1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sampai saat ini, GCM (general circulation models) diakui banyak pihak sebagai alat penting dalam upaya memahami sistem iklim. GCM dipandang sebagai metode yang paling berpotensi dalam hal mensimulasikan iklim masa lampau, sekarang, dan memprediksi perubahan-perubahan iklim yang mungkin terjadi di masa mendatang. GCM digunakan dalam kajian mengenai dampak keragaman dan perubahan iklim, serta kajian iklim lainnya, namun beberapa komunitas ilmiah mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap kurang memadainya skala ruang prakiraan dan skenario iklim yang dihasilkan. Ketidakpuasan muncul oleh adanya ketidaksesuaian skala antara GCM yang beresolusi rendah (beberapa ratus km) dan skala ruang untuk kajian dampak regional, yang seringkali menghendaki resolusi ruang satu atau dua orde besaran yang lebih tinggi. Untuk daerah-daerah dengan topografi yang kompleks, di sepanjang garis pantai, dan daerah-daerah dengan tutupan lahan yang sangat heterogen, seperti halnya di Indonesia keluaran model GCM hasilnya kurang sensitif (Wilby et al. 2004). Berbagai teknik ‘downscaling’ yang seringkali diartikan regionalisasi telah dikembangkan dengan maksud meningkatkan manfaat informasi regional yang dihasilkan GCM serta menyediakan informasi iklim resolusi tinggi. Teknik-teknik tersebut dapat diklasifikasikan atas tiga kategori: (1) GCM (Atmosfer dan kopel Atmosfer – Ocean GCM) resolusi tinggi dan/atau dengan resolusi yang dapat divariasikan (variable resolution), (2) nested limited area (atau regional) climate models (LAMs / RCMs) seringkali disebut dynamic downscaling, dan (3) metoda - metoda empirik/statistik seringkali disebut statistical downscaling (Giorgi et al. 2001). Metode statistical downscaling (SD) didasarkan pada asumsi bahwa iklim regional dikendalikan oleh dua faktor yaitu: kondisi iklim skala besar (resolusi rendah) dan kondisi/karakteristik fisiografik regional/lokal (misal: topografi distribusi daratan-lautan dan tataguna lahan) (von Stroch et al. 1999). Informasi iklim regional atau lokal dapat diperoleh dengan langkah awal menentukan suatu
2 model statistik yang menghubungkan peubah iklim skala-besar (peubah penjelas: x) dengan peubah-peubah regional dan lokal (peubah respon/prediktan: y). Selanjutnya luaran skala besar dari simulasi GCM dimasukkan sebagai input bagi model statistik tersebut untuk memperkirakan karakteristik iklim lokal atau regional yang bersangkutan. Secara umum bentuk hubungan tersebut dinyatakan dengan: y = f(x) + ε. Tabel 1.1 Deskripsi, kelebihan, dan kelemahan metode downscaling GCM Metode
Deskripsi
Kelebihan
Kekurangan
Komputasinya mahal Informasi diturunkan dari model berbasis Permasalahan dalam parameterisasi pada fisik Tersedia banyak peubah pemindahan skala Konsisten secara global Tingginya resolusi dan dapat dilakukan tergantung SST dan peninjauan ulang batas laut es dari (validasi) model (GCM) Tergantung pada input (biasanya bias) yang dikendalikan GCM Regional models/ Menyediakan Menyediakan informasi Komputasinya mahal dynamic informasi spasial yang sangat tinggi Tergantung pada input downscaling (biasanya bias) yang /temporal resolusi (spasial dan temporal) Informasi diturunkan dikendalikan GCM tinggi dari model berbasis fisik Tersedia banyak peubah Menggambarkan cuaca ekstrim yg lebih baik dari GCM Statistical Menyediakan Dapat membangkitkan Tergantung pada input (biasanya bias) yang downscaling informasi informasi pada grid dikendalikan GCM titik/spasial resolusi tinggi, atau resolusi tinggi non-uniform region Potensial untuk beberapa teknik dengan selang peubah yang berbeda Peubah internal (kemungkinan) konsisten Komputasinya relatif murah Sesuai untuk lokasi dengan komputasi yang terbatas Aplikasinya cepat untuk GCM yang berbeda Sumber : Mearns et al. 2001. Resolusi tinggi/grid yang diregangkan
Menyediakan informasi global dengan resolusi tinggi /skala benua
3 Salah satu keuntungan utama dari teknik ini adalah komputasinya lebih murah dan dapat dengan mudah diaplikasikan pada luaran berbagai simulasi dan eksperimen berbasis GCM (Tabel 1.1). Berbagai teknik SD untuk kajian terhadap keragaman (variabilitas), perubahan iklim, dan kajian iklim lainnya dengan berbagai skenario telah berkembang di negara-negara dengan lintang tinggi, sedangkan di wilayah lintang rendah (tropik, seperti di Indonesia) sangat terbatas (Giorgi et al. 2001; Wilby et al. 2004). Teknik SD yang digunakan beragam berdasarkan region/spasial, temporal, peubah respon/prediktan, peubah penjelas, dan metode statistik yang digunakan membangun model hubungan skala besar dan skala lokal/regional. Di antara teknik SD yang seringkali digunakan adalah regresi sederhana atau berganda (Busuioc et al. 1999; Busuioc et al. 2001) korelasi kanonik (von Stroch et al. 1993; Busuioc et al. 1999), singular value decomposition: SVD (Uvo et al. 2001). Di samping itu pendekatan nonlinear: jaringan syaraf tiruan (Crane dan Hewitson 1998; Wilby dan Wigley 1997; Trigo et al. 2001). Metode downscaling sudah mulai dikembangkan di Indonesia, baik model dynamic downscaling (DD) maupun model SD. Model DD yang sudah dikembangkan adalah model CSIRO-9
yaitu model LAM kerjasama antara
Australia dan LAPAN (Ratag et al. 1998, diacu dalam Boer 2000). Model SD yang sudah dikembangkan adalah prediksi curah hujan wilayah di Indramayu dengan menggunakan fungsi transfer oleh Haryoko (2004). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah regresi fourier dan regresi komponen utama. Haryoko (2004) menyimpulkan bahwa model dengan reduksi dimensi transformasi fourier lebih baik dari model dengan reduksi komponen utama. Namun dalam penelitian itu belum mempertimbangkan korelasi spasial dan adanya kasus autokorelasi. Wigena dan Aunuddin (2004) menggunakan gabungan (hybrid) projection pursuit dan jaringan syaraf tiruan. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa model gabungan projection pursuit dan jaringan syaraf tiruan menghasilkan curah hujan dugaan lebih baik dari metode
projection
pursuit tanpa jaringan syaraf tiruan. Namun perlu kajian lebih lanjut untuk mengatasi masalah struktur data yang nonlinear dalam ruang (spasial) dan waktu.
4 Pemanfaatan keluaran model SD dari GCM digunakan untuk berbagai aplikasi iklim, dari rekonstruksi iklim historis hingga masalah perubahan iklim. Dalam penelitian ini keluaran model SD akan digunakan untuk pengembangan model ramalan produksi padi. BPS setiap tahun melakukan ramalan produksi padi. Model ramalan produksi padi yang dikembangkan saat ini belum memasukkan faktor iklim. Pendugaan model produksi padi saat ini hanya menggunakan luas panen dan jumlah produksi per hektar (BPS 2003). Dengan memasukkan faktor iklim diperkirakan akan meningkatkan tingkat ketepatan ramalan produksi padi.
1.2 Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh kawasan laut pasifik. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Selain itu, aktifitas monsun juga ikut berperanan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Di samping itu, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam sehingga sistem golakan lokal juga cukup dominan dan pengaruhnya terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat diabaikan. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon tropik. Semua aktifitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun. Adanya berbagai faktor yang mempengaruhi keragaman iklim, baik lokal, regional maupun global, maka upaya regionalisasi (downscaling) perlu dilakukan dalam kajian keragaman iklim, studi perubahan iklim, dan pemanfaatan kajian iklim lainnya dengan GCM. Pengembangan
model dengan basis SD perlu
dipertimbangkan, dengan kemudahan aspek komputasi akan sesuai dilakukan di Indonesia. Metode SD akan memberikan hasil yang baik jika tiga syarat berikut terpenuhi, yaitu: (1) hubungan erat antara peubah prediktan dengan peubah penjelas untuk menerangkan keragaman iklim lokal dengan baik, (2) peubah penjelas disimulasi dengan baik oleh GCM, dan (3) hubungan antara peubah
5 prediktan dan peubah penjelas tidak berubah dengan perubahan waktu (time invarians) (Busuioc et al. 2001). Di samping itu, untuk kepentingan perkiraan perubahan iklim, diperlukan penjelas yang dapat menjadi indikator (signal) perubahan iklim (von Storch et al. 1999). Beberapa permasalahan yang muncul dalam SD adalah: (1) menentukan domain (grid) dan reduksi dimensi, (2) mendapatkan peubah penjelas yang mampu menjelaskan keragaman peubah lokal, dan (3) mendapatkan metode statistik yang sesuai karakteristik data, sehingga bisa menggambarkan hubungan antara peubah prediktan dan peubah penjelas, serta dapat mengakomodasi kejadian ekstrim. Dalam SD, khususnya fungsi transfer melibatkan banyak peubah penjelas (x), peubah respon (y), data runtun waktu dan spasial dalam jumlah besar, serta berbagai lapisan atmosfer. Banyaknya peubah x dan peubah y meningkatkan kompleksitas model yang memungkinkan terjadinya kasus kolinearitas antar peubah x dan antar peubah y serta kasus autokorelasi. Untuk melakukan pereduksian dimensi peubah x digunakan analisis komponen utama. Bentuk fungsi yang seringkali tidak diketahui dan pelanggaran asumsi dasar terhadap metode statistik baku (seperti sisaan berdistribusi normal, ragam homogen, dan kesaling-bebasan), sehingga metode ini diperkirakan tidak mampu menghasilkan ramalan dengan ketepatan (akurasi dan presisi) yang tinggi. Metode statistik dengan pendekatan nonparametrik yang tidak terlalu ketat asumsi (soft modelling) akan digunakan sehingga akan meningkatkan hasil ketepatan ramalan. Metode statistik nonparametrik yang digunakan adalah regresi splines adaptif berganda (RSAB) dan adaptive splines threshold autoregression (ASTAR). Pemodelan SD dapat dilakukan pada skala titik (stasiun) maupun wilayah/regional. Penggunaan skala wilayah seringkali dilakukan karena lebih menguntungkan. Salah satu keuntungannya adalah data kelompok stasiun (wilayah) lebih homogen, sehingga berbagai metode telah dikembangkan untuk menentukan iklim suatu wilayah, seperti yang dilakukan oleh BMG, yaitu zona prakiraan iklim (ZPI) atau daerah prakiraan musim (DPM).
Metode untuk
menentukan DPM/ZPI seringkali adalah analisis kelompok (cluster analysis), seperti Bunkers et al. 1996; Gong dan Richman 1995; Mimmack et al. 2000;
6 BMG 2003; Wigena 2006. Banyaknya metode dan prosedur dalam analisis kelompok seringkali menyulitkan dalam proses pemilihannya. Seperti pemilihan matriks jarak, hierarkhi atau nonhierarkhi, dan metode penggabungan. Model ramalan produksi padi yang dikembangkan saat ini oleh BPS belum memasukkan faktor iklim, serta cakupannya pada tingkat propinsi. Untuk mendukung ketahanan pangan nasional perlu kajian yang lebih detail, dengan mengetahui sentra produksi padi hingga pada tingkat kabupaten, bahkan kecamatan. Di samping itu produksi padi dipengaruhi oleh faktor iklim, terutama curah hujan. Dengan demikian, dalam pemodelan ramalan produksi padi diperlukan kajian yang lebih detail dan memasukkan faktor iklim. Permasalahan yang seringkali muncul adalah ketersediaan data iklim (curah hujan) yang tidak tersedia. Untuk keperluan data iklim (curah hujan) dapat diperoleh melalui keluaran model SD. Diagram alir kerangka penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 1.1. Data GCM: Pra-pemrosesan dan reduksi dimensi data GCM
Menentukan lokasi dan luasan grid GCM (domain) yang optimum
Data curah hujan bulanan pada stasiun atau wilayah
Melakukan identifikasi peubah penjelas GCM yang berkorelasi tinggi terhadap curah hujan wilayah
Menyusun model statistical downscaling
Menentukan daerah prakiraan musim (DPM) atau zona prakiraan iklim (ZPI)
Menyusun model ramalan produksi padi
Gambar 1.1 Diagram alir kerangka penelitian.
7 1.3 Tujuan Penelitian Umum: Mengembangkan metode statistical downscaling (SD) dan penerapannya di Indonesia. Khusus: (1) Mengkaji luasan dan lokasi grid domain GCM yang optimum untuk penyusunan pemodelan SD. (2) Mengidentifikasi peubah penjelas GCM yang berkorelasi tinggi terhadap curah hujan pada wilayah penelitian. (3) Membangun model SD dengan menggunakan metode regresi splines adaptif berganda (RSAB). (4) Mengkaji analisis kelompok (cluster analysis) untuk membuat daerah prakiraan musim (DPM). (5) Mengembangkan model ramalan produksi padi dengan menggunakan modifikasi indeks hujan terboboti.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah menyusun model SD di Indonesia. Keluaran model SD diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan model ramalan produksi padi di Indonesia dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional.
1.5 Ruang Lingkup Dalam penelitian ini, model SD yang akan dikaji adalah analisis regresi. Untuk menyusun model ramalan produksi padi dilakukan di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu sebagai kasus.
1.6 Sistematika Penulisan Penulisan disertasi ini terdiri atas 10 bab. Bab 1, Bab 2, dan Bab 3 adalah bab – bab yang membahas kajian pustaka perkembangan pemodelan SD dan penerapannya. Lebih jauh Bab 2 membahas definisi downscaling, SD dan klasifikasi pemodelan SD. Khusus pada Bab 3, membahas tentang pemanfaatan informasi iklim untuk penyusunan model produksi tanaman padi.
8 Bab 4, Bab 5, dan Bab 6 khusus membahas pemodelan SD. Langkah awal dalam pemodelan SD adalah penentuan lokasi dan luasan grid GCM yang dibahas pada Bab 4. Kemudian Bab 5 membahas peubah-peubah penjelas (parameter) GCM yang berpengaruh terhadap peubah respon curah hujan. Hasil dari Bab 4 dan Bab 5 sebagai masukan Bab 6. Bab 6 membahas penggunaan metode RSAB untuk pemodelan SD. Dalam bab ini juga dibahas model hybrid RSAB dan ASTAR untuk pemodelan SD. Bab 7 membahas analisis kelompok (cluster analysis) untuk menentukan zona prakiraan iklim (ZPI) atau daerah prakiraan musim (DPM) dan membandingkan dengan ZPI/DPM BMG. Selanjutnya hasil dari Bab 6 dan Bab 7 digunakan sebagai masukan Bab 8, yang membahas model ramalan produksi padi. Bab 9 berisi tentang pembahasan umum yang merupakan rangkuman dari Bab 4 sampai dengan Bab 8. Simpulan dan saran disajikan pada Bab 10. Keterkaitan antar bab dalam disertasi selengkapnya disajikan pada Gambar 1. 2.
Bab 7 Bab 1
Bab 2
Bab 3
Pemodelan SD
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Gambar 1.2 Keterkaitan antar bab dalam penulisan disertasi.