2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pulau Kecil dan Pulau Kecil Terluar
Pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu berada di atas air pada saat air pasang (Ello dan Subandi 1998; UNCLOS 1982). Definisi ini, membatasi pengertian pulau, yaitu: (1) terbentuk secara alamiah dan (2) terletak di atas air pada saat air pasang tinggi. Suatu pulau yang tidak memiliki kriteria pertama, dikategorikan sebagai pulau buatan yang berarti tidak memiliki hak sebagai rejim pulau. Suatu daratan yang bentukannya hanya nampak pada saat pasang rendah saja, sementara pada saat pasang tinggi menjadi tergenang, tidak kelihatan, maka kenampakan seperti ini dalam Konvensi Hukum Laut, disebut flow tide elevation yang memiliki rejim hukum berbeda dengan pulau (Setiyono 2000). Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas area ≤ 10 000 km2 dan lebarnya ≤ 10 km (Bengen 2004). Menurut Brookfield (1990), pulau kecil (small island) adalah pulau yang memiliki luas daratan ≤ 1 000 km2 dan berpenduduk ≤ 100 000 jiwa. Pulau kecil sebagai pulau dengan luas areanya ≤ 10 000 km2 dan mempunyai penduduk < 500 000 jiwa (UNESCO 1994; Beller 1990). Menurut Kamaluddin (2002), pulau kecil adalah pulau yang jumlah penduduknya sedikit dan umumnya tidak mudah dijangkau, sebab tidak tersedia atau terbatas akses dari kawasan tersebut ke kawasan yang lebih berkembang. Penelitian ini menggunakan definisi pulau kecil adalah pulau yang berukuran ≤ 10 000 km² dengan jumlah penduduknya ≤ 200 000 orang (DKP 2002; PERPRES Republik Indonesia 2005). Berdasarkan definisi ini, maka seluruh pulau yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe tergolong P2K, dengan pulau yang terluas adalah P. Karakelang sekitar 1 077.97 km² dan yang terkecil adalah P. Batutadinting sekitar 0.000002 km². Menurut Dishidros TNI-AL (2003), terdapat 11 P2K terluar yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, dan tiga diantaranya sebagai P2K perbatasan yang berada di Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina, yaitu Pulau Miangas, Pulau
16 Marore, dan Pulau Marampit. Pulau Miangas dan Pulau Marampit secara geografis berada pada wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Talaud, sedangkan Pulau Marore termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe. P2K perbatasan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah P2K terluar dengan luas area ≤ 2000 km² yang memiliki titik- titik koordinat geografis sesuai dengan hukum internasional, meliputi: P. Kawio, P. Marore, P. Kemboleng, P. Kawaluso, dan P. Lipang serta P. Matutuang. Briguglio (1995), menyebutkan bahwa karakteristik P2K sebagai suatu permasalahan, adalah: smallness, isolation, dependence, dan vulnerability. Faktor smallness secara ekonomi menjadi faktor ketidakunggulan (disadvantage), antara lain: (1) keterbatasan resource endowement; (2) ketergantungan kisaran diversifikasi produk; (3) keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk; (4) keterbatasan kompetisi lokal; dan (5) keterbatasan mengembangkan economic of scale. Faktor isolation akan mengakibatkan tingginya biaya transportasi, sedangkan vulnerability cenderung rentan terhadap bencana alam (natural disaster) dan ekosistem yang rapuh (fragile). Menurut Bengen (2004), permasalahan yang terjadi di P2K adalah kondisinya yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti jalan, pelabuhan, pasar, listrik, lembaga keuangan, menyebabkan tingkat kesejahteraannya rendah serta rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) akibat kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya media informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan. 2.2 Geopolitik dan Geostrategi Geopolitik dapat diartikan sebagai politik atau kebijakan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu negara (Sadono dan Holdun 2007; Suradinata 2005). Sebaliknya politik negara itu, secara langsung akan berdampak kepada geografi negara yang bersangkutan (Suradinata 2005). Geopolitik menganggap bahwa
17 geografi, topografi, demografi, kandungan sumber daya dan lokasi menentukan karakter politik negara (Anggoro 2005). Geopolitik suatu negara direfleksikan dari posisi dan bentuk suatu wilayah dalam implementasi berbangsa dan bernegara menuju tujuan nasional. Posisi strategis ini akan lebih bermakna apabla dikaitkan dengan adanya pergeseran centre of gravity geopilitik dunia ke arah Asia Pasifik (Artjana 1993) yang lebih berorientasi pada kepentingan maritim, sehingga mengandung dimensi ekonomi dan kekuatan yang semakin mengemuka. Sejalan dengan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi pemain utama dalam percaturan global yang berpusat di Pasifik (Ratulangi 1982). Istilah geopolitik semula adalah sebagai ilmu bumi politik, kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan dengan konstelasi ciri khas negara berupa: bentuk, luas, letak, iklim, dan sumber daya alam suatu negara untuk membangun dan membina negara. Geopolitik suatu negara terkait erat dengan kekuasaan negara sehingga perlu mendalami ciri khusus negara berdasarkan geomorfologinya (ciri fisik dan non-fisik), karena Teori akan menentukan sikap politik negara dalam membangun negaranya (Rangkuti 2007). geopolitik berkembang menjadi ajaran yang melegitimasi hukum ekspansi suatu negara disebabkan dipengaruhi oleh beberapa ajaran. Soemiarno (2005), teori geopolitik telah berkembang menjadi konsepsi wawasan nasional suatu bangsa yang seiring dengan berkembangnya teori-teori kekuasaan, oleh karena itu wawasan nasional suatu bangsa selalu mengacu kepada geopolitik, sehingga dengan wawasan tersebut, suatu negara dapat diketahui arah perkembangan suatu negara. Geografi, geopolotik dan geostrategi merupakan tiga serangkai yang sulit dipisahkan. Geostrategi berusaha menjelaskan bagaimana opsi-opsi strategis untuk memanfaatkan faktor geografi dalam pertarungan geopolitik. Pemahaman terhadap geografi tidak terbatas pada konstruksi fisik dan peristiwa-peristiwa alam tetapi juga karakter sosial yang berada di dalamnya. Disebabkan kompleksitas masalah, validitas pendekatan geopolitik dan geostrategi acapkali mengundang perdebatan (Anggoro 2005). Dalam dimensi ini, adanya berbagai arus pemikiran
18 tentang geopolitik yaitu Mahan (1890) meyakini bahwa kekuatan laut (sea power) merupakan kunci utama bagi suatu negara untuk memenangkan pertarungan politik, sedangkan Mactkinder dikutip oleh Sloan (1996) meyakini pentingnya kekuatan darat (land power). Kedua pandangan geopolitik tersebut cukup memadai dalam perumusan strategi kebijakan nasional, khususnya dalam kaitannya dengan keamanan nasional (national secutiry), kepentingan nasional (national interest), dan orientasi nasional (national orientation). Sebuah negara pulau (island states) dengan sumber daya dan pasar relatif terbatas mungkin hanya dapat bertahan dengan ekspansi geopolitik. Sejalan dengan pengertian tersebut maka rumusan masalah yang teridentifikasi dalam pembangunan geopolitik, meliputi: (1) kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu tapal batas (border) (Sadono dan Holdun 2007; Pailah 2008; Anggoro 2005, Djalal 2003, Pardede 2005, Waluyo 2006; Jemabut dan Santi 2006); (2) kurang fokusnya pemerintah dalam mengakomodasikan aspek geopolitik dalam menentukan kepentingan pertahanan; dan (3) belum optimalnya pemerintah dalam memperhatikan karakteristik geografi/wilayah NKRI guna mengakomodasikan geopolitik berkaitan dengan pembangunan. Geopolitik Indonesia pada dasarnya adalah Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai jati diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang satu kesatuan ideologi, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan dalam satu kesatuan ketahanan nasional. Sedangkan ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa meliputi seluruh aspek kehidupan nasioanl yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi seluruh tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang dating dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya (Suradinata 2005).
19 Secara umum, penelitian ini merumuskan geopolitik Indonesia sebagai kemampuan untuk mempertimbangkan dan memperhitungkan keuntungan dan kerugian lokasi dari posisi geografisnya berdasarkan telaah ilmu politik untuk kepentingan politiknya. Dasar perhitungannya adalah peta bumi politik dan peta bumi sumber daya strategis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Implementasi dalam kebijakan pengelolaan P2K perbatasan dalam perspektif geopolitik di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah kemampuan mempertimbangkan dan menghitung manfaat (benefit) dibandingkan dengan kerugian (cost) yang akan muncul dalam pemanfaatan SDA strategis berdasarkan teknologi dan penggunaan peta bumi politik dengan memandang faktor geografis sebagai faktor penentu. 2.3 Pengelolaan Kawasan Perbatasan Perbatasan adalah sebuah demarkasi antara dua negara (state’s border) yang berdaulat dan terbentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda (Susetyo 2008). Perbatasan telah memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial (Tirtosudarmo 2005). Menurut Wadley (2002), batas negara ialah sebuah garis yang memisahkan sistem sosial yang berbeda dan daerah perbatasan menjadi wilayah yang bersifat marjinal, yang legitimasinya tergantung hubungan dan partisipasi dalam sistem sosial yang dtentukan di pusat, sehingga bukan sekedar sistem sosial yang unik. Perbatasan dapat diartikan sebagai suatu unit legal politis yang mempunyai berbagai fungsi unik sekaligus startegis bagi suatu negara. Dalam konteks pemahaman tersebut maka perbatasan memiliki fungsi militer strategis, ekonomi, konstitusi, identitas, kesatuan nasional, pembangunan negara dan kepentingan domestik (Blanchard 2005). Untuk menganalisis perbatasan ada beberapa elemen yang perlu mendapat perhatian, sebagai berikut: (1) kekuatan
20 pasar dan arus perdagangan; (2) kebijakan pemerintah negara-negara yang berbatasan langsung; (3) pengaruh faktor politis masyarakat di wilayah perbatasan; dan (4) budaya khas masyarakat di wilayah perbatasan. Dalam konteks borders dipahami sebagai suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Sesungguhnya pengertian mengenai perbatasan tidaklah sederhana, karena di dalamnya juga mengandung dimensi lain seperti garis batas (border lines), sempadan (boundary), dan perhinggaan (frontier), yang merupakan persoalan politik (Anggoro 2004). Kawasan perbatasan kepulauan Sangihe dimaksud adalah sebutan bentangan laut dengan beberapa pulau kecil yang terletak di ujung utara sebagai penentuan batas wilayah NKRI. Pulau terluar dalam kawasan perbatasan dimaksud adalah Pulau Marore, Pulau Kawio, Pulau Kemboleng, Pulau Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang. Kawasan perbatasan kepulauan Sangihe mempunyai keterkaitan kedepan (forward linkage) adalah Filipina dengan wilayah pemasaran produk adalah Filipina (Manila), Hongkong, Kaohsiung, Busan dan Jepang. Sedangkan keterkaitan kebelakang (backward linkage), adalah: Kepulauan Talaud, Kepulauan Sitaro, Manado (Sulawesi Utara), dan Gorontalo. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain dalam pengelolaan P2K perbatasan harus menganut sistem outward looking dalam pengelolaannya bukan inward looking. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Sedangkan dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang: (1) menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; (2) mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; (3) membangun dan membuat tanda Batas Wilayah; (4) melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya; (5) memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam
21 peraturan perundang-undangan; (6) memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; (7) melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial; (8) menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasional untuk pertahanan keamanan; (9) membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan menyampaikannya kepada DPR sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan (10) menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan (Pasal 10 UU No. 43/2008). Selanjutnya untuk kewenangan pemerintah provinsi telah dimuat dalam Pasal 11 UU No. 43/2008, serta untuk kewenangan pemerintah kabupaten/kota dimuat dalam Pasal 12 UU No. 43/2008. Dengan demikian pengelolaan kawasan perbatasan negara Indonesia dengan negara Filipina, idealnya mempertimbangkan perwujudan fungsi dan wewenang dalam konteks aturan perundang-undangan. Pertimbangan pengelolaan kawasan perbatasan harus sesuai dengan fungsi yaitu: keamanan (security), kesejahteraan (prosperity), dan fungsi lingkungan (environment). Hal ini merupakan suatu keniscayaan dalam upaya melakukan transformasi kawasan perbatasan dari “halaman belakang” menjadi “beranda terdepan” wilayah NKRI. Pengelolaan masalah keamanan di kawasan perbatasan dapat dimaknai sebagai segenap kebijakan dan upaya terkait yang ditujukan untuk mengurangi potensi ancaman, kondisi ketidakamanan, dan memaksimalkan keamanan di wilayah perbatasan. Terdapat dua sistem yang diterapkan oleh negara dalam pengelolaan keamanan di kawasan perbatasan, yaitu: (1) hard border regime, yakni rejim keamanan perbatasan yang menganut sistem perbatasan sangat ketat dengan menempatkan pasukan bersenjata lengkap di setiap pos-pos perbatasan; dan (2) soft border regime, yaitu memperlakukan pengamanan perbatasan tidak terlalu ketat (Wuryandari 2009).
22 Sejalan dengan itu maka pantai dan laut harus dijaga dengan tugasnya, adalah: (1) melakukan tugas-tugas patroli guna menegakan hukum di laut; (2) melakukan shipping law enforcement dalam rangka penegakan ketentuan keselamatan pelayaran, (3) melaksanakan pengawasan di laut terhadap kemungkinan pengrusakan terumbu karang dan habitat laut; (4) melaksanakan pemeriksaan di laut terhadap kapal-kapal yang melakukan pelanggaran hukum serta ketentuan keselamatan pelayaran; (5) melaksanakan pencarian dan pertolongan di laut; (6) melaksanakan penanggulangan dan pertolongan tumpahan minyak dan kebakaran kapal di laut; dan (7) memasang, mengawasi dan menjaga sarana bantu navigasi dan stasiun radio pantai (Kamaluddin 2002). 2.4 Daya Dukung dalam Pengelolaan P2K Perbatasan Fauzi (2000) menyatakan, terdapat beberapa konsep pengukuran daya dukung lingkungan yang sering digunakan yaitu: (1) potensi maksimum sumber daya; (2) kapasitas penyerapan (absorptive capacity) atau sering disebut dengan kapasitas asimilasi (assimilative capacity), dan (3) daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity). Konsep potensi maksimum sumber daya didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui potensi sumber daya yang dapat menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu, pengukurannya didasarkan pada perkiraan-perkiraan ilmiah atau teoritis. Kapasitas penyerapan (absorptive capacity) atau kapasitas asimilasi (assimilative capacity) adalah kemampuan SDA dapat pulih (misalnya air, udara) untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan dan makhluk lain (Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009). Menurut Dahuri (2003), sumber daya hayati pesisir dan lautan memiliki peluang sangat besar untuk mengalami kepunahan. Hal ini disebabkan karena sumber daya hayati laut biasanya bersifat milik bersama Untuk (common property) dan open access (siapa saja dan kapan saja boleh memanfaatkan). menjaga kelestarian sumber daya perairan yang bersifat common property dan open access perlu
23 dibuat kebijakan ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada tingkat pertumbuhan semata, melainkan juga tetap berpihak pada lingkungan. Fauzi (2004), salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi yang berbasis SDA yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena SDA dan lingkungan memiliki kapasitas yang terbatas. Menurut Fauzi (2005), kerusakan lingkungan secara umum dipicu oleh dua faktor utama yang dominan yaitu kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure driven). Daya dukung dalam pengelolaan P2K dapat dilihat dari beberapa tingkatan, yaitu daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah tingkat maksimum (jumlah dan volume) pemanfaatan suatu sumber daya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadinya penurunan kualitas ekologis. Secara fisik, daya dukung adalah jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumber daya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan apresiasi pengguna suatu sumber daya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan keuntungan maksimum secara bersinambungan (Dahuri 2003a). Daya dukung suatu ekosistem alam seperti wilayah pesisir dan lautan dapat dilihat dari empat fungsinya, yaitu: (1) penyedia SDA; (2) penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan (life supporting systems); (3) penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services); dan (4) penyerap limbah (waste receplace) (Ortolano 1984). Menurut Dahuri, et al (1996) secara ekologis terdapat empat syarat agar pembangunan di wilayah pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan, yaitu: (1) menempatkan setiap kegiatan pembangunan pada lokasi yang secara
24 ekologis sesuai (suitable) dengan kegiatan pembangunan tersebut; (2) pemanfaatan SDA tidak melebihi potensi lestari (renewable capacity); (3) pembuangan limbah tidak melebihi kapasitas asimilasi ekosistem pesisir dan lautan; dan (4) kegiatan rancang bangun konstruksi dan modifikasi bentang alam (landscape) harus sesuai dengan karakteristik dan dinamika alamiah pesisir dan lautan. 2.5 Penilaian Depresiasi Sumber Daya Ikan Menurut Fauzi dan Anna (2005), degradasi mengacu pada penurunan kualitas/ kuantitas SDA yang dapat diperbaharukan (renewable resources), dalam hal ini, kemampuan SDA untuk regenerasi sesuai kapasitas produksinya yang berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alamiah maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Untuk SDI, kebanyakan degradasi terjadi akibat kegiatan manusia (anthropogenic), baik berupa aktivitas produksi (penangkapan atau eksplorasi) maupun aktvitas non produksi (pencemaran). Fauzi dan Anna (2002) menyatakan, dalam kondisi aktual, jarang sekali terjadi eksploitasi perikanan pada tingkat penangkapan maupun upaya yang optimal, padahal dengan melakukan eksploitasi pada tingkat optimal maka perikanan tangkap akan lestari. Hartwick (1990), menyatakan bahwa perbedaan antara upaya aktual dengan upaya optimal sangat diperlukan bagi penentu kebijakan, guna meminimalkan opportunity cost dalam bentuk keuntungan ekonomi optimal lestari yang hilang karena mengeksploitasi sumber daya perikanan pada tingkat sekarang. Pengukuran depresiasi menggunakan metode present value, di mana seluruh rente yang akan datang (future value of rent) yang diharapkan dihasilkan dari SDI dihitung dalam nilai di masa sekarang (present value) (Fauzi dan Anna 2002), dengan anggapan bahwa kurva permintaan bersifat elastis, maka rente SDI dihitung berdasarkan persamaan: (2.1) t (a bHt )Ht ct Et U (H ) cE
25
t adalah rente SDI, a adalah intersep kurva permintaan, b adalah slope (kemiringan), Ht adalah tangkapan lestari, Et adalah tingkat upaya, ct adalah biaya per unit upaya dan t adalah periode waktu. U(H) adalah utilitas (manfaat) yang dihasilkan dari SDI. Jika diasumsikan bahwa biaya per unit input adalah konstan, maka present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas (t = 0 sampai tak terhingga) adalah sebagai berikut:
t Vt
(2.2)
adalah nilai social discount rate (konstan). Perubahan present value dari sumber daya antar periode (t-1) dan (t), Vt – Vt-1 menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok sumber daya terdepresiasi sebagai berikut: t t 1 Vt Vt 1 (2.3)
di mana Vt V (H t , pt (Ht ), Et , ct , ) dan Vt1 V (Ht1, pt1 (Ht1 ), Et1, ct1, ) . 2.6 Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Optimal Eksploitasi optimal SDI sepanjang waktu, pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan teori kapital ekonomi sumber daya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro (1975), dimana manfaat dari eksploitasi sumber daya perikanan sepanjang waktu ditulis sebagai berikut: (2.4) max Vt t (H t , xt Et )e t dt t0
dengan kendala :
26 x
x F (x) h(x, E)
t 0 x xmax
0 h hmax Dengan memberlakukan Pontryagins Maximum Principle, masalah di atas dapat dipecahkan dengan teknik Hamiltonian. Fungsi Hamiltonian adalah formula dalam optimal control theory yang digunakan untuk menentukan time path yang lengkap dari peubah control, state variabel dan nilai stok (Anna 2003), sebagai berikut: (2.5) Persamaan di atas menggambarkan present value Hamiltonian. Dengan mentransformasikan persamaan di atas menjadi current value Hamiltonian, maka persamaan (2.5) berubah menjadi: (2.6) Dimana adalah current value shadow price, dan H adalah current value Hamiltonian. Dengan menggunakan Pontryagin Maximim Principle dari persamaan tersebut di atas menjadi: (2.7) (2.8) (2.9)
Salam kondisi steady state, maka persamaan (2.10), menghasilkan:
dan
(2.10) , sehingga dari persamaan (2.7) dan
(2.11)
27 Dan (2.12) Dengan menggunakan persamaan (2.9) dihasilkan: (2.13) Persamaan (2.13) dapat disederhanakan menjadi: (2.14) Dengan mengalikan kedua sisi persamaan (2.14) dan menyederhanakan, maka akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai: (2.15) Di mana F(Xt) adalah pertumbuhan alami dari stok ikan, (H , x, E) / x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass, (H , x, E) H adalah rente marjinal akibat perubahan produksi. Parameter ekonomi dan biologi ditentukan oleh besaran c (biaya per unit effort), p (harga ikan), adalah discount rate dan q merupakan koefisien penangkapan. F(Xt) adalah produktivitas marjinal dari dari biomas yang merupakan turunan pertama dari F(Xt). Hasil dari persamaan di atas menghasilkan X* (optimal) yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan demikian maka diketahui rente SDI yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya optimal, atau: (2.16) t Pt (H )Ht ctEt
28 2.7
Model Bio-Ekonomi Sumber Daya Perikanan
Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, perlu diketahui produktivitas dari stok ikan, yang biasanya diestimasi dengan model kuantitatif. Produktivitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biologi, iklim, maupun aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan melalui pencemaran, perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan rantai makanan. Faktor eksogenous seperti penggunaan input atau upaya penangkapan, serta pengelolaan dan regulasi sumber daya juga akan sangat mempengaruhi produktivitas stok ikan. Untuk menganalisis stok ikan sebagai digunakan production surplus dengan persamaan: dX t (2.17) F ( X t ) H dt
Di mana F(Xt) adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomas, Ht adalah laju penangkapan atau laju pengambilan. Terdapat dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomas, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana persamaan dibawah ini: dX t Bentuk Logistik: (2.18) rX t 1 X t K H t dt dX t Bentuk Gompertz: (2.19) rx ln(K / X t ) H t dt
Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional Logistik adalah simetris, sementara bentuk Gompertz tidak. Diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomas dan effort sebagaimana ditulis sebagai berikut: (2.20) H t qEt X t dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan Et adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut:
29
q K 2 Logistik : H t qKEt E r 2
Gompertz : H t qKEt exp
(2.21)
qE r
Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas (Logistik dan Gompertz) melibatkan teknik non-linear. Namun demikian, dengan menuliskan Ut Ht Et persamaan (2.21) di atas dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Dalam penelitian ini teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering dikenal sebagai metode CYP digunakan untuk menduga parameter r, q dan K melalui persamaan: 2r ( 2 r) q (2.22) ln(qK ) ln(U t ) ln(U t1 ) (Et Et1) ) 2 r (2 r) (2 r)
Data time series produksi dan upaya (catch and effort) selama dua puluh tahun yang dikumpulkan dari wilayah penelitian Kabupaten Kepulauan Sangihe dijadikan basis untuk perhitungan kurve yield-effort dengan menggunakan perangkat lunak komputer program microsoft excel. Alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil dan alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar digunakan dalam pemecahannya rumus tersebut di atas. Oleh karena itu untuk memperoleh unit upaya yang benar, seluruh unit effort distandardisasi berdasarkan alat tangkap base. Sementara data ekonomi yakni biaya dan harga diperoleh dari survei. Seluruh data ekonomi dikonversikan ke nilai riil dengan menyesuaikan nilai nominal ke indeks harga konsumen (consumer’s price index). Khusus untuk data time series dari biaya per upaya tidak tersedia secara time series, maka dilakukan perhitungan sebagaimana dilakukan oleh Tai et al (2001) untuk menkonversi data cross section biaya ke time series dilakukan dengan menyesuaikan dengan indeks harga konsumen. Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan perangkat lunak Maple.13.
30 2.8
Perkembangan Wilayah dan Model Ekonomi Basis
Menurut Arsyad (1991), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogeneus development) sesuai potensi SDM, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal. Alkadri dan Djajadiningrat (2002), menyatakan disadari bahwa pembangunan daerah tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan suatu proses perbaikan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan (sustainable welfare). Pada tahap awal, kegiatan pembangunan daerah biasanya ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun demikian tahapan ini, bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap daerah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan daerah lain. Secara garis besar, beberapa konsep perencanaan pembangunan di suatu daerah (Mangari 2000; Widiati 2000), meliputi: (1) perencanaan pembangunan daerah berbasis sumber daya; (2) perencanaan pembangunan daerah berbasis komoditas unggulan; (3) perencanaan pembangunan daerah berbasis efisiensi (free market mechanism), dan (4) perencanaan daerah menurut peranan pelaku pembangunan. Untuk mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah, perlu ditentukan prioritas pembangunan daerah. Kebijakannya adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Prioritas pembangunan yang tidak sesuai dengan potensi daerah, mengakibatkan sumber daya yang ada belum atau kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan ini mengakibatkan lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan, dan pada akhirnya dapat
31 mengakibatkan timbulnya kepincangan pembangunan dan tertinggalnya daerah tersebut dibandingkan dengan wilayah lain (Safrizal 1997) Pertumbuhan berbasis ekspor didasarkan pada pemikiran bahwa suatu wilayah harus meningkatkan arus atau aliran langsung keluar wilayah agar bisa tumbuh secara efektif. Pasar ekspor merupakan penggerak utama atau sebagai mesin pertumbuhan ekonomi wilayah (engine of region economic growth) (Tiebout 1962). Teori pertumbuhan berbasis ekspor memisahkan kegiatan ekonomi dalam dua sektor terpisah. Sektor ekspor adalah seluruh aktivitas ekonomi yang terutama ditujukan untuk memenuhi permintaan ekspor, yang dikenal dengan sektor dasar (basic sector), dan lainnya adalah sektor lokal (local sector), yaitu aktivitas produksi dan jasa yang ditujukan untuk melayani permintaan masyarakat lokal (Budhiharsono 2005; Ghalib 2005; Glasson 1974; Safrizal 2008; Tiebout 1962). Inti dari model ekonomi basis (economic basis model) adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut (Budhiharsono 2005; Safrizal 2008). Beberapa alat ukur secara kuantitatif yang digunakan dalam menganalisis potensi daerah sebagai komoditas ekspor atau sebagai ekonomi basis, meliputi: (1) model location quotients (LQ); (2) concentration index (CI); (3) specialization index (SI); dan(4) model shift share (Alkadri dan Djajadiningrat 2002; Budhiharsono 2005; Ghalib 2005; Safrizal 2008). Menurut Bendavid (1991), LQ adalah suatu index untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu. LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran (terminology) namun yang sering digunakan adalah ukuran tenaga kerja (sector and sub sector employment) dan ukuran nilai tambah produk (sector and sub sector value added). Formula yang digunakan dan yang menggambarkan indeks konsentrasi untuk terminologi kesempatan kerja adalah sebagai berikut: (2.23)
32 di mana: LQ = Location Quotients; = total angkatan kerja sektor i wilayah R; = total angkatan kerja wilayah R; = total angkatan kerja sektor i wilayah N; = total angkatan kerja wilayah N. Sedangkan formula yang menggambarkan definisi indeks konsentrasi untuk terminologi nilai tambah produksi sebagai berikut: (2.24) di mana: LQ = Location Quotients; = total nilai tambah produksi sektor i wilayah R; = total nilai tambah produksi wilayah R; = total nilai tambah produksi sektor i wilayah N; = total nilai tambah produksi wilayah N. Ketentuan yang berlaku adalah jika LQ > 1 maka sektor tersebut realtif di atas representasinya (over represented) di daerah studi tersebut. Jika LQ = 1, maka sektor tersebut relatif proporsional (proportional), dan jika nilai LQ < 1 maka sektor tersebut relatif di bawah proporsional (under proportional). Peningkatan ekspor terjadi disebabkan suatu daerah yang bersangkutan memiliki keuntungan komparatif (comparative advantage) yang cukup besar untuk beberapa sektor tertentu, namun pengukuran besarnya keuntungan komparatif tidak dapat dilakukan dengan persamaan regresi (Safrizal 2008). Oleh karena itu analisis untuk model basis ekspor perlu dilengkapi dengan metode lain yang lazim disebut dengan shift share analysis. Shift share merupakan salah satu analisis yang cukup penting dalam studi perencanaan wilayah, yang pendekatannya menggabungkan dua hal pokok yakni unsur spasial dan unsur sektoral yang diterapkan dalam kerangka dimensi waktu. Perbedaannya dengan model pertumbuhan makro ekonomi umumnya, pendekatan shift share cenderung melakukan disagregasi ekonomi sektoral dengan menganalisis peranan masing-masing sektor terhadap perekonomian lokal. Konsep dasar yang melatarbelakangi hal ini adalah bahwa terdapat daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, maka analisis yang dilakukan harus menguraikan peranan masing-masing unsur baik sektoral maupun unsur spasial (Setiono 2010).
33 Pertumbuhan ekonomi lokal diasumsikan dapat didekomposisikan menjadi dua komponen utama yaitu komponen share dan komponen shift. Komponen share merupakan komponen kontribusi dari pertumbuhan perekonomian wilayah acuan secara keseluruhan, sedangkan komponen shift merupakan simpangan atau pergeseran terhadap komponen share tersebut (Gambar 2). Kontribusi ekonomi wilayah (faktor share) Pertumbuhan Pergeseran Proporsional Ekonomi Lokal (Proportionality shift) sektor (Kabupaten ekonomi wilayah (kontribusi Kepulauan Kontribusi dari faktor eksternal terhadap Sangihe) ekonomi lokal) pergeseran ekonomi sektoral dan lokal (faktor shift) Pergeseran diferensial (differential shift) sektoral ekonomi lokal (kontribusi faktor internal terhadap ekonomi lokal) Gambar 2. Diagram konsep dari model perhitungan shift-share Terjadinya komponen shift disebabkan oleh dua hal, yakni: (1) simpangan antara pertumbuhan sektoral wilayah acuan dengan pertumbuhan total wilayah acuan; dan (2) simpangan antara pertumbuhan sektor lokal dengan pertumbuhan sektor wilayah acuan. Komponen shift yang pertama merupakan pengaruh kontribusi dari pertumbuhan sektor eksternal terhadap ekonomi lokal, sedangkan komponen shift yang kedua merupakan pengaruh kontribusi dari pertumbuhan sektor internal. Komponen shift pertama sering juga disebut dengan proportional shift atau kadang-kadang disebut sebagai komponen industri campuran (industrial mix), sedangkan komponen shift yang kedua sering disebut sebagai differential shift. Model shift-share diterapkan untuk menganalisis komponen-komponen yang menentukan terjadinya pertumbuhan perekonomian lokal untuk satu periode tertentu. Pengetahuan atas komponen-komponen tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan proyeksi pertumbuhan perekonomian lokal mendatang. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah
34 data PDRB-ADHK (harga konstan tahun 2000) tahun 2005 dan tahun 2009 baik untuk Provinsi Sulawesi Utara maupun untuk Kepulauan Sangihe. Penggunaan data PDRB tahun 2005 dan tahun 2009 di atas dapat dirumuskan model aljabar analisis shift share sebagai berikut: (2.25) Dimana = differential shift Dengan: ∆(E05-09)i
= Tingkat pertumbuhan PDRB sektor (i) di perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2005 sampai tahun 2009. = Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 = Jumlah PDRB di perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 = Jumlah PDRB di sektor (i) perekonomian Sulawesi Utara tahun 2009 = Jumlah PDRB di sektor (i) perekonomian Sulawesi Utara tahun 2005 = Jumlah PDRB di sektor (i) perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2009 = Jumlah PDRB di sektor (i) perkonomian Kepulauan Sangihe tahun 2005
Ref09 Ref05 E09i E05i Lok09i Lok05i 2.9 Model Analisis Regresi dengan Variabel Kategorik Penelitian terapan kuantitatif seperti mencari model hubungan, mencari bentuk kecenderungan, meramalkan, analisis inferensi, dan pengambilan keputusan perancangan percobaan, secara keseluruhan sangat tergantung kepada statistika sebagai alat untuk proses analisisnya. Diantara bentuk-bentuk tersebut diatas, analisis regresi menjadi salah satu yang paling banyak aplikasinya. Analisis regresi memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk menyusun model hubungan atau pengaruh beberapa peubah bebas atau variabel bebas (independent variable) terhadap peubah terikat atau variabel terikat (dependent variable), bahkan digunakan untuk meramal kondisi berikutnya (Suhardjo 2008).
35 Regresi memiliki bentuk bermacam-macam, antara lain: (a) regresi linear sederhana maupun regresi linear berganda digunakan untuk mencari model hubungan linear antara peubah- peubah bebas dengan peubah terikat sepanjang tipe datanya adalah interval atau rasio; (b) regresi dummy memfasilitasi apabila ada salah satu atau lebih peubah bebas yang bertipe nominal atau ordinal; (c) regresi data panel memberikan keleluasaan kepada peneliti apabila data yang diregresikan merupakan data cross section maupun data runtun waktu; dan (d) regresi logistik membantu peneliti untuk meregresikan peubah terikat yang betipe nominal (biner) maupun nominal atau ordinal non-linear sehingga dapat dicarikan peluang untuk terjadi atau tidak terjadinya suatu kejadian. Banyak topik penelitian yang menuntut peubah tidak bebas berupa pilihan nominal seperti tidak terjadi atau terjadi, memilih atau tidak memilih, sukses atau gagal. Regresi dengan peubah tidak bebas berupa nilai dummy 1 atau 0. Misalnya suatu bank akan meneliti apakah pembayaran dari nasabah baik atau tidak baik. Peubah Y = 1 jika tidak menunggak dan Y = 0, jika menunggak. Jika peubah bebas hanya satu peubah X saja, maka model digunakan adalah fungsi logistik: (2.26) Fungsi ini kemudian disederhanakan, dengan sebagai berikut:
Hasilnya adalah model
(2.27) Sehingga kalau dilakukan transformasi logaritmik hasilnya adalah: (2.28) Ini disebut fungsi logistik dan tampak sangat jelas berbentuk linear, sehingga persamaan di atas juga dapat diselesaikan secara regresi linear sebagaimana sebelumnya.