2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798)
2.1.1 Taksonomi Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2008), klasifikasi owa jawa atau Silvery Javan Gibbon (Hylobates moloch) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Famili
: Hylobatidae
Genus
: Hylobates
Spesies
: Hylobates moloch (Audebert 1798)
Sub spesies
: Hylobates moloch moloch Hylobates moloch pangoalsoni
Sumber: http://www.belfastzoo.co.uk
Gambar 1 Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798).
2.1.2 Morfologi Tubuh owa jawa ditutupi rambut kecoklatan hingga keperakan atau kelabu. Bagian atas kepala dan muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu. Dagu
pada beberapa individu berwarna hitam. Warna rambut jantan dan betina sedikit berbeda terutama dalam tingkatan umur. Pada umumnya anak yang baru lahir berwarna lebih cerah. Panjang tubuh owa jawa dewasa berkisar antara 750-800 mm dengan berat tubuh jantan 4-8 kg dan betina 4-7 kg. Owa jawa dibedakan menjadi dua sub spesies, yaitu Hylobates moloch moloch yang berwarna lebih gelap dan Hylobates moloch pangoalsoni yang berwarna lebih terang (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa memiliki lengan dan jari yang panjang serta tidak memilki ekor sehingga memudahkan pada saat berayun dari satu pohon ke pohon lain (Anonim 2009a). Owa jawa memiliki kantong suara yang terletak di bawah dagu untuk mempertinggi suara yang dikeluarkan (Anonim 2009b). Baik jantan maupun betina dapat mengeluarkan suara apabila terdapat bahaya atau yang lebih dikenal dengan alarm call.
2.1.3 Perilaku Owa jawa adalah satwa primata yang sepenuhnya hidup di atas pohon (arboreal) dan jarang turun ke tanah. Pergerakan satwa ini dilakukan dengan berayun (brankiasi) dari satu pohon ke pohon lain dengan jarak mencapai lebih dari 10 m. Owa jawa juga memanjat saat makan dan bergerak pelan. Selain itu, owa jawa juga mampu berpindah tempat dalam jarak pendek menggunakan kedua kakinya (bipedal). Daerah jelajah owa jawa berkisar antara 16-17 ha dan jelajah harian dapat mencapai 1500 m. Owa jawa aktif pada pagi hingga sore hari (diurnal). Siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling mencari kutu antara jantan dan betina pasangannya atau antara ibu dan anaknya dan pada malam hari tidur di percabangan pohon (Supriatna & Wahyono 2000). Satwa primata ini memiliki suara yang nyaring dan saling bersahutan. Pada pagi hari owa jawa selalu mengeluarkan lengkingan nyaring yang disebut dengan morning call. Suara yang sangat keras ini dapat terdengar hingga sejauh satu km. Biasanya jantan lebih dahulu bersuara disusul betina. Ada empat jenis suara yang dikeluarkan owa jawa, yaitu suara betina untuk menandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjumpa dengan kelompok tetangganya, suara yang dikeluarkan bersama antar keluarga saat terjadi konflik dan suara dari
anggota keluarga sebagai tanda bahaya. Suara tanda bahaya dikeluarkan bila ada satwa pemangsa di sekitarnya, seperti macan tutul atau macan kumbang (Panthera pardus) (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain kedua induk, di dalam keluarga juga terdapat 1-2 anak yang belum mandiri. Pasangan owa jawa akan menghasilkan rata-rata 5-6 keturunan selama masa reproduksi, yaitu sekitar 10-20 tahun. Owa jawa hanya melahirkan satu keturunan tiap kelahiran dengan masa kebuntingan sekitar 197-210 hari dan jarak kelahiran sekitar 3-4 tahun. Anak owa jawa akan meninggalkan kelompoknya ketika mereka mencapai dewasa kelamin (siap kawin) pada umur 8-9 tahun. Umumnya owa jawa dapat hidup hingga 35 tahun (Supriatna & Wahyono 2000).
2.1.4 Pakan Owa jawa mengkonsumsi lebih kurang 125 jenis tumbuhan. Bagian tumbuhan yang sering dimakan, antara lain 61% buah, 38% daun dan sisanya berbagai jenis makanan, seperti bunga dan berbagai jenis serangga (Supriatna & Wahyono 2000). Satwa primata ini merupakan hewan frugivora yang memakan buah-buahan di kanopi bagian atas hutan hujan tropis. Owa jawa lebih menyukai buah-buahan dengan kandungan gula yang tinggi.
2.1.5 Habitat dan Penyebaran Owa jawa merupakan primata endemik yang hanya ditemukan di Pulau Jawa. Sebaran Hylobates moloch moloch terbatas pada hutan-hutan di Jawa Barat, terutama pada daerah yang dilindungi, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweung Sancang serta hutan lindung di Gunung Ciremai. Hylobates moloch pangoalsoni hanya ditemukan di sekitar Gunung Slamet hingga sekitar Pegunungan Dieng di Jawa Tengah (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa hidup di hutan hujan tropik, mulai dari dataran rendah, pesisir hingga pegunungan pada ketinggian 1400-1600 m dpl. Namun satwa ini jarang ditemukan di dalam hutan pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Vegetasi dan
jenis tumbuhan yang berada pada daerah setinggi itu bukan merupakan sumber pakan owa jawa. Selain itu, banyaknya lumut yang menutupi pepohonan dapat menyulitkan pergerakan brankiasi owa jawa (Supriatna & Wahyono 2000).
2.1.6 Status Konservasi Primata endemik ini merupakan salah satu satwa primata yang terancam punah. Owa jawa termasuk kategori CR (Critically Endangered) dalam IUCN Red List 2006 (IUCN 2008). Selain itu, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) mengategorikan owa jawa dalam Appendix 1, yaitu spesies satwaliar yang dilarang dari segala bentuk perdagangan internasional. Semua jenis dari famili Hylobatidae adalah dilindungi menurut PP No. 7 tahun 1999 (Maryanto et al. 2008). Owa jawa juga telah dilindungi oleh Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266 tahun 1931, Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991. Meskipun demikian, populasi dan habitat owa jawa mengalami penyusutan sebesar 96%, yaitu semula menempati habitat seluas 43.274 km2 dan sekarang hanya tinggal 1.608 km2. Populasinya pun hanya 200-400 ekor di alam (Supriatna & Wahyono 2000). Oleh karena itu, upaya penangkaran ex situ, perlindungan habitat dan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menyelamatkan satwa endemik Pulau Jawa ini.
2.1.7 Penyakit Parasit Penyakit parasit merupakan salah satu komponen pendukung punahnya satwa primata di alam bebas. Telah banyak penelitian mengungkapkan tentang keberadaan parasit di satwaliar untuk tujuan konservasi. Kehidupan yang bebas merupakan salah satu faktor timbulnya keanekaragaman parasit yang ada pada satwaliar tersebut. Menurut Sulistiawati (2008), penyakit pada primata yang disebabkan oleh endoparasit, khususnya protozoa, antara lain enteritis, toxoplasmosis, dan malaria. Enteritis atau radang pada usus disebabkan oleh Entamoeba histolytica, Entamoeba coli, Giardia lambia dan Balantidium coli. Gejala klinis yang nampak
adalah diare, lemas terjadi kelemahan otot, sakit kepala dan penurunan berat badan. Muangkram et al. (2006) melaporkan bahwa gejala klinis infestasi parasit saluran pencernaan pada genus Hylobates, antara lain depresi, anorexia, penurunan berat badan dan diare. Malaria pada primata disebabkan oleh Plasmodium sp.. Gejala klinis yang terlihat, antara lain demam, pucat, lemas dan penurunan berat badan. Penyebab penyakit parasit pada primata oleh cacing, antara lain Hyostrongylus rubidis, Trychostrongylus sp., Oesphagustomum sp., Trichuris sp., Strongyloides sp. dan Ascaridia sp.. Diagnosa dapat dilakukan dengan pengamatan pada tinja segar. Gejala yang sering terlihat adalah diare ringan hingga berat, seperti disentri. Parasit masuk ke tubuh inangnya dengan cara menelan langsung kista, melalui inang antara atau dengan cara tidak langsung melalui penetrasi kulit oleh parasit darah. Semua parasit dapat menjadi patogen ketika mekanisme kekebalan inang gagal, seperti pada saat stres, kebuntingan, kondisi menurun, tua atau penyakit (Mul et al. 2007). Beberapa parasit dapat pula menyebabkan penyakit yang bersifat zoonosis.
2.2
Protozoa
2.2.1 Morfologi Protozoa adalah organisme monoseluler dengan inti yang diselubungi oleh membran (selaput) atau eukaryotik. Protozoa tersusun dari organela-organela dan bukan organ karena mereka merupakan sel yang berdeferensiasi (Levine 1990). Protozoa berukuran mikroskopis dan bentuk tubuhnya bervariasi sesuai dengan jenis makanannya. Komponen dasar protozoa adalah inti dan sitoplasma. Inti protozoa memiliki berbagai bentuk, ukuran dan struktur. Komponen penting inti protozoa adalah membrana inti, kromatin, plastin dan nukleoplasma atau cairan inti. Secara struktural inti dibagi menjadi dua tipe, yaitu vesikuler dan kompak. Inti vesikuler terdiri dari membrana inti yang kadang-kadang sangat lembut tetapi jelas, nukleoplasma, akromatin dan kromatin. Disamping itu, badan intranuklear biasanya agak bulat dan tersusun dari kromatin, nukleolus atau plasmasoma. Sebaliknya inti kompak bersifat padat karena mengandung banyak substansi kromatin dan sedikit jumlah nukleoplasma (Tampubolon 2004).
Sitoplasma protozoa berisi bermacam-macam organel, antara lain retikulum endoplasma
dan
ribosom
seperti
pada
sel
eukaryotik
lainnya.
Pada
mitokondrianya, krista berbentuk tubuler lebih banyak daripada yang berbentuk piringan seperti yang terdapat pada organisme tingkat tinggi serta organel yang lain seperti aparat golgi, vakuola kontraktil, vakuola makanan dan silia atau flagela (Tampubolon 2004). Protozoa bergerak dengan flagela, silia, pseudopodia dan selaput undulasi (Levine 1990). Alat gerak ini juga berguna dalam usaha mendapatkan makanan.
2.2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup Reproduksi pada protozoa dapat terjadi secara seksual atau aseksual. Ada tiga tipe reproduksi aseksual, yaitu pembelahan biner, pembelahan multiple (skizogoni) dan tunas (budding). Pembelahan biner biasanya terdapat pada Amoeba, flagellata dan ciliata; inti membagi dua dan tubuh melakukan hal yang sama. Pada pembelahan skizogoni, inti membelah berulang-ulang, sitoplasma bergabung mengelilingi setiap inti, dan kemudian sitoplasma membelah (Levine 1990). Endodiogeni merupakan tipe istimewa dari pembelahan biner dimana dua sel anak terbentuk di dalam sel induk dan kemudian pecah keluar dengan merusakkannya. Endopoligeni merupakan tipe yang sama dengan skizogoni. Tipe ke-3 dari reproduksi aseksual adalah tunas, dimana sel anak yang kecil secara individu memisahkan dari sisi induk dan kemudian tumbuh menjadi berukuran penuh. Pembelahan inti yang vesikuler atau inti mikro biasanya melalui mitosis, sedangkan pembelahan inti makro secara amitosis (Levine 1990). Menurut Levine (1990) terdapat dua tipe reproduksi seksual yang terdapat pada protozoa, yaitu singami dan konjugasi. Singami adalah terbentuknya dua gamet haploid yang bergabung membentuk suatu zigot. Gamet-gamet yang mungkin mirip satu sama lain disebut isogami, sedangkan yang berbeda disebut anisogami. Pada anisogami, gamet yang lebih kecil adalah mikrogamet dan yang lebih besar disebut makrogamet. Gamet-gamet diproduksi oleh sel khusus (gamon), mikrogamet diproduksi oleh mikrogamon atau mikrogametosit dan makrogamet diproduksi oleh makrogamon atau makrogametosit. Proses
pembentukan gamet tersebut disebut dengan gametogoni. Pada konjugasi, dua individu dari spesies yang sama mendekat satu sama lain untuk tujuan pertukaran badan inti. Inti makro berdegenerasi dan inti mikro membelah beberapa kali. Salah satu bakal inti haploid hasil pembelahan ini beralih dari satu konjugan ke dalam konjugan lain. Kemudian konjugan-konjugan tersebut memisah, bakal inti bergabung dan terjadi regenerasi inti. Beberapa protozoa membentuk kista yang resisten terhadap lingkungan luar pada kondisi tertentu (Levine 1990). Protozoa menjadi kista pada kondisi suhu yang optimum, penguapan, perubahan pH, kandungan oksigen yang cukup dan kelembaban yang mendukung (Tampubolon 2004).
2.2.3 KIasifikasi Protozoa Protozoa diklasifikasikan menjadi lima kelompok utama, yaitu filum Sarcomastigophora (memiliki flagela, pseudopodia atau kedua tipe organel lokomosi, tidak membentuk spora), filum Apicomplexa (memiliki komplek apikal, tidak memiliki silia dan flagela, seringkali ada kista dan bersifat parasit), filum Microspora (memiliki spora, pada invertebrata dan vertebrata berderajat rendah), filum Myxospora (memiliki spora, parasit pada vertebrata berderajat rendah terutama ikan), dan filum Ciliophora (memiliki silia, hampir semua jenisnya hidup bebas) (Levine 1990).