melawan pemerintah dan juga dicap sebagai fundamentalis, dan dampak-dampak yang saksi rasakan adalah adanya diskriminasi, pemiskinan, dan pembodohan. Ini merupakan kebijakan negara yang tidak adil. Keterangaan Ahli: 1. Ahli Dr. Tamrin Amal Tomagola: -
-
-
Bahwa penghilangan HAM itu bertentangan dengan isi kalimat pertama dari Pembukaan UUD 1945 dan hak-hak kemerdekaan manusia itu adalah tugas dan kewajiban negara untuk melindungi segenap warganya; Bahwa perdamaian antarsemua pihak dalam rangka persatuan Indonesia dan kekompakan seluruh unsur-unsur komponen bangsa dan negara, maka KKR diharapkan tidak justru meninggalkan luka yang tetap menganga tidak terobati, dan membuat kelompok-kelompok atau komponen bangsa itu tetap mempunyai jarak dan saling tidak percaya; Sebenarnya yang harus menjadi fokus dan point of concern dari seluruh proses KKR ini adalah korban dan hak-hak korban, termasuk hak untuk memaafkan dan mengampuni. Yang utama dan pertama adalah hak korban untuk melakukan pengampunan yang dalam hal Presiden disebut
16
-
amnesti; Oleh karena itu, hak pengampunan berada di tangan korban yang harus diupayakan dengan mekanisme yang penuh di KKR agar dapat diselesaikan antarkelompok, tanpa harus melalui pengadilan;
2. Ahli Dr. Asvi Warman Adam, APU.: -
Sebelum tahun 1965, kekuatan politik bersumber atau berada di tangan tiga unsur, yaitu Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Namun pada level di masyarakat sudah terjadi konflik yang melibatkan PKI, BPI, dan ormasnya dengan kalangan Islam. Konflik-konflik itu disebabkan oleh aksi sepihak; - Pada tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober 1965 pecah keseimbangan di antara Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Soekarno secara bertahap tersingkir dan PKI dianggap sebagai dalang peristiwa itu. Tahun 1965 – 1966 terjadi pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali; - Kemudian pasukan RPKAD melatih pemuda setempat, terutama pemuda kalangan Islam, setelah mana kemudian terjadilah penangkapanpenangkapan disertai dengan pembunuhan massal; - Kasus di Indonesia sangat berbeda dengan kasus di Afrika Selatan, di mana banyak pelaku yang bersedia untuk memberikan kesaksian/pengakuan, karena mereka akan diberikan amnesti. Mereka takut karena bila tidak melakukan kesaksian atau pengakuan, mereka akan diseret ke meja pengadilan; - Kalau korban diberikan kompensasi setelah ada amnesti, mungkin akan terjadi kongkalikong juga karena korban mengharapkan kompensasi dan dapat berkompromi dengan pelaku, yang akan menceritakan kesaksiannya yang ringan-ringan saja; - Pasal yang menggantungkan nasib korban kepada amnesti pelaku, sangat tidak adil dan juga mustahil dilakukan. Hak korban untuk mendapat kompensasi melekat pada korban, tidak dikaitkan dengan si pelaku; - Menjadikan sejarah kembali sebagai alat pembebas, salah satunya adalah KKR, yang memberikan kesempatan kepada para korban untuk menceritakan apa yang mereka alami. Ini juga merupakan bagian dari psychological healing, yaitu penyembuhan dengan menceritakan penderitaannya di masa lalu. 3. Ahli Rudi Muhammad Rizky, S.H., LL.M.: -
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara formal sudah memenuhi persyaratan sebagai KKR, menurut Dougatt Principle. Syarat minimum untuk KKR, adalah didirikan oleh badan legislatif atau eksekutif yang dipilih secara demokratis, kemudian komisi harus memiliki kewenangan
17
yang luas, dengan mandat yang luas juga; - Komisi harus berwenang untuk merekomendasikan reparasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat. Sedang bagi pelaku yang menolak untuk bekerjasama dengan komisi atau menolak untuk membuka secara penuh kejahatan yang pernah mereka lakukan, amnesti terhadapnya juga ditolak; - Penghukuman terhadap pelaku sesungguhnya adalah obligation of the man kind as a whole, kewajiban terhadap umat manusia secara keseluruhan. Sedangkan victim compensation itu adalah untuk kepentingan korban atau ahli warisnya; - Salah satu latar belakang UU KKR adalah untuk mengungkapkan kebenaran demi kepentingan korban dan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Kepentingan korban mengemuka dan berkaitan dengan kewajiban atas remedi yang efektif; - Pasal 27 dari UU KKR ini menyangkut ”kompensasi dan rehabilitasi” yang dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Amnesti harus diberikan apabila pelaku mengakui kesalahan, kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia minta maaf kepada korban dan ahli warisnya; 4. Ahli Prof. Douglas Cassel: -
-
-
UU KKR telah gagal untuk memenuhi kewajiban Indonesia sebagai negara dan gagal untuk menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakat Indonesia berdasarkan Hukum HAM Internasional dalam tiga cara: Pertama, gagal menginvestigasi dan mengemukakan kebenaran tentang kasus manapun yang berhubungan dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum tahun 2000; Kedua, gagal untuk memberikan pemulihan kepada korban dan keluarganya; Ketiga, gagal untuk menuntut dan secara layak menghukum para pelakunya; Indonesia sebagai anggota PBB, berdasarkan Pasal 55 dan 56 Piagam PBB sebagai perjanjian hukum internasional bertanggung jawab terhadap HAM; World Court atau pengadilan dunia sejak tahun 1927, mensyaratkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang tuntas dan efektif, memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, menuntut dan menghukum pelaku. Korban memiliki hak untuk mengetahui kebenaran, serta memiliki hak untuk memperoleh keadilan di dalam bentuk penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku; Ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk di dalamnya tidak saja hanya akses keadilan, tetapi harus meliputi lima elemen, yaitu:
18
1. Restitusi, merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik dari si korban; 2. Kompensasi, dalam bentuk uang bagi kerugian-kerugian; 3. Rehabilitasi, termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis; 4. Tindakan-tindakan untuk memuaskan, termasuk di dalamnya adalah pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggung jawab negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi; 5. Jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak terulang lagi atau non repetisi; - Ada pembatasan bagi pemberian amnesti berdasarkan hukum internasional, dan pembatasan tersebut berlaku secara khusus bagi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan subjek dari UU KKR; 28.
HAKIM KONSTITUSI : H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. 5. Ahli Prof. Paul Van Zyl: -
-
-
-
Bahwa bentuk dari Komisi Kebenaran Indonesia yang ada saat ini gagal untuk memenuhi standar yang dibuat oleh PBB untuk mencapai kebenaran dan keadilan dan bukan kebenaran atau keadilan; Satu-satunya KKR yang memberikan amnesti terhadap pelanggaran HAM berat di dunia adalah KKR Afrika Selatan, tetapi keberadaan KKR di Afrika Selatan yang memperbolehkan amnesti itu merupakan suatu pengecualian, bukan merupakan suatu aturan. Alasannya, pengecualian tersebut karena pemerintah apartheid itu menyatakan bahwa demokrasi tidak dapat masuk ke Afrika Selatan kalau amnesti tidak diberikan dan Nelson Mandela serta pemimpin gerakan HAM Afrika Selatan setuju dan memberi janji yang sifatnya konstitusional amnesti tersebut. Oleh karena itu juga maka konstitusi Afrika Selatan yang baru memuat klausul yang memperbolehkan amnesti bagi pelanggaran HAM berat. Seandainya hal itu tidak termuat dalam konstitusi Afrika Selatan, maka Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan tidak akan dapat menerima amnesti tersebut; Bahwa konvensi tentang hak sipil dan politik ini sudah diadopsi ke dalam hukum domestik, begitu juga untuk konvensi terhadap anti penyiksaan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan aturan hukum internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berlaku dan secara hukum mengikat di Indonesia; Bahwa beberapa pasal yang tercantum dalam UU KKR merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, sebagaimana diatur dalam konvensi internasional hak sipil dan hak politik dan juga konvensi internasional anti penyiksaan. Ketentuan dimaksud adalah
19
-
Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 44 UU KKR, di mana berdasarkan pasal-pasal tersebut diperbolehkan bahwa Komisi itu merekomendasikan kepada Presiden bahwa pelaku pelanggaran HAM berat bisa mendapatkan amnesti; Amnesti yang diatur di dalam UU KKR melanggar Pasal 6, Pasal 2 Ayat (3) dari ICCPR; Bahwa Human Rights Commission sekarang telah digantikan oleh Human Right Council, di mana Indonesia memegang peranan penting dalam dewan tersebut;
6. Ahli Prof. Naomi Roht-Arriaza: -
-
-
-
-
Negara tidak hanya harus memberikan pemulihan kepada korban tetapi juga harus meyakinkan atau menjamin bahwa paling tidak hukum nasionalnya memberikan suatu perlindungan terhadap HAM sesuai dengan yang dipersyaratkan sebagai tanggung jawab atau kewajiban internasional. Negara juga harus memberikan atau menyediakan akses yang efektif untuk memperoleh keadilan bagi mereka yang menyatakan diri sebagai korban pelanggaran HAM; Berdasarkan hukum internasional, korban pelanggaran HAM berat adalah korban yang HAM-nya dilanggar. Pada saat di mana kejahatan atau kekerasan tersebut dilakukan, maka pada saat itulah orang tersebut memperoleh status sebagai korban. Negara akan memberikan hak kepada korban pelanggaran untuk memperoleh akses keadilan dan juga untuk memperoleh pemulihan atau reparasi. Hal ini merupakan dua hak yang terpisah tetapi saling berhubungan; Amnesti itu diperbolehkan sesudah konflik. Meskipun demikian ada pembatasan, di mana kejahatan tertentu yang tidak boleh diberikan amnesti. Berdasarkan praktik yang ada saat ini dan juga berdasarkan hukum, dikatakan bahwa terhadap genosida dan kejahatan kemanusiaan tidak dapat diberikan amnesti. Ini adalah suatu kesepakatan internasional yang termuat di dalam perjanijanperjanjian, misalnya treaty anti torture atau antipenyiksaan, di mana Indonesia juga merupakan bagian dari perjanjian tersebut; KKR Afrika Selatan memperbolehkan amnesti sebagai ganti atau tukar menukar dengan kebenaran, akan tetapi bagi mereka yang tidak secara keseluruhan atau secara total menyatakan kebenaran akan di tuntut; KKR Timor Timur memiliki prosedur rekonsiliasi di dalam masyarakat sebagai bagian dari prosedur dari KKR tersebut. Tetapi itu hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan minor atau kejahatan yang lebih ringan. Di Columbia tidak ada KKR, tetapi ada undang-undang tentang kedamaian dan keadilan, di mana undang-undang tersebut memperbolehkan pengurangan masa hukuman lima tahun. Dalam
20
hal ini, Negara Columbia hanya menyatakan kebenaran dan reparasi, tetapi tidak menyediakan amnesti; Menimbang bahwa Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Mantan Ketua Pansus RUU KKR, dan Ketua Komnas HAM telah memberikan keterangan tertulis dan lisan dalam persidangan, yang selengkapnya telah termuat dalam uraian mengenai duduk perkara yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: 1. Pemerintah: a. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconsiliation Commission) merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepankan "nilai-nilai islah" dari Bangsa Indonesia dalam rangka perlindungan dan penegakkan HAM, yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM). Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights) seringkali dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korbannya dan berapa jumlah korbannya. b. Bahwa salah satu esensi yang sangat penting dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu adalah antara pelaku dan korban saling memaafkan (Pasal 29 UU KKR), guna terwujudnya rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional seperti diamanatkan oleh Ketetapan MPR-RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Kedepan diharapkan tidak terulang dan terjadi lagi, seperti pepatah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconsiliation Commission) Argentina yang menyebutnya sebagai "Nunca Ma'as" (jangan terulang lagi), di Afrika Selatan menggunakan istilah "to forgive but not to forget"; c. Bahwa apabila pelaku mengakui kesalahannya secara sukarela, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan memutus pemberian rekomendasi amnesti kepada Presiden secara mandiri dan objektif, hal ini bertujuan agar penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak terus berlarut-larut yang pada gilirannya dapat menghambat pencapaian tujuan rekonsiliasi nasional; d. Bahwa apabila pelaku pelanggaran HAM berat tidak bersedia dan mengakui kesalahannya, tidak mengakui kebenaran fakta-fakta
21
serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM berat tersebut kehilangan hak untuk mendapatkan amnesti dari Presiden dan kasus pelanggaran HAM berat tersebut dapat diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Pengadilan HAM. e. Bahwa bila terjadi penolakan permohonan amnesti oleh Presiden, hal ini bukanlah akhir dari perjuangan menegakkan keadilan atas pelanggaran HAM berat, yang terjadi pada masa lalu, terutama bagi korban atau ahli warisnya. Justru dengan ditolaknya permohonan amnesti terbuka ruang dan peluang bagi korban atau ahli warisnya untuk menuntut hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada Negara (vide Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat), sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM; f. Pembentukan KKR diberbagai Negara telah menciptakan pergeseran konsep keadilan (concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan/balas dendam (retributive justice/prosecutorial justice) ke arah keadilan dalam bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang bersifat dan mengarah pada keadilan restoratif (restorative justice/community based justice) yang menekankan pentingnya aspek penyembuhan (restoratif) bagi mereka yang menderita karena kejahatan. g. Bahwa akhir-akhir ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menganjurkan pendayagunaan konsep restorative justice secara lebih luas dalam sistem peradilan pidana melalui United Nations
Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hal ini sejalan dengan maksud dan
tujuan dibentuknya UU KKR, yang menekankan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat melalui mekanisme di luar pengadilan (out of court system). Untuk itu, dapat dikatakan bahwa amnesti merupakan hak pelaku yang beritikad baik (good faith, goede trouw), yang secara tulus mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu, sedangkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi merupakan hak korban atau ahli warisnya yang harus diberikan oleh negara; 2. Dewan Perwakilan Rakyat: a. Bahwa pembentukan Undang-Undang tentang KKR didasarkan pada pertimbangan: Penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM sangat urgent untuk segera dilakukan karena ketidakpuasan dan ketegangan politik tidak boleh dibiarkan terus berlarut-larut tanpa
22
b.
c. d.
e.
kepastian penyelesaiannya. Dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi nasional. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 47 UU Pengadilan HAM, tentang landasan hukum dibentuknya KKR sebagai sebuah jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat, selain hal-hal yang menjadi kewenangan dari UU Pengadilan HAM. Bahwa tujuan pembentukan KKR adalah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; dan untuk mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Bahwa UU KKR, didasarkan pada asas-asas, yaitu kemandirian, bebas dan tidak memihak, kejujuran, keterbukaan, dan perdamaian; Bahwa ketentuan dalam Pasal 27 UU KKR yang mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan hak ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran HAM berat apabila permohonan amnesti dikabulkan oleh Presiden, merupakan perimbangan kedudukan antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang pada gilirannya untuk menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Amnesti adalah hak konstitusional Presiden yang diberikan oleh konstitusi (dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, korban dari pelanggaran HAM berat yang pelakunya telah mendapat amnesti berhak untuk mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi dari negara; Bahwa KKR tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih pada usaha untuk memperoleh kebenaran yang pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis antara pelaku, korban, dan masyarakat yang ketigatiganya pada dasarnya merupakan korban kejahatan; Keadilan dalam KKR sinonim dengan pengungkapan secara lengkap (complete disclosure) atas semua kejadian dengan menghadapkan dan mempertemukan secara jujur pelaku dan korban dengan menghindari hukum acara yang rumit. Proses KKR bertujuan menghindarkan terulangnya kejadian serupa di masa datang melalui proses rekonsiliasi dan tidak semata-mata mengarah pada pemidanaan atas dasar kemanusiaan dan kesadaran adanya rasa saling ketergantungan dalam masyarakat (community interdependence); Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan/atau rehabilitasi pelaku kejahatan.
23
f. Bahwa Pasal 44 UU KKR, yang mengatur mengenai pelanggaran HAM yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc, tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 karena KKR tidak berfungsi subtitusi (menggantikan) terhadap Pengadilan HAM sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan HAM. Dalam hal ini UU KKR tidak mengatur proses penuntutan hukum tetapi hanya mengatur mengenai: - proses pengungkapan kebenaran; - proses pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban; dan - proses pertimbangan amnesti kepada pelaku; Sehingga, dalam rangka memberikan kepastian hukum pelanggaran hak asasi manusia berat yang telah diungkap dan diselesaikan oleh Komisi tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Hak Asasi Manusia. g. Bahwa terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat yang tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka yang bersangkutan kehilangan haknya mendapat amnesti dan dapat diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (3) UU KKR. Sehingga, dari rumusan Pasal 29 Ayat (3) tersebut dapat diartikan bahwa UU KKR tidak menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial; h. Bahwa Pasal 1 Ayat (9) UU KKR, yang menyatakan bahwa amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dapat dijelaskan bahwa secara universal pemahaman amnesti dalam KKR mempunyai makna khusus dan lebih terukur. Amnesti dalam KKR hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar mengakui sepenuhnya keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat sematamata terkait oleh motivasi politik (associated with political objectives) yang bersifat proporsional; 29.
HAKIM KONSTITUSI : SOEDARSONO, S.H. 3. Mantan Ketua Pansus RUU KKR [Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Sidarto Danusubroto, S.H.]: a. DPR telah berusaha menjalankan tugas yang diamanatkan oleh rakyat sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 dengan sebaik-baiknya, walaupun sangat disadari bahwa hasil tersebut belumlah maksimal sehingga dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak yang berkepentingan. Hasil akhir dari pekerjaan DPR (Pansus RUU KKR) dipandang masih lebih baik bila dibandingkan dengan draft awal yang disampaikan oleh Pemerintah. b. Dua masalah penting yang mengundang perdebatan panjang dalam pembahasan RUU KKR, yaitu Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 5 UU KKR
24
mengenai pengungkapan kebenaran dan Pasal 27 UU KKR. Banyak pihak yang merasa "keberatan" dicantumkannya ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran dalam UU, karena dengan demikian akan membuka peluang bagi terbukanya berbagai persoalan bangsa yang selama ini berusaha untuk "dilupakan". Sedangkan terkait dengan Pasal 27, keberatan berasal dari pihak korban dan keluarga korban, karena Pasal 27 ini dapat diartikan akan mengeliminir keberadaan Pasal 19. c. Ketika Pansus membahas Pasal 27, ada sekitar 15 organisasi korban yang menyatakan keberatan dengan pemberlakuan pasal ini, di antaranya adalah Forum Komunikasi Eks Menteri Kabinet Dwikora Korban Penyalahgunaan Supersemar, Tim Advokasi Jajaran TNI AD, Tim Advokasi Jajaran TNI AU, Tim Advokasi Jajaran TNI AL, Tim Advokasi Jajaran Polri Paguyuban Korban Orde Baru, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM, Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa '65 Bali. Keberatan atau penolakan terhadap ketentuan Pasal 27 UU KKR yang disampaikan oleh korban dan lembaga yang selama ini memperjuangkan hak-hak korban sangat dipahami. Namun konstelasi politik pada waktu itu membuat fraksi-fraksi di DPR menerima rumusan Pasal 27 UU KKR seperti adanya sekarang. Penerimaan DPR terhadap keberadaan pasal ini adalah sebagai bentuk kompromi sehingga pembahasan RUU KKR tidak sampai berlarut-larut dan deadlock, dan dikhawatirkan saksi-saksi hidup yang masih ada akan berkurang satu demi satu, sehingga keberadaan KKR nantinya tidak akan terlalu signifikan lagi karena sudah semakin kehilangan momentum. Oleh sebab itu, ketika RUU KKR disahkan, mayoritas anggota Pansus berpendapat bahwa keberatan pihak-pihak yang masih merasa kurang puas sebenarnya dapat disalurkan melalui beberapa wadah yang sudah tersedia seperti misalnya mengajukan "Hak Uji Materil" kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan saat ini. d. Pasal 44 Pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc. Pelanggaran HAM berat merupakan "extra ordinary crimes" sehingga penyelesaiannya juga tidak dapat mempergunakan ketentuan hukum yang sudah ada, seperti misalnya KUHP, sehingga harus melalui "jalur khusus". Untuk itu, sesuai dengan amanat Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, telah dibentuk suatu UU Pengadilan HAM, yang diharapkan dapat melindungi HAM, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran HAM berat.
25
Di samping adanya Pengadilan HAM Ad Hoc, TAP MPR Nomor V/MPR/2000 juga menyebutkan perlunya dibentuk KKR, yang merupakan lembaga extra-judicial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Hal pertama yang sudah menjadi kesepakatan semua pihak ialah bahwa rekonsiliasi, yang di dalamnya termasuk rekonsiliasi nasional, merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan dan Kesatuan Nasional, yang berlanjut ke dalam suatu paket dengan pemberlakuan UU Pengadilan HAM Ad Hoc, serta merupakan bagian dari pelaksanaan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara, yang sejalan dengan maksud dan tujuan Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 28A – 28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM). 4.
Komnas HAM yang diwakili Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M.: a. Bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan tentang pengadilan HAM, tetapi masalah Pengadilan HAM ini diatur lebih lanjut di dalam UU Pengadilan HAM. b. Bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu dapat diselesaikan melalui dua avenue hukum, untuk mencapai keadilan. Avenue pertama, melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, pembentukannya atas usul DPR kepada Presiden, kemudian Presiden mengeluarkan Keppres. Avenue kedua, melalui KKR. c. Apabila benar itu suatu kebenaran yang uncontestable, maka kompensasi dan rehabilitasi itu tidak dapat dikaitkan dengan dikabulkan atau tidak dikabulkannya amnesti oleh Presiden. d. Amnesti tidak bisa menjadi syarat untuk sebuah pembayaran kompensasi dan rehabilitasi. Karena amnesti itu merupakan proses tersendiri dan bersifat kondisional. Pasal 29 Ayat (2) UU KKR menyebutkan, “Dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui
kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka Komisi memutus pemberian rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif.” Jadi secara mandiri dan objektif tidak bisa dikaitkan dengan
kompensasi dan rehabilitasi, karena kompensasi dan rehabilitasi itu menjadi tanggung jawab negara dan terkait dengan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran. e. Berkenaan dengan Pasal 44 UU KKR yang menyatakan, dalam hal pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan,
26
perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28D, dan Pasal 28I UUD 1945. Pasal 44 itu sebagai akibat logis dan dianutnya konsepsi yang dirumuskan dalam Pasal 29 Ayat (2) dan (3). Amnesti itu hanya bisa diberikan oleh Presiden, dan direkomendasikan oleh KKR kepada Presiden apabila syarat tersebut dipenuhi. f. Jika KKR diproses melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, maka proses Pengadilan HAM Ad Hoc akan digelar apabila permohonan amnesti itu ditolak. Terkait dengan Pasal 7 Ayat (1) huruf g UU KKR menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komisi mempunyai wewenang menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, apabila perkara sudah didaftarkan ke pengadilan hak asasi manusia. Jadi penolakan permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesti itu dikaitkan dengan sebuah perkara, sudah didaftarkan atau tidak ke Pengadilan HAM. g. Jika kasus pelanggaran HAM berat tidak mungkin diselesaikan melalui KKR, maka dapat melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Tetapi jika dalam suatu kasus tertentu permasalahan pelanggaran HAM berat, lebih tepat diselesaikan melalui KKR. 30.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H. M LAICA MARZUKI, S.H. PENDAPAT MAHKAMAH Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi perkara, maka secara mendasar keputusan pembuat undang-undang yang menentukan kebijakan rekonsiliasi sebagai satu penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM, bukan hanya sebagai keputusan politik melainkan sebagai sebuah mekanisme hukum yang dituangkan dalam satu UU KKR. Hal tersebut menyebabkan penilaian terhadapnya dilakukan terutama adalah dari prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, yang memuat falsafah dan pandangan hidup bangsa yang merupakan ruh atau spirit UUD 1945. Di samping itu, diadopsinya Bab XA sebagai bagian dari UUD 1945 dengan perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang mengandung jaminan dan perlindungan HAM, juga menyebabkan uji konstitusionalitas UU KKR tersebut akan didasarkan pada jaminan dan perlindungan HAM yang dianut UUD 1945, dengan mana akan dipertimbangkan konsistensinya dengan jaminan dan perlindungan HAM yang menjadi bagian UUD 1945 tersebut. Menimbang bahwa sebagai satu bangsa yang menyatakan falsafah dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara didasarkan pada Pancasila sebagai cita-hukum (rechtsidee) dan cita-negara (staatsidee), maka keterbukaan pikiran dan hati untuk melihatnya haruslah dalam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih luas, dengan
27
maksud untuk menelusuri kembali pelanggaran HAM yang berat tersebut untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Hal demikian harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat, dengan lebih dahulu memahami konflik yang terjadi secara objektif meskipun harus menempuh kemungkinan risiko yang tidak kecil, agar dapat dicapai satu keadaan yang aman dan damai yang memungkinkan dilaksanakan pembangunan ekonomi, sosial, dan politik secara optimal, dengan harapan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Di pihak lain, sebagai anggota PBB yang telah menerima prinsip-prinsip HAM PBB yang sesungguhnya telah termuat dalam UUD 1945, maka dalam menafsirkan UUD 1945, dokumen-dokumen PBB tentang HAM juga turut dipertimbangkan oleh Mahkamah; Menimbang bahwa atas dasar paradigma yang demikian, Mahkamah akan memberi pendapat terhadap permohonan Pemohon sebagai berikut; 1)
Pasal 27 UU KKR
Pasal 27 tersebut menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM. Pengaturan ini mengandung kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lain, terutama sekali antara bagian yang mengatur: a. Pelaku telah mengakui kesalahan, kebenaran fakta dan menyatakan penyesalan serta kesediaan minta maaf kepada korban. b. Pelaku dapat mengajukan Amnesti kepada Presiden. c. Permohonan dapat diterima atau dapat ditolak. d. Kompensasi dan atau rehabilitasi hanya diberikan jika amnesti dikabulkan Presiden. e. Jika amnesti ditolak, perkara diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Pencampuradukan dan kontradiksi yang terdapat dalam Pasal 27 UU KKR adalah menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual criminal responsibility, padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya sungguh-sungguh sudah tidak
28
mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku dan korban yang dimaksud dalam undang-undang a quo menjadi hampir mustahil diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual criminal responsibility. Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga. Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi, dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan. Karena, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, yang pengabulan atau penolakannya tergantung kepada Presiden. Fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang sesungguhnya merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya korban yang seharusnya HAM-nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi kepada korban, tanpa persyaratan lain. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat, merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945. Hal demikian juga merupakan praktik dan kebiasaan secara universal sebagaimana telah dimuat dalam Basic Principles and Guidelines
on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law And Serious Violations of International Humanitarian Law, yang menetapkan adanya adequate, effective and prompt reparation for harm sufferred, yang dimaksudkan untuk
memajukan keadilan dalam penanganan pelanggaran HAM berat, dengan memberikan reparation yang proporsional sesuai dengan bobot pelanggaran dan kerugian yang dialami. Hal demikian merupakan tafsiran yang digunakan untuk melihat Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (5), sehingga dengan alasan tersebut permohonan Pemohon mengenai Pasal 27 UU KKR cukup beralasan. 2) Pasal 44 UU KKR Pasal 44 UU KKR berbunyi, ”Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.”
Dari Penjelasan Umum UU KKR dapat disimpulkan bahwa tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran serta menegakkan keadilan dan untuk membentuk budaya menghargai HAM guna mewujudkan rekonsiliasi untuk mencapai persatuan nasional, karena adanya pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. KKR tidak menyangkut proses penuntutan hukum, tetapi mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian restitusi, dan/atau rehabilitasi serta
29
memberi pertimbangan amnesti. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah KKR merupakan substitusi atau pengganti pengadilan atau tidak. Penjelasan umum juga secara tegas menentukan bahwa apabila pelanggaran HAM berat telah diputus oleh KKR, maka Pengadilan HAM Ad Hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian juga sebaliknya jika Pengadilan HAM Ad Hoc telah memutus, KKR tidak berwenang memutus. Meskipun dikatakan bahwa KKR hanya merupakan alternatif terhadap Pengadilan HAM dan bukan merupakan badan penegakan hukum, maka jelas bahwa dia merupakan satu mekanisme alternative dispute resolution, yang akan menyelesaikan satu perselisihan HAM secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Walaupun dalil-dalil Pemohon mengutip argumen dan prinsip HAM internasional yang menentang impunitas, akan tetapi penyelesaian pelanggaran HAM secara demikian telah diterima dalam praktik internasional, misalnya di Afrika Selatan, dan telah dikenal pula dalam hukum adat. Ketertutupan proses hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc apabila memperoleh penyelesaian di KKR adalah akibat yang logis dari satu mekanisme alternative dispute resolution sehingga tidak perlu dilihat sebagai pembenaran impunitas. Karena, pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang menyebabkan hilangnya alat-alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam pendekatan individual criminal responsibility. KKR juga dengan pengaturan dalam UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian secara alternatif. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat tidak terlihat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk mengabulkannya, terutama karena ketentuan tersebut hanya berlaku untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM; 3)
Pasal 1 Angka 9 UU KKR
Pasal 1 Angka 9 UU KKR menetapkan bahwa ”Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pengertian pelanggaran HAM berat ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 UU KKR sebagai “pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana ditentukan UU Pengadilan HAM, yang dalam Pasal 7 menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat itu meliputi a. Kejahatan genosida, b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.” UU Pengadilan HAM yang merujuk pada Statute of Rome On International Criminal Court mengkualifikasikan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang paling serius dalam komunitas internasional secara keseluruhan. Praktik internasional maupun General 30
Comment Komisi HAM PBB umumnya berpendapat bahwa amnesti tidak
diperkenankan dalam pelanggaran HAM berat. Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberadaan perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya yang menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut. Amnesti seyogianya tidak mempunyai akibat hukum sepanjang menyangkut hak korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan lagi pula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter internasional yang merupakan kejahatan, yang tidak meperbolehkan amnesti dan kekebalan bentuk lainnya. Meskipun General Comment dan Laporan Sekjen PBB tersebut belum diterima sebagai hukum yang mengikat, tampaknya pengertian demikian merupakan muatan UUD 1945 yang mengatur tentang prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang dimuat dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal 28 Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi Pasal 1 Angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut bersamaan dengan pasal-pasal yang terkait dengan amnesti, sebagaimana akan diuraikan di bawah; Menimbang bahwa meskipun yang dikabulkan dari permohonan hanya Pasal 27 UU KKR, akan tetapi oleh karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal yang dikabulkan tersebut, maka dengan dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal ini terjadi karena keberadaan Pasal 27 tersebut berkaitan erat dengan Pasal 1 Angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal 7 Ayat (1) huruf g, Pasal 25 Ayat (1) huruf b, Pasal 25 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 Ayat (1), dan Pasal 29 UU KKR. Padahal, keberadaan Pasal 27 dan pasal yang terkait dengan Pasal 27 UU KKR itu merupakan pasal-pasal yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan ketentuan dalam UU KKR sehingga dengan menyatakan tidak mengikatnya secara hukum Pasal 27 UU KKR, maka implikasi hukumnya akan mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 31.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Menimbang bahwa hal dimaksud dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan
31
Pemohon hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui. Akan tetapi meskipun demikian, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan, menyebabkan aturan demikian juga tidak diperlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan telah dijadikan juga alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) berbunyi, ”The Constitutional Court shall decide only
whether or not the requested statute or any provision of the statute is unconstitutional: Provided, That if it is deemed that the whole provisions of the statute are unable to enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision, a decision of unconstitutionality may be made on the whole statute” (Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau
32
suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undangundang tersebut). Mahkamah pun telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan; Menimbang bahwa di samping itu perlu diperhatikan hal-hal berikut yang dijumpai dalam UU KKR: 1. Bahwa KKR berwenang untuk menerima pengaduan, mengumpul informasi dan bukti-bukti pelanggaran HAM berat, memanggil saksi dan kemudian mengklarifikasi pelaku/korban, menentukan kategori HAM berat dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 18 UU KKR), menarik kesimpulan tentang adanya pelanggaran HAM berat, siapa pelaku dan korban, serta adanya permintaan maaf, yang dalam penjelasan umum UU KKR dikatakan adalah dalam bentuk Putusan KKR yang bersifat final dan mengikat. Kalau Keputusan KKR berisi pengabulan kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi [Pasal 25 Ayat (1) huruf a], maka putusan yang final dan mengikat tersebut tidak mempunyai daya ikat (binding force) kalau amnesti ditolak. Pelaku dan korban atau Pemerintah juga tidak terikat dengan putusan yang digantungkan atas syarat amnesti tersebut. Dengan demikian, kewenangan KKR merupakan satu hal yang tidak pasti. 2. Pasal 28 Ayat (1) menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Akan tetapi Pasal 29 Ayat (1) menyatakan dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi amnesti wajib diputuskan oleh KKR. Dengan digunakannya kata dapat dalam Pasal 28 Ayat (1) dan kata wajib dalam Pasal 29 Ayat (1), maka tidak ada konsistensi dalam UU KKR yang menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid). 3. Jikalau pelaku mengakui kebenaran fakta, menyesal dan bersedia minta maaf kepada korban, tetapi korban tidak memaafkan maka KKR memutus pemberian amnesti secara mandiri dan objektif. Keadaan ini merupakan sesuatu yang tidak memberikan dorongan bagi pengungkapan kebenaran dan justru menyebabkan tidak akan adanya pihak yang bersedia mengungkapkan kebenaran dan mengakui fakta yang sebenarnya. 4. Jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan dan tidak bersedia menyesali maka pelaku akan kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan akan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam kasus demikian ada kemungkinan akan terjadi sengketa 33
kewenangan antara KKR dan DPR, karena Pasal 42 dan 43 UU Tahun 2000, menyatakan untuk menentukan adanya pelanggaran HAM berat yang diduga terjadi, untuk diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc harus melalui keputusan politik DPR. Apakah dalam hal demikian wewenang KKR berdasar Pasal 23 UU KKR yang telah melakukan klarifikasi pelaku dan korban tentang pelanggaran HAM berat, yang menurut UU KKR dilakukan dengan bentuk keputusan, yang bersifat final dan mengikat, menjadi kehilangan daya laku, atau putusan KKR tentang adanya pelanggaran HAM berat demikian telah cukup untuk membawa kasus tersebut untuk diadili di depan Pengadilan HAM Ad Hoc tanpa memerlukan putusan DPR. Rekonsiliasi membuka peluang alternatif bagi pelaku untuk mengakui perbuatannya tanpa berhadapan dengan proses hukum biasa. Pelaku mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan sikapnya terhadap kasus yang melibatkannya. UU KKR tidak memberikan kepastian terhadap pelaku yang akan memilih KKR untuk menyelesaikan kasusnya. Pasal 28 Ayat (1) UU KKR menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka Komisi dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU KKR dapat disimpulkan bahwa untuk adanya rekonsiliasi harus dipenuhi; (1) pengungkapan kebenaran, (2) pengakuan, (3) pengampunan. Sehingga, apabila ketiga hal tersebut tidak dapat dipastikan dipenuhi maka rekonsiliasi tidak akan ada. Apabila suatu kasus tidak terungkap kebenarannya yaitu baik tentang peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku maka jelas rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan. UU KKR tidak memuat ketentuan yang secara langsung menyatakan bahwa ditolaknya amnesti akan menyebabkan pelaku dapat diproses secara hukum, melainkan menentukan bahwa penolakan terhadap amnesti menyebabkan pelaku harus bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dari keseluruhan uraian tersebut jelas bahwa UU KKR tidak mendorong pelaku untuk menyelesaikan perkaranya melalui KKR, karena mengandung banyak ketidakpastian hukum. Sementara itu, apabila korban atau ahli warisnya, karena tidak bersedia memaafkan, dapat saja kemudian melaporkan pelaku kepada aparat hukum berdasarkan buktibukti pengakuan yang dibuat oleh pelaku. Karena ketentuan ini membuka peluang terjadinya pengakuan yang memberatkan dirinya sendiri (selfincrimination), maka akan sulit mengharapkan terjadinya rekonsiliasi yang menjadi tujuan UU KKR. UU KKR tidak dengan tegas mengatur apakah suatu proses rekonsiliasi dapat terjadi tanpa adanya pemberian maaf oleh korban atau ahli warisnya. Ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UU KKR dapat menimbulkan persoalan pada kasus di mana justru korban yang
34
berinisiatif untuk mengadukan/melapor ke KKR. Seharusnya sudah sejak dari awal, yaitu pada saat korban memilih jalur KKR untuk menyelesaikan kasusnya, korban telah memiliki kehendak untuk bersedia memaafkan pelaku. Apabila korban tidak memiliki kehendak untuk memaafkan pelaku maka proses peradilan merupakan alternatif yang disediakan dan bukan melalui jalur rekonsiliasi. Dengan kata lain, dalam rekonsiliasi dibutuhkan kesediaan yang bersifat timbal balik, baik dari pelaku maupun dari korban. 5. Terhadap pengaduan yang disertai dengan permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan (Pasal 24 UU KKR). Menjadi pertanyaan apakah materi yang harus diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari, termasuk juga putusan tentang pengungkapan “kebenaran atas pelanggaran HAM berat“ (vide Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 UU KKR). Pasal 25 Ayat (1) menyatakan bahwa Keputusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat berupa: a. mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau b. memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti. Dengan adanya rumusan Pasal 25 Ayat (1) tersebut yang wajib diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari adalah permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan Pasal 25 Ayat (3), (4), (5), dan (6), serta Pasal 26 yang menetapkan jangka waktu proses pengambilan putusan terhadap permohonan amnesti. Sedangkan untuk memutuskan hasil temuannya yaitu yang berupa pengungkapan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM berat UU KKR tidak menentukan batas waktu. Dengan adanya batasan waktu untuk memutus permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti dalam jangka 90 hari, apabila jangka waktu tersebut telah terlewati sedangkan pengungkapan kebenaran masih dalam proses penyidikan dan klarifikasi yang memerlukan waktu lebih dari 90 hari apakah permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti harus diputus lebih dahulu. Sebuah pengaduan atau laporan dapat disampaikan kepada Komisi, dan setelah adanya pengaduan tersebut Komisi harus melakukan penyelidikan dan klarifikasi baik terhadap peristiwanya sendiri maupun pelakunya. Pasal 24 berisi ketentuan yang mengatur apabila Komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat, yang disertai permohonan amnesti, kata “disertai” diartikan bahwa permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat. Persoalannya adalah, amnesti hanya mungkin kalau telah jelas siapa pelaku pelanggaran HAM berat, dan kepada pelaku diberi hak untuk mengajukan atau memohon amnesti, sedangkan hak
35
menentukan ada pada Presiden. Bagaimana dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan pelaku yang belum terklarifikasi dapat menyertakan permohonan amnesti. Pelaku pelanggaran baru dapat ditentukan setelah KKR mengungkapkan kebenaran adanya pelanggaran HAM berat yang di dalam pengungkapan tersebut ditemukan pula pelakunya. Dengan demikian Pasal 24 ini menimbulkan kerancuan yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum karena di dalam pasal ini termuat batasan waktu 90 hari. Amnesti baru dapat dimohon, direkomendasikan, dan diberikan kalau sudah diketahui dengan pasti siapa pelaku pelanggaran. Kemungkinan terungkapnya pelaku sejak awal dapat terjadi apabila terdapat “pengakuan“ tentang pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 huruf a, atau apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28. Pasal 24 prosesnya berbeda dengan Pasal 23 huruf a. Pasal 24 prosesnya berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) huruf a, yaitu menjadi kewenangan subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, artinya korbanlah yang aktif melakukan pengaduan atau laporan. Sedangkan Pasal 23 huruf a, di mana pelaku aktif membuat “pengakuan” menjadi wewenang dari subkomisi pertimbangan amnesti. Dengan demikian, secara juridis tidak logis, jika permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti diajukan bersama-sama dengan pengaduan atau laporan, yang wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 24 UU KKR. Menimbang bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
36
Mengingat Pasal 56 Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 57 Ayat (1) dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); MENGADILI -
-
Mengabulkan Permohonan para Pemohon; Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Senin, 4 Desember 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Kamis, 7 Desember 2006, oleh kami Jimly Asshiddiqie, selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, Harjono, Soedarsono, H.M. Laica Marzuki, I Dewa Gede Palguna, Abdul Mukthie Fadjar, serta H. Achmad Roestandi, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah atau yang mewakili. Demikian ditandatangani oleh sembilan Hakim Konstitusi dan di samping itu pendapat berbeda atau dissenting opinion. Terhadap putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan para Pemohon tersebut di atas, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opnions), sebagai berikut: 32.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H Pendapat berbeda Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H. , M.H. Bahwa dalam penentuan pihak-pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan pengujian undang-undang, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak atau pihak-pihak dimaksud haruslah: (1) menjelaskan kualifikasinya, apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
37
(2)
(1) (2) (3) (4) (5)
undang), sebagai badan hukum, ataukah sebagai lembaga lembaga negara; dan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada angka (1) sebagai akibat diberlakukannya suatu undang-undang. Sementara itu, sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah hingga saat ini, untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, harus dipenuhi lima syarat, yaitu: Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa UU KKR adalah undang-undang yang bersifat khas, karena bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan kemudian diarahkan kepada lahirnya rekonsiliasi demi terwujudnya persatuan nasional, sebagaimana ditegaskan dalam konsiderans menimbang khususnya huruf a dan b dan Penjelasan Umum undang-undang a quo. Dengan demikian, pada dasarnya, hanya ada dua pihak yang paling berkepentingan langsung dengan berlakunya undang-undang a quo, yaitu korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Oleh karena itu maka, pada dasarnya, dua pihak itu pula yang mungkin dirugikan hak-hak konstitusionalnya oleh berlakunya undang-undang a quo. Bahwa dengan pertimbangan demikian, berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan selama persidangan, maka Pemohon V, VI, VII, dan VIII prima facie dapat dianggap memenuhi kriteria pertama dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu sebagai sekelompok perorangan warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo, di mana anggapan itu harus dibuktikan leih lanjut. Di samping itu, yang juga menjadi pertanyaan adalah apakah para Pemohon dimaksud (Pemohon V, VI, VII, VIII) memenuhi lima syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, hal itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan terhadap pokok atau substansi permohonan. Dengan demikian, kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dimaksud 38
(Pemohon V, VI, VII, VIII) baru akan dapat ditentukan bersamaan dengan pemeriksaan terhadap pokok atau substansi permohonan. Tentang Pokok atau Substansi Permohonan Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 1 angka (9), Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya sebagai berikut: (1) Pasal 1 angka (9) UU KKR yang berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan
yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”, menurut Pemohon, bertentangan dengan UUD 1945
karena: a. Pelanggaran HAM yang berat memiliki tempat tertinggi dalam bentuk kejahatan. Karena itu terdapat ketentuan yang melarang amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM yang berat; b. Definisi mengenai amnesti dalam pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh komunitas yang beradab dalam masyarakat dunia, dan Indonesia termasuk dalam komunitas bangsa yang beradab tersebut, sehingga amnesti untuk pelaku pelanggaran HAM berat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945; c. Amnesti bagi pelanggaran HAM yang berat bertentangan dengan hukum internasional, namun rumusan Pasal 1 angka (9) UU KKR justru menjelaskan bahwa amnesti diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat sehingga pasal tersebut bertentangan dengan hukum yang telah diakui oleh masyarakat internasional di mana Indonesia termasuk sebagai bagian dari komunitas tersebut; (2) Pasal 27 UU KKR yang berbunyi, “Kompensasi dan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”, bertentangan dengan UUD 1945
karena: a. Ketentuan Pasal 27 UU KKR tersebut membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada pemberian maaf dan bukan pada substansi perkara, juga mendiskriminasikan korban, dan melanggar jaminan atas perlindungan dan persamaan di depan hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia; b. Berdasar ketentuan Pasal 27 UU KKR tersebut dan Penjelasannya, pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) hanya dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan, sehingga telah menegasikan hak korban terhadap pemulihan padahal pemulihan korban sama sekali berhubungan dengan ada-tidaknya amnesti; c. Konsep amnesti dalam Pasal 27 UU KKR mensyaratkan adanya pelaku. Konsekuensinya, tanpa ditemukannya pelaku maka amnesti tidak mungkin diberikan, sehingga korban tidak mendapat jaminan atas pemulihan. Ketentuan tersebut juga telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab
39
korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti; d. Implikasi perumusan Pasal 27 UU KKR akan memberikan ketidakadilan kepada korban sebab korban harus berharap agar pelaku yang selama ini telah membuat korban menderita bisa mendapatkan amnesti, sehingga hak korban atas pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) tidak bisa korban dapatkan dan korban harus menempuh upaya lain yang tidak pasti; e. Pasal 27 UU KKR telah membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku, dan telah mendiskriminasikan hak atas pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) yang melekat pada korban dan tidak bergantung pada pelaku. Pasal 27 UU KKR juga tidak menghargai korban yang telah menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dialaminya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang membatasi hak korban atas pemulihan dan yang menegasikan kewajiban negara untuk memberi pemulihan itu adalah salah satu bentuk diskriminasi dan ketidaksamaan di hadapan hukum serta bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil; f. Berdasarkan alasan-alasan di atas, hak konstitusional Pemohon, baik sebagai korban maupun pendamping korban, untuk mendapatkan jaminan persamaan di depan hukum, jaminan atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta jaminan untuk bebas dari perlakuan diskriminatif telah dilanggar oleh ketentuan Pasal 27 UU KKR. (3) Pasal 44 UU KKR yang berbunyi, “Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc”,
bertentangan dengan UUD 1945 karena: a. Pasal 44 UU KKR, yang memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan pengadilan, telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial; b. Pengaturan Pasal 44 UU KKR, yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc apabila peristiwa tersebut telah diselesaikan melalui KKR, telah menghilangkan kewajiban negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam Hukum Internasional, baik yang tertuang dalam praktik (international customary law) maupun perjanjian-perjanjian internasional (international treaties); Terhadap dalil-dalil Para Pemohon tersebut, terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa ketiga ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut tidak boleh dibaca dan dipahami secara sendiri-sendiri dan terlepas dari konteks keseluruhan ketentuan dalam UU KKR. Oleh karena itu, dalam menilai konstitusionalitas ketentuan-ketentuan UU KKR yang dimohonkan
40
pengujian dimaksud, terlebih dahulu perlu dikemukakan pertimbanganpertimbangan sebagai berikut: o bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia adalah salah satu syarat melekat yang tidak dapat ditiadakan; o bahwa penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia demikian terbukti bukan hanya dari diaturnya secara tersendiri bab tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 (Bab XA) dan diundangkannya sejumlah undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia maupun yang berkaitan dengan upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, tetapi juga dengan diratifikasinya instrumen-instrumen hukum internasional yang berkenaan dengan hak asasi manusia; o bahwa sehubungan dengan keikutsertaan Indonesia sebagai pihak (party) dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk di dalamnya yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia, Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian “Dalam pembuatan perjanjian Internasional mengatakan,
internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku”.
Dengan demikian, keikutsertaan Indonesia ke dalam berbagai instrumen hukum internasional dalam bidang hak asasi manusia tersebut secara implisit menunjukkan tiga hal: (a) konfirmasi bahwa instrumen-instrumen hukum internasional tersebut adalah sejalan dengan UUD 1945 yang menghormati, melindungi, dan menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia; (b) oleh karena itu Indonesia terikat untuk melaksanakan segala ketentuan dalam instrumeninstrumen hukum internasional tersebut; (c) keterikatan untuk melaksanakan segala ketentuan instrumen hukum internasional dimaksud, yang di dalamnya Indonesia menjadi pihak (party), bukanlah didasari oleh doktrin supremasi hukum internasional atas hukum nasional melainkan semata-mata karena ketentuanketentuan dalam berbagai instrumen hukum internasional dimaksud telah diterima sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia melalui proses ratifikasi, sehingga harus diasumsikan adanya praanggapan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya – hal mana tidak terjadi selama berlangsungnya proses pemeriksaan terhadap permohonan a quo; o bahwa dalam praktik pelaksanaan di tingkat nasional, ketentuanketentuan berbagai instrumen hukum internasional yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia yang berat, in casu 41
dalam kaitannya dengan persoalan amnesti, telah berkembang dua pendapat atau interpretasi: - pertama, pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak berlaku pemberian amnesti; - kedua, pendapat yang menyatakan bahwa dengan adanya klausula dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang menyerahkan pelaksanaan ketentuan-ketentuannya menurut hukum nasional masing-masing negara pihak berarti bahwa pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimungkinkan sepanjang hal itu tidak secara tegas dinyatakan dilarang dalam instrumen hukum internasional yang bersangkutan dan sepanjang hal itu oleh negara yang bersangkutan dipandang lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan yang lebih besar daripada menghukum pelaku; Bahwa dengan alasan-alasan di atas dan dengan menilai ketiga ketentuan UU KKR yang dimohonkan pengujian (Pasal 1 angka 9, Pasal 27, Pasal 44) dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR, maka terhadap permohonan a quo saya berpendapat: • Konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945 bukan saja karena wewenang untuk memberikan amnesti, menurut UUD 1945, memang merupakan kewenangan Presiden setelah mendengar pertimbangan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, melainkan juga karena pemberian amnesti dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu rekonsiliasi demi tercapainya persatuan nasional; • Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 namun bukan sepenuhnya karena alasan sebagaimana didalilkan Pemohon melainkan karena ketentuan Pasal 27 UU KKR dimaksud tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Ketentuan Pasal 27 UU KKR tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti – yang sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan setelah mendengar pertimbangan DPR – sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban. Juga tidak adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak. Sebaliknya, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan dalam undang-undang a quo bahwa 42
pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Hal itu dikarenakan, menurut ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, jika korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka “Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif”. Undang-undang a quo tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif” itu. Namun, dengan mengikuti penalaran yang wajar, dalam frasa tersebut tetap terdapat kemungkinan bahwa pelaku tidak direkomendasikan untuk mendapatkan amnesti, meskipun ia telah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. • Pasal 44 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena justru pada ketentuan Pasal 44 itulah salah satu kunci penting tercapainya tujuan pembentukan UU KKR digantungkan, yaitu apakah para pihak (korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat) akan memilih jalan di luar pengadilan (in casu penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) ataukah melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Menimbang bahwa meskipun telah cukup alasan untuk menyatakan Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, permohonan a quo tidak serta-merta dapat dinyatakan dikabulkan karena alasan-alasan sebagai berikut: • Permohonan dapat dinyatakan dikabulkan manakala tidak terdapat keragu-raguan perihal kedudukan hukum (legal standing) pihak yang mengajukan permohonan sehingga tujuan pengabulan permohonan tercapai yaitu pulihnya hak-hak konstitusional pemohon yang terlanggar sebagai akibat diberlakukannya ketentuan undang-undang yang inkonstitusional atau, setidak-tidaknya, hak-hak konstitusional pemohon tidak lagi dirugikan. Sementara itu, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, berdasarkan bukti-bukti yang ada selama berlangsungnya persidangan, status para Pemohon sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat belum sepenuhnya terbukti. Hal itu dikarenakan Pasal 1 angka 5 UU KKR memberi definisi korban sebagai, “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya”. Selama
berlangsungnya persidangan, hal-hal yang terungkap adalah bahwa para Pemohon, sebagaimana disebutkan di atas (Pemohon V, VI, VII, VIII), mengalami penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan
43
hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari suatu peristiwa atau perbuatan pada masa lalu. Yang menjadi pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan dimaksud merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat? Dalam hal inilah timbul keragu-raguan karena: a. di satu pihak, Pasal 1 angka 4 UU KKR menyatakan bahwa yang dimaksud pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Menurut UU Pengadilan HAM, Pasal 7, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi (a) kejahatan genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga, dalam hubungannya dengan para Pemohon a quo, pertanyaannya kemudian adalah apakah para Pemohon ini merupakan korban kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan? Masalahnya adalah, menurut Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu, yang berarti termasuk penentuan apakah kejahatan itu merupakan kejahatan kejahatan genosida ataukah kejahatan terhadap kemanusiaan, ditentukan oleh pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian apakah “penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya” yang dialami para Pemohon di atas merupakan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, hal itu digantungkan pada sikap atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga, dilihat dari sudut pandang ini, para Pemohon a quo belum dapat sepenuhnya memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. di pihak lain, UU KKR menyatakan bahwa KKR memiliki beberapa subkomisi, satu di antaranya adalah subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 16 huruf a). Subkomisi ini, menurut Pasal 18 huruf f UU KKR, memiliki kewenangan “menentukan kategori dan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat” sebagaimana dimaksud dalam UU Pengadilan HAM. Dengan ketentuan ini berarti, subkomisi penyelidikan dan klarifikasilah yang berwenang menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan sekaligus menentukan jenisnya, yaitu apakah pelanggaran dimaksud adalah kejahatan genosida ataukah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dilihat dari sudut pandang ini pun “penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya” yang dialami para Pemohon a quo, pada saat ini, belum dapat dipastikan apakah merupakan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau tidak, karena KKR (termasuk subkomisi penyelidikan dan klarifikasi
44
pelanggaran hak asasi manusia yang berat) hingga saat ini belum terbentuk; c. uraian pada huruf a dan b di atas menunjukkan bahwa penentuan kedudukan hukum para Pemohon a quo, atau siapa pun yang mengalami peristiwa yang serupa dengan yang dialami para Pemohon ini, telah diombang-ambingkan oleh dua ketentuan undang-undang dan tidak ada penyelesaian. Memang, Mahkamah ini dapat saja menafsirkan bahwa tatkala penyelesaian yang dipilih untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di masa lalu adalah melalui KKR maka yang berlaku adalah ketentuan dalam UU KKR, karena Pasal 47 ayat (1) UU Pengadilan HAM mengatakan, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”.
Namun, kalaupun penafsiran ini yang dipegang oleh Mahkamah, tetap saja para Pemohon a quo tidak dapat ditentukan kedudukan hukum (legal standing)-nya pada saat ini karena harus menunggu terbentuknya KKR terlebih dahulu dan dengan asumsi bahwa KKR nantinya akan menentukan bahwa apa yang dialami para Pemohon a quo adalah sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, entah itu berupa kejahatan genosida ataukah kejahatan terhadap kemanusiaan. • Selanjutnya, bahkan seandainya pun pada saat ini KKR telah terbentuk dan telah menentukan bahwa apa yang dialami oleh para Pemohon a quo adalah sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu, sehingga dengan demikian para Pemohon a quo memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, pengabulan permohonan para Pemohon a quo untuk Pasal 27 UU KKR justru akan menimbulkan kerugian yang lebih besar pada para Pemohon a quo. Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, yang rumusannya telah dikutip di atas. Seseorang atau suatu kelompok orang, menurut penalaran yang normal, sangat kecil kemungkinannya untuk mau pengakui kesalahan atau mengakui kebenaran fakta-fakta bahwa ia pernah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan kemudian meminta maaf tanpa adanya jaminan bahwa dengan pengakuan dan permintaan maafnya itu orang atau kelompok orang tersebut akan mendapatkan amnesti. Akibat selanjutnya, maka ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu juga akan menjadi sulit untuk diungkap, padahal pengungkapan demikian justru merupakan kondisi atau syarat yang tak dapat ditiadakan untuk dapat dilakukannya pemulihan terhadap hak-hak para Pemohon a quo. Dengan demikian, maka pengabulan Pasal 27 dengan bertolak dari jalan pikiran para Pemohon a quo, sebagaimana telah diuraikan di atas, dan tanpa 45
melihat konteks UU KKR secara keseluruhan, justru berakibat meniadakan kemungkinan para Pemohon a quo memperoleh kompensasi dan rehabilitasi, yang berarti para Pemohon a quo menjadi lebih dirugikan. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, mengikuti jalan pikiran para Pemohon a quo, pemohonan ini seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Karena, setidaktidaknya dengan menyatakan permohonan ini tidak dapat diterima, masih lebih besar kemungkinannya bagi Pemohon untuk mendapatkan kompensasi. 33.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDQIE, S.H. Demikian ditandatangani oleh Panitera pemgganti, tertanda Alfius Ngatrin. Dan dengan ini berarti putusan perkara 006/PUU-IV/2006 dengan ini telah diucapkan atau dibacakan.
KETUK PALU 1 X
Selanjutnya, PUTUSAN Nomor 020/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan Putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: 1. Drs. Arukat Djaswadi, Jabatan Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia (CSIC) beralamat di Manukan Krajan IV/23 Mojokerto, Jawa Timur; Selanjutnya disebut sebagai......................................Pemohon I; 2. K.H. Ibrahim, Jabatan Pengurus Yayasan Kanigoro Kediri, beralamat di Jalan Banjaran I/102 Kediri, Jawa Timur; Selanjutnya disebut sebagai---------------------------- Pemohon II;
46
3.
4.
5.
6.
K.H.M. Yusuf Hasyim, Jabatan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, beralamat di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur; Selanjutnya disebut sebagai--------------- Pemohon III; H. Murwanto S, Jabatan Pengurus DPP Gerakan Patriot Indonesia, beralamat di Jalan Zeni AD VII No.9 Kompleks Zeni Kalibata, Jakarta Selatan; Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon IV; Abdul Mun’im, S.H, Jabatan Guru, beralamat di Kerajan Wetan Rt 05 Rw 05 Temuguruh, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur; Selanjutnya disebut sebagai--------------- Pemohon V; Drs. Moh. Said, Jabatan Ketua Paguyuban Korban Kekejaman PKI Madiun, beralamat di Desa Takeran, Kecamatan Takeran, Magetan, Jawa Timur. Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon VI;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, memberikan kuasanya kepada : − Sumali, S.H., MH; − Deddy Prihambudi, S.H; − Dr. Eggy Sudjana, S.H; − Aris Budi Cahyono, S.H;
bertanggal
17
Agustus 2006
Kesemuanya adalah Advokat dan Asisten pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang memilih domisili hukum di Kantor Jalan Raya Tlogomas No. 246 (Masjid AR Fahrudin Lt. 1), Telp. 0341-464318 Pswt 193 Malang- 65144 Jawa Timur. Baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri; Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------- PARA PEMOHON; Telah membaca surat permohonan Pemohon; Telah mendengar keterangan dari Pemohon; Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Telah mendengar keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh Pemohon; Telah memeriksa bukti-bukti; 34.
HAKIM KONSTITUSI : SOEDARSONO, S.H. PERTIMBANGAN HUKUM
47
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas. Menimbang bahwa terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam perkara ini, yaitu: 1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan yang diajukan oleh para Pemohon; 2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; 3. Pokok permohonan yang menyangkut konstitusionalitas undangundang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. 4. Terhadap ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 1.
KEWENANGAN MAHKAMAH
Menimbang Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus tentang hasil pemilihan umum.” Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10
Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK); Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4429, selanjutnya disebut UU KKR) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon tersebut. 2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
48
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Menimbang bahwa selain itu, sejak Putusan Nomor 006/PUUIII/2005 dan putusan-putusan berikutnya, Mahkamah telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK, sebagai berikut: a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Menimbang bahwa dalam menjawab persoalan apakah para Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian ini, maka harus diperiksa (i) dalam kualifikasi apakah para Pemohon akan dikategorikan, dan (ii) hak konstitusional apa yang dimiliki dan dirugikan dengan berlakunya UU KKR; •
•
•
para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai pelaku sejarah melawan pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI dan sekaligus pegiat dan pengurus organisasi yang berkhidmat di dalam menangkal bangkitnya kembali organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini; para Pemohon berkeyakinan bahwa kehadiran UU KKR bukannya akan menyelesaikan dan menyembuhkan luka-luka lama yang pernah ditimbulkan oleh aksi sepihak PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI, akan tetapi justru akan membangkitkan kembali sentimen ideologi dan dendam antar anak bangsa yang selama ini sudah berusaha dihapuskan dari memori kolektif bangsa; para Pemohon mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan 49
•
pengkhianatan G30S/PKI tahun 1965, saat ini sungguh-sungguh merasakan ketidakamanan dan muncul rasa ketakutan yang sangat beralasan yakni bangkitnya kembali ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme di tanah air akibat diberlakukannya UU a quo; para Pemohon menganggap hak konstitusional Pemohon sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya UU KKR;
Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU KKR berarti diakui bahwa sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM) tanggal 23 November 2000, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum jelas kapan dan di mana terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut, sehingga belum jelas pula siapa-siapa pelaku dan siapa-siapa yang menjadi korbannya. Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan para Pemohon adalah korban atau malah justru dapat pula disangka sebagai pelakunya. Dengan demikian para Pemohon secara potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan mengalami kerugian hak konstitusional dengan berlakunya UU KKR. Atas dasar pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat, kalau sekiranya nanti ternyata peristiwa G30S/PKI seperti yang didalilkan oleh para Pemohon ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian terhadap undangundang a quo; 35.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L 3.
POKOK PERMOHONAN
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan permohonannya hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut:
dalam
1) UU KKR secara objektif materi muatannya nyata-nyata mengandung cacat hukum yang mendasar atau prinsipiil. Undangundang a quo tidak saja potensial menciptakan ketidakpastian hukum dan sulit mewujudkan rasa keadilan, namun lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang kemaslahatan bagi banyak orang. Karena, sangat potensial menimbulkan konflik di antara sesama anak bangsa yang pada akhirnya akan menjerumuskan bangsa ini ke jurang perpecahan dan kerusakan yang parah. Cacat hukum yang dikandung oleh UU KKR dapat dijumpai pada bagian konsiderans baik pada bagian Menimbang dan Mengingat yang ternyata hanya mencantumkan landasan sosiologis dan
50
yuridis. Sedangkan landasan filosofis yaitu Pancasila ternyata tidak tercantum baik secara tegas maupun secara tersirat. Padahal Pancasila di Republik ini tidak saja memiliki makna strategis dan fundamental sebagai common denominator, sebagai way of life atau weltanschaung kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat bahkan lebih dari pada itu Pancasila sebagai asas hukum yang merupakan sumber nilai dan sumber hukum bagi pembentukan hukum. Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan, “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum negara” Oleh karena itu, patut dipertanyakan nilai-nilai atau norma-norma hukum apa yang dipakai sebagai basis atau pijakan pembentukan UU KKR. UU KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen extra judicial untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu, yang menurut para Pemohon termasuk di dalamnya peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1948 dan 1965, justru tidak mencantumkan Pancasila sebagai acuan utama mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi; 2) Pasal 1 Angka 1 UU KKR menyebutkan, “kebenaran atas suatu
peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”. Namun di dalam UU KKR tidak dijumpai pasal-
pasal yang menjelaskan tetang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa tersebut, apakah peristiwa pelanggaran HAM tersebut secara valid dan objektif benar-benar terjadi atau sekedar rekayasa semata. Jelasnya UU KKR tidak menjelaskan prosedural pembuktian dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh KKR dan para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Oleh karena itu validitas dan efektifitas konsep dan pembuktian kebenaran menurut UU KKR ini menjadi subjektif dan tidak terukur, sehingga UU KKR ini tidak mewujudkan kepastian hukum (legal certainty); 3) Pasal 1 Angka 2 UU KKR berbunyi, “hasil dari suatu proses
pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa”. Menurut Pemohon konsep atau batasan pengertian rekonsiliasi yang digunakan oleh UU KKR sungguh absurd dan ahistoris. Pasal UU KKR secara sengaja telah mengonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau dengan sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau dan seluruh korban pelanggaran HAM adalah orang-orang yang tidak bersalah (innocence). Pemohon sangat menyangsikan
51
mekanisme rekonsiliasi di dalam UU KKR ini bisa memenuhi aspek keadilan semua pihak serta dapat berlaku efektif; 4) Rumusan korban dalam Pasal 1 Angka 5 UU KKR yang berbunyi,
“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya”. Menurut Pemohon perluasan subjek hukum
korban yang demikian ini sangat potensial untuk terjadinya distorsi dan manipulasi terhadap proses KKR itu sendiri. Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon ingin menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemohon tidak menolak rekonsiliasi yang dilakukan dengan jujur, adil, dan bermaslahat serta dikemas dengan mekanisme yang elegant dan fair. Menimbang bahwa untuk memperkuat dalilnya, Pemohon telah mengajukan tiga orang saksi dan tiga orang ahli yang keterangan selengkapnya telah termuat dalam Duduk Perkara. Dalam keterangan ketiga orang Ahli tersebut, antara lain dinyatakan bahwa UU KKR bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, UU KKR dipandang tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan luka baru karena pengaturan yang terdapat di dalamnya justru berorientasi pada “audit dendam”. Padahal yang dibutuhkan adalah perdamaian total tanpa syarat; Menimbang bahwa dalam memutus permohonan ini perlu melihat dan memperhatikan putusan perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 mengenai permohonan pengujian undang-undang yang sama terhadap UUD 1945; Menimbang bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada putusan perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang telah diputus sebelum ini, menyatakan dalam pertimbangannya, antara lain, “bahwa
semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya 52
rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang lebih serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.” Menimbang bahwa amar putusan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 tersebut berbunyi, “Mengabulkan Permohonan Para Pemohon;
Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”. 36.
-
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Menimbang bahwa oleh karena undang-undang yang dimohonkan untuk diuji yaitu UU KKR telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat putusan mana memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK), maka permohonan para Pemohon kehilangan objeknya (objectum litis), sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat; Mengingat Pasal 47 dan Pasal 51 Ayat (1), serta Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); MENGADILI Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin, 4 Desember 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis, 7 Desember 2006, oleh kami Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota, H.A.S. Natabaya, Soedarsono, Harjono, H.M. Laica Marzuki, I Dewa Gede Palguna, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, serta Maruarar Siahaan, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa
53
Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pemerintah atau yang mewakili. Demikian ditandatangani oleh sembilan Hakim Konstitusi dan Panitera Pengganti dan dengan demikian pula putusan ini telah resmi dibacakan KETUK PALU 1 X
Baik, dengan demikian Saudara-saudara sekalian dua perkara, dua putusan telah resmi dibacakan dan sebagaimana tadi kami kemukakan selanjutnya masih banyak hal yang banyak dilakukan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi. Sekiranya pembentuk undang-undang perlu membentuk lembaga yang bernama KKR maka silakan diadakan undangundang yang lebih sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar dan instrumen HAM internasional. Dengan memperhatikan putusan final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi. Di samping itu sekiranya alternatif yang lain akan dilakukan sebagaimana telah disampaikan tadi dalam putusan tadi, rekonsiliasi juga dapat dilakukan melalui tindakan politik. Pemerintah dalam hal ini banyak contoh yang sudah dilakukan juga, bekas anggota gerakan aceh merdeka sekarang sudah diberi tanah. Mengapa tidak bisa kepada eks PKI dilakukan tindakan serupa dan banyak yang bisa dilakukan bukan dalam bentuk uang dapat juga dilakukan dengan affirmative welfare policy, namun semua itu adalah langkahlangkah tindakan kebijakan politik yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Jadi, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian tidak hanya melalui pendekatan hukum sebab tidak semua masalah harus dilakukan melalui pendekatan hukum. Di samping itu selanjutnya kami juga serahkan pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, terutama melalui kedua kelompok Pemohon untuk menjadikan juga putusan Mahkamah Konstitusi spirit Undang-Undang Dasar 1945 baik penyelenggara negara, pejabat-pejabat maupun warga masyarakat untuk menjadikan spirit anti diskriminasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 termasuk contoh putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Pemilu mengenai hak-hak politik semua warga negara harus diperlakukan sama terlepas dari aliran politiknya, terlepas dari ajaran agama yang dianutnya dan ini sudah menjadi paradigma berpikir konstitusi kita, hendaklah itu dijadikan roh dari politik hukum pemerintah. Laksanakanlah putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah-sudah termasuk mengenai hak politik eks PKI. Saya kira demikian, selanjutnya kami persilakan kiranya kedua kelompok Pemohon untuk dalam sidang ini dimanfaatkan untuk tunjukkan kepada masyarakat luas tidak ada masalah antara kita dalam sidang ini semata-mata mempersoalkan undang-undang yang kita anggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
54
Demikian, sidang Mahkamah Konstitusi untuk perkara ini saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3 X
SIDANG DITUTUP PUKUL 12.30 WIB
55