1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Seers, 1969). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya diindikasikan oleh terciptanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut de Janvry dan Sadoulet (2010), tingkat kemiskinan dapat diturunkan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan (cash transfer) dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran serta kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan, pertumbuhan pro-poor akan meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi dikatakan pro-poor jika memihak kelompok mayoritas penduduk miskin. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mayoritas berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, prioritas pengurangan kemiskinan penduduk di rumahtangga pertanian menjadi hal penting bagi percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dengan mengalihkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah melalui keputusankeputusan pemerintah daerah yang dapat menciptakan penerimaan daerah dan menggunakannya secara rasional dengan cara mengatur kembali pengeluaran, penerimaan, dan transfer fiskal. Dengan perkataan lain, kebijakan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat diterapkan pada sisi pengeluaran dan sisi pendapatan daerah. Namun, perbedaan sumber daya antar daerah di Indonesia dan terbatasnya kewenangan pengelolaan penerimaan daerah menyebabkan kemampuan keuangan daerah berbeda-beda sehingga terjadi defisit anggaran yang harus diatasi dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kebijakan transfer fiskal dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan terutama melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Permasalahan yang terjadi saat ini struktur penerimaan keuangan daerah mayoritas sangat tergantung pada DAU. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2005-2011 pada Tabel 1 menunjukkan total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat dari 143.2 Triliun Rupiah menjadi 347.2 Triliun Rupiah. Komponen dana transfer terbesar adalah DAU dengan komposisi meningkat dari 62% menjadi 65%, sedangkan komposisi dana bagi hasil turun dari 35% menjadi 28%.
2
Tabel 1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah) Uraian 1. Penerimaan Dalam Negeri (PDN) a. Perpajakan b. Bukan Pajak 2. Belanja Negara
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
493.9
636.2
706.1
979.3
847.1
992.2
1 205.3
347.0
409.2
491.0
658.7
619.9
723.3
873.9
146.9
227.0
215.1
320.6
227.2
268.9
331.5
509.6
667.1
757.6
985.7
937.4
1 042.1
1 295.0
a.
Pemerintah Pusat
361.2
440.0
504.6
693.4
628.8
697.4
883.7
b.
Transfer ke Daerah 1. Dana Perimbangan a. DAU
150.5
226.2
253.3
292.4
308.6
344.7
411.3
143.2
223.1
244.0
278.7
287.3
316.7
347.2
88.8
145.7
164.8
179.5
186.4
203.6
225.5
b. DAK c. DBH 2. Dana Otsus & Penyesuaian 3. Defisit % defisit terhadap PDB
4.0
11.6
16.2
20.8
24.7
21.0
24.8
50.5
64.9
62.9
78.4
76.1
92.2
96.9
7.2
4.0
9.3
13.7
21.3
28.0
64.1
14.4
29.1
49.8
4.1
88.6
46.8
84.4
(0.5)
(0.9)
(1.3)
(0.1)
(1.6)
(0.7)
(1.1)
Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 dan 2013
Tingginya peran DAU pada dana perimbangan juga ditunjukkan oleh struktur keuangan daerah pada APBD. Data realisasi penerimaan agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi menunjukkan mayoritas pendapatan daerah bersumber dari DAU dengan rata-rata 52.7% per provinsi per tahun (Tabel 2). Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur anggaran belanja daerahnya sehingga memicu terjadinya ekspansi fiskal yang menyebabkan belanja daerah terus meningkat. Di sisi lain, belanja daerah yang terus meningkat juga disebabkan oleh praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat serta lambatnya reformasi pajak di daerah (DJPK, 2005). Lambatnya reformasi pajak di daerah ditunjukkan oleh kapasitas fiskal yang rendah bahkan turun dari 35.2% menjadi 31.2% per provinsi per tahun. Tabel 2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah1 Tahun 2005-2011 (%) Tahun
DAU
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
53.0 59.0 56.2 52.9 51.9 48.8 46.9 52.7
Pajak Daerah 10.9 8.7 8.6 9.7 9.3 10.0 11.6 9.8
PAD 15.5 13.1 13.2 14.4 14.1 14.8 16.3 14.5
Bagi Hasil Pajak 11.1 9.9 9.5 8.8 8.8 8.9 6.8 9.1
Catatan: 1Agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi; 2 total PAD dan dana bagi hasil; 3 Rasio PAD terhadap total belanja daerah Sumber: Kemenkeu R.I, data diolah
Kapasitas Fiskal2 35.2 30.4 29.4 31.1 29.9 32.1 31.2 31.3
Kemandirian Fiskal3 (%) 16.8 14.1 13.4 15.0 13.8 15.1 17.8 15.1
3
Terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkat dari 4.9% pada tahun 2000 menjadi 6.5% pada tahun 2011. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua periode 20052011 lebih tinggi dengan rata-rata 0.20 persen poin per tahun sementara tahap pertama periode 2000-2004 hanya 0.02 persen poin per tahun (Tabel 3). Namun, ketimpangan pendapatan pada tahap kedua semakin buruk dimana Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, sedangkan pada tahap pertama relatif tetap. Jika mengacu pada pendapat Seers (1969) mengenai peran distribusi pendapatan pada kemiskinan, maka Indeks Gini yang lebih besar akan mengurangi peran pertumbuhan ekonomi pada kemiskinan sehingga penurunan tingkat kemiskinan berkurang atau dengan perkataan lain laju penurunan kemiskinan melambat. Penurunan persentase penduduk miskin (headcount index) periode pertama ratarata 0.62 persen poin per tahun, sedangkan penurunan pada periode kedua lebih rendah dengan rata-rata 0.58 persen poin per tahun. Jika mengacu pada target kemiskinan 2014 yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yaitu 8-10% (Perpres RI No. 5/2010) dan target kemiskinan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia 2015 sebesar 7.5% maka dibutuhkan laju penurunan persentase penduduk miskin antara 0.8 sampai 1.5 persen poin per tahun. Dengan rata-rata penurunan persentase penduduk miskin saat ini sebesar 0.58 persen poin maka target-target tersebut diperkirakan sulit tercapai. Tabel 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini, dan Kemiskinan Tahun 2000-2011 Tahun
Pertumbuhan Ekonomi1 (%)
Indeks Gini
Persentase Penduduk Miskin
2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Perubahan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata Perubahan
4.9 3.6 4.5 4.8 5.0 0.02 5.7 5.5 6.4 6.0 4.6 6.2 6.5 0.20
0.31 0.31 0.33 0.32 0.32 0.00 0.36 0.33 0.36 0.35 0.37 0.38 0.41 0.02
19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 -0.62 15.97 17.75 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49 -0.58
Catatan: 1Perubahan PDB Riil (harga Konstan Tahun 2000) Sumber: BPS
Dinamika kemiskinan berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi rumahtangga menunjukkan mayoritas penduduk miskin berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya meningkat dari 55.4% pada tahun 2005 menjadi 56.9% pada tahun 2011 (Tabel 4). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi sementara ketimpangan pendapatan meningkat, laju penurunan kemiskinan melambat, dan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat menjadi indikasi
4
bahwa penerapan kebijakan desentraliasi fiskal yang mengutamakan desentralisasi pengeluaran daerah sehingga keuangan daerah sangat tergantung pada DAU hanya berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut kurang dinikmati penduduk miskin terutama di rumahtangga pertanian. Artinya, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengutamakan peran DAU dalam membiayai pembangunan daerah tidak dapat mencapai pertumbuhan pro-poor untuk mempercepat pengentasaan kemiskinan. Tabel 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga (%) Tahun
Pertanian
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
55.4 53.9 52.9 53.3 53.5 56.1 56.9
Industri Pengolahan 6.8 6.8 5.7 6.3 2.9 6.4 6.1
Perdagangan, Hotel,Restoran 8.3 8.9 8.0 8.1 5.8 7.8 7.0
Lainnya dan Tidak Bekerja 29.5 30.4 33.4 32.3 37.9 29.6 30.0
Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Kor Maret tahun 2005-2011
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diikuti meningkatnya ketimpangan pendapatan dan melambatnya laju penurunan kemiskinan dapat menjadi indikasi bahwa penerapan pembangunan desentralisasi di Indonesia untuk mempercepat tujuan pembangunan ekonomi nasional masih terpaku pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ada indikasi permasalahan fiskal dalam penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terkait tingginya ketergantungan pada DAU dan rendahnya kapasitas fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dihasilkan dari pembangunan desentralisasi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk. Pada dasarnya, meningkatnya DAU sebagai konsekuensi pelimpahan kewenangan alokasi anggaran daerah seharusnya diikuti perbaikan kualitas belanja daerah sehingga pendapatan daerah dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang memberi nilai tambah besar terutama bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, peningkatan DAU yang merupakan unconditional grant (bantuan tidak bersyarat) seharusnya membuat pemerintah daerah lebih fleksibel dalam mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan daerah yang berdampak besar dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009), pertumbuhan pro-poor dapat tercapai dengan memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastruktur. Artinya, dibutuhkan belanja pertanian dan belanja inrastruktur yang besar untuk mencapai pertumbuhan pro-poor. Namun fakta menunjukkan rata-rata belanja pertanian dan belanja infrastruktur daerah periode 2005-2011 hanya naik masing-masing 19.0% per tahun. Sementara itu, belanja perdagangan naik 134% per tahun. Artinya, pemerintah daerah melakukan strategi pembangunan sektor jasa khususnya perdagangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dari pada pembangunan sektor riil terutama pertanian padahal sektor tersebut merupakan kantong kemiskinan terbesar di Indonesia. Hasil penelitian Nanga (2006) menemukan hal serupa yaitu ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal
5
lebih menguntungkan sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari meningkatnya PDRB dan jumlah tenaga kerja non-pertanian yang lebih besar dibandingkan pertanian sehingga penelitian tersebut menduga bahwa keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non-pertanian merupakan penyebab transfer fiskal tidak berdampak menurunkan kemiskinan. Peningkatan belanja daerah yang berlebihan dan tidak proporsional dapat terjadi karena adanya fenomena flypaper effect pada penerimaan transfer fiskal tidak bersyarat (unconditional transfer) yaitu respon yang lebih besar dari pada pendapatannya sendiri (Oates, 1999). Studi-studi terdahulu, antara lain Afrizawati (2012), Widarjono (2006), dan Kuncoro (2004), menemukan fenomena flypaper effect pada keuangan daerah di Indonesia dimana respon belanja daerah terhadap perubahan DAU lebih besar dari pada perubahan PAD. Jika respon terhadap perubahan DAU yang berlebihan tersebut terjadi pada alokasi belanja-belanja daerah yang tidak berdampak besar mengurangi kemiskinan maka pengentasan kemiskinan nasional melalui strategi pertumbuhan pro-poor akan sulit tercapai. Di sisi lain, fakta yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan belanja pertanian dan infrastruktur mengindikasikan peran DAU pada pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar. Namun, fenomena flypaper effect merupakan konsekuensi tingginya kewenangan daerah dalam mengatur pengeluaran daerah sehingga sulit untuk diatasi. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tidak konsisten dengan tujuannya dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar disertai dengan ketimpangan pendapatan yang juga semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hal ini diduga karena keuangan daerah tergantung pada DAU sementara pemerintah daerah cenderung merespon DAU secara berlebihan untuk digunakan pada beberapa jenis belanja daerah yang kurang berdampak menurunkan kemiskinan sedangkan perilaku tersebut sulit diatasi. Sementara itu, penggunaan kapasitas fiskal lebih ketat (prudent). Oleh karena itu, pemerintah daerah memerlukan kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan penurunan tingkat kemiskinan dan mengurangi proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian. Perumusan Masalah Penerapan pembangunan desentralisasi merupakan upaya besar pemerintah Indonesia untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tetapi, data statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat namun ketimpangan pendapatan juga semakin besar sehingga laju penurunan kemiskinan melambat dan proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia mengutamakan DAU untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam konteks DAU sebagai transfer tidak bersyarat (unconditional grant) maka jika penerimaan DAU akan meningkatkan belanja daerah tanpa menyebabkan tekanan fiskal pada basis pajak. Dengan perkataan
6
lain, sumber keuangan daerah dari pendapatan lokal dan transfer fiskal yang diperoleh dengan mudah tidak memberi dampak berbeda pada keputusan alokasi belanja daerah (Hines dan Thaler, 1995). Tetapi, pada prakteknya pemerintah daerah lebih boros dalam menggunakan dana dari transfer fiskal dari pada dana dari pendapatan sumberdaya lokal. Perilaku ini merupakan sifat alami yang juga terjadi pada kasus perusahaan dan individu. Pada kasus di Indonesia, perilaku tersebut diindikasikan oleh tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU sementara komposisi kapasitas fiskal rendah. Anggaran keuangan daerah juga lebih diprioritaskan untuk sektor-sektor yang tidak memberi dampak besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sehingga perilaku tersebut sulit diatasi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi belanja daerahnya. Pada akhirnya pembiayaan desentralisasi menjadi tidak efektif dan efisien. Di sisi lain, hal ini menjadi indikasi bahwa prinsip money follow function yaitu pengalokasian anggaran berdasarkan fungsi masing-masing unit atau satuan kerja yang telah ditetapkan undang-udang tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian, dampak kebijakan peningkatan kapasitas fiskal dari PAD dan dana bagi hasil yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah dari sumber daya lokal menjadi isu penting yang perlu dikaji saat ini. Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 disebutkan bahwa pemerintah pusat secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi pengeluaran tetapi juga sisi penerimaan. Untuk itu pemerintah daerah diberi kewenangan memungut pajak (taxing power) dengan dasar hukum UU No. 28 tahun 2009. Pengalihan kewenangan perpajakan tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perekonomian daerah. Penguatan sisi penerimaan tersebut dilakukan secara kontinyu dengan memperluas local taxing power salah satunya adalah pengalihan pajak-pajak properti menjadi pajak daerah sejak Januari 2011 yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan akan berlaku di seluruh daerah paling lambat tahun 2014. Perluasan sumber pajak daerah tersebut akan meningkatkan PAD sebaga sumber utama kapasitas fiskal. Sumber kapasitas fiskal lainnya yaitu dana bagi hasil dapat ditingkatkan jika daerah memperoleh bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam lebih besar. Jumlah kedua jenis dana bagi hasil yang diterima daerah dari pemerintah pusat tergantung pada kemampuan ekonomi dan sumber daya alam serta porsi bagi hasil yang telah ditetapkan dalam UU No. 33/2004. Data-data statistik menunjukkan provinsi-provinsi dengan struktur ekonomi non-pertanian menerima bagi hasil pajak lebih besar, sedangkan provinsi-provinsi pertanian yang sebagian besar terletak di luar Pulau Jawa menerima bagi hasil pajak lebih kecil. Perbedaan tersebut disebabkan sebagian besar dana bagi hasil pajak bersumber dari tiga jenis pajak-pajak penghasilan (PPh) individual yang mayoritas merupakan pendapatan tenaga kerja non-pertanian. Selain itu, sesuai UU No. 33/2004 pasal 13 ayat 1 porsi daerah dari bagi hasil PPh hanya 20% sehingga jumlah bagi hasil pajak yang diterima daerah terutama di provinsi-provinsi pertanian relatif kecil. Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam mayoritas berasal dari penerimaan sektor pertambangan dan penggalian yang dimiliki sebagian kecil daerah di Indonesia terutama di Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan
7
Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan perbedaan yang besar pada penerimaan bagi hasil sumber daya alam antar daerah sehingga tidak dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal secara umum. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah pada kinerja fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi disertai berkurangnya ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang memihak kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu rumahtangga pertanian. 2. Bagaimana dampak kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah di Indonesia. 3. Alternatif kebijakan fiskal apakah yang dapat meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di masa mendatang. Tujuan Penelitian
1.
2. 3. 4.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: Menganalisis perkembangan indikator kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2006-2011. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. Menganalisis pengaruh kapasitas fiskal pada kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. Meramal dampak alternatif kebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2013-2015. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. 2. 3.
1. 2.
Ruang lingkup penelitian difokuskan pada: Analisis deskriptif profil kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. Analisis determinan kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. Analisis dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal, perekonomian, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian periode historis 2006-2011 dan peramalan 2013-2015. Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain: Data fiskal merupakan agregat provinsi dan seluruh kabupaten/kota provinsi sehingga tidak mencerminkan perilaku fiskal provinsi atau kabupaten/kota. Data belanja daerah merupakan gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan sesuai sistem penganggaran berbasis kinerja di Indonesia yang
8
3.
4.
berlaku sejak tahun 2005, sehingga pengaruhnya tidak mencerminkan peran belanja modal daerah saja. Konversi data nominal ke riil menggunakan rata-rata IHK beberapa kota di setiap provinsi dengan tahun dasar 2007 yang berbeda dengan tahun dasar PDRB yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini yaitu tahun 2000. Data pengeluaran penduduk dan indikator kemiskinan yang dirinci menurut sektor ekonomi tidak tersedia sehingga diolah dari data SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005-2011 dengan klasifikasi sektoral mengacu pada pekerjaan utama kepala rumahtangga sesuai konsep SAKERNAS. Kebaruan dan Manfaat Penelitian
Studi-studi empiris terdahulu umumnya menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal pada periode awal desentralisasi tahun 2001-2004 serta lebih fokus pada dampak DAU terhadap kinerja ekonomi daerah, antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Pardede (2004), dan Panjaitan (2006). Sementara studi empiris yang lebih difokuskan pada dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sangat sedikit, salah satunya adalah Nanga (2006). Namun, penelitian tersebut tidak mendekomposisi kemiskinan menurut sektor ekonomi dan lebih fokus pada dampak transfer fiskal. Selain itu, meskipun studi-studi empiris mengenai kemiskinan banyak dilakukan namun analisis secara sektoral sangat terbatas dan tidak terkait dengan kebijakan fiskal daerah. Studi terdahulu yang meneliti kemiskinan sektoral di Indonesia antara lain Suryahadi, et al. (2009) dan Suryahadi, et al. (2012). Sementara analisis kemiskinan sektoral merupakan hal penting karena fakta menunjukkan variasi sektoral dalam dinamika kemiskinan di Indonesia baik di tingkat nasional maupun provinsi. Di sisi lain, pengentasan kemiskinan dapat tercapai dengan melakukan strategi pertumbuhan pro-poor melalui efek pertumbuhan (growth) dan pemerataan pendapatan (equality) (de Janvry dan Sadoulet, 2010; Kakwani, 1993). Secara teori, pertumbuhan pada sisi penawaran agregat (aggregate supply) dipengaruhi oleh kebijakan fiskal melalui peningkatan kapasitas perekonomian. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan melalui strategi pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika penerapan kebijakan fiskal daerah berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan terutama tingkat kemiskinan penduduk pertanian. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini adalah melakukan analisis kemiskinan sektoral terkait peran kapasitas fiskal pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mempercepat tercapainya tujuan utama pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pemerataan distribusi pendapatan.