Biomassa Lantai Hutan dan Jatuhan…(M. Siarudin; Encep Rachman)
BIOMASSA LANTAI HUTAN DAN JATUHAN SERASAH DI KAWASAN MANGROVE BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT (Biomass Production and Litter Fall on Blanakan Mangrove Area, Subang, West Java)*) Oleh/By : M. Siarudin dan/and Encep Rachman Balai Penelitian Kehutanan Ciamis Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 PO. BOX. 5 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax (0265) 775866 *) Diterima : 13 Maret 2007; Disetujui : 27 Oktober 2008
s ABSTRACT Research on forest floor biomass and litter fall was conducted in Blanakan mangrove forest, Subang, West Java in July-December 2006. Stratified random sampling method was used with 2 plots of ± 50 m x 50 m each. Three observation spots in each plot were located purposively. Parameters observed were fresh weight, dry weight, moisture content, layer depth of organic material, and litter fall. The data then were analyzed using descriptive analysis. Result showed that the the available total biomass on Blanakan mangrove forest floor were 11.164 ton/ha and moisture content = 74.60%; the biomass consisted of humus layer = 4.37 ton/ha, fermentation-1 layer = 1.558 ton/ha, fermentation-2 layer = 0.84 ton/ha, and litter layer = 4.369 ton/ha. Litter layer was at the depth of 0-1 cm, fermentation layer was at 1-2.5 cm, and humus layer was at 2.5-3 cm. The rate of litter fall was 8.56 ton/ha/yr of fresh weight are 6.23 ton/ha/yr of dry weight. Based on mangrove species dominant at Blanakan, it was found that api-api (Avicennia marina (Forssk.) Vierh.) produced more litter than bakau (Rhizophora apiculata Blume) i.e. 6.51 ton/ha/yr and 4.95 ton/ha/yr respectively. Keywords : Forest floor, biomass, litter, mangrove, fermentation, humus
ABSTRAK Penelitian mengenai produksi biomassa lantai hutan dan jatuhan serasah telah dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat pada bulan Juli-Desember 2006. Pengambilan data dilakukan dengan metode contoh acak bertingkat, yaitu dengan memilih dua petak masing-masing berukuran ± 50 m x 50 m. Untuk setiap plot dipilih tiga titik pengamatan secara acak terpilih yang dianggap mewakili kondisi ekosistem. Parameter yang diamati adalah berat basah, berat kering, kadar air, dan kedalaman lapisan bahan organik lantai hutan, dan jatuhan serasah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, biomassa yang tersedia di lantai hutan mangrove Blanakan adalah sebesar 11,164 ton/ha dan kadar air rata-rata 74,60%, yang terdiri dari lapisan humus = 4,37 ton/ha, lapisan fermentasi-1 = 1,558 ton/ha, lapisan fermentasi-2 = 0,84 ton/ha, dan lapisan serasah = 4,396 ton/ha. Lapisan serasah terletak pada kedalaman 0-1 cm, lapisan fermentasi pada kedalaman 1-2,5 cm, dan lapisan humus pada kedalaman 2,5-3 cm. Laju jatuhan serasah mencapai rata-rata 8,56 ton/ha/th berdasarkan berat basah atau 6,23 ton/ha/th berdasarkan berat kering. Berdasarkan jenis mangrove yang mendominasi daerah Blanakan, diketahui bahwa jenis api-api (Avicennia marina (Forssk.) Vierh.) menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan dengan bakau (Rhizophora apiculata Blume), yaitu masing-masing 6,51 ton/ha/th dan 4,95 ton/ha/th. Kata kunci : Biomasa lantai hutan, serasah, mangrove, humus, fermentasi
I. PENDAHULUAN Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain
hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, pemecah 329
Vol. V No. 4 : 329-335, 2008
angin dan gelombang tsunami, penyerap limbah dan pencegah interusi air laut juga mempunyai fungsi ekonomis seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, habitat budidaya perikanan tambak, dan ekowisata. Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), hutan mangrove menjadi sasaran kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang lebih menitikberatkan kepentingan ekonomi. Kondisi ini berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya luas dan penurunan daya dukungnya. Lebih dari separuh (57,6%) luas hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan (Anwar dan Gunawan, 2006). Hutan mangrove mengalami degradasi yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun akibat kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar, dan sebagainya (Dahuri, 2002). Kegiatan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan hutan mangrove secara ideal diupayakan terintegrasi dengan kepentingan ekologis, pembangunan, dan hak masyarakat sekitar. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove sehingga dapat meningkatkan tanggungjawab dan peranserta dalam perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya secara lestari. Salah satu peranan mangrove dalam usaha perikanan tambak adalah sebagai pemasok bahan organik, selain sebagai tempat penyedia bibit. Serasah mangrove yang jatuh diuraikan oleh mikroorganisme kemudian masuk ke rantai makanan, sehingga dapat menyediakan nutrien bagi organisme yang hidup di perairan sekitarnya (Noor et al., 1999). Namun demikian data dan informasi mengenai daya dukung ekologis mangrove tersebut masih kurang memadai. Penelitian ini 330
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang produksi biomassa lantai hutan dan jatuhan serasah di hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menjadi referensi dalam upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan hutan mangrove di Blanakan secara lestari.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tegal Tangkil, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta. Secara administratif wilayah ini termasuk dalam pemerintahan Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan Desember 2006. B. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring/net, tali, kantong plastik, tally sheet, kompas, alat tulis, timbangan analitik, oven, dan peralatan penunjang lainnya. C. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode contoh acak bertingkat (stratified random sampling method), yaitu dengan memilih dua blok berukuran 50 m x 50 m di kawasan hutan mangrove Blanakan. Setiap blok dipilih tiga titik pengamatan jatuhan serasah secara acak terpilih (purposive random) yang dianggap mewakili kondisi ekosistem. Pengamatan jatuhan serasah dilakukan dengan memasang jaring berukuran 2,5 m2 (1,2 m x 2,08 m) di bawah tegakan mangrove. Jaring dipasang setinggi dada dengan mengikatkan keempat sudutnya pada pohon yang ada di sekitarnya. Serasah yang jatuh dan tertampung dalam jaring diamati setiap
Biomassa Lantai Hutan dan Jatuhan…(M. Siarudin; Encep Rachman)
bulan dengan dipisahkan antara daun, cabang/ranting, bunga/buah. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah berat basah (g) dan berat kering (g) dengan memasukkan serasah ke dalam oven dengan suhu 60oC hingga beratnya konstan. Hasil pengukuran berat basah dan berat kering dikonversi menjadi satuan ton/ha/th dengan formula (1) dan (2), sebagai berikut:
JSBB bb x 0,048 .......................................(1) JSBK bk x 0,048 ......................................(2) Keterangan : bb = Berat basah (g) bk = Berat kering (g) JSBB = Jatuhan serasah berdasar berat basah (ton/ha/th) JSBK = Jatuhan serasah berdasar berat kering (ton/ha/th)
Pengamatan biomassa lantai hutan dilakukan dengan membuat petak kecil pada lantai hutan berukuran 50 cm x 50 cm. Pada petak tersebut diambil bahan organik, sebagai berikut : 1) Lapisan L (litter) pada petak di bagian atas tanpa merusak keadaan di bawahnya, dengan ciri-ciri : serasah yang baru jatuh, kandungan air masih tinggi, bentuk masih utuh, warna kehijauan atau kecoklatan, masih agak segar; 2) Lapisan F1 (fermentasi tahap 1) yang mempunyai ciri-ciri : serasah yang mulai terdekomposisi, bentuk sudah tidak utuh lagi, bentuk serasah asli masih terlihat, warna kecoklatan, masih merupakan satuan serasah tunggal/tidak saling lengket; 3) Lapisan F2 (fermentasi tahap 2) yang mempunyai ciri-ciri : serasah telah terdekomposisi lebih lanjut, bentuk asli sudah tidak kelihatan lagi tapi masih bisa dibedakan jenis serasah, warna kecoklatan, serasah saling lengket; 4) Lapisan H (humus) yang mempunyai ciri-ciri : serasah telah terdekomposisi sempurna sehingga berbentuk seperti kompos, bentuk sudah tidak kelihatan lagi, warna kehitaman, struktur remah, gembur. Lapisan L, F1, F2, dan H yang telah dibedakan daun, tangkai/dahan, bunga/ buah diukur berat basah dan berat keringnya. Hasil pengukuran berat basah dan
berat kering dikonversi dalam satuan ton/ ha dengan formula (3) dan (4), sebagai berikut :
BLBB bb x 0,04 ……………….…………(3) BLBK bk x 0,04 …………………………(4) Keterangan : bb = Berat basah (g) bk = Berat kering (g) BLBB = Biomassa lantai hutan berdasar berat basah (ton/ha) BLBK = Biomassa lantai hutan berdasar berat kering (ton/ha)
Biomassa lantai hutan dilengkapi dengan pengamatan kedalaman masing-masing lapisannya. Pengukuran kedalaman lapisan dilakukan dengan membuat pengamatan horizon tanah. D. Analisis Data Data yang diperoleh diolah kemudian dianalisis secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Biomassa Lantai Hutan Biomassa pada lantai hutan mangrove menjadi salah satu indikator jumlah pasokan bahan organik yang menjadi salah satu rantai makanan dalam ekosistem perairan mangrove. Hasil pengamatan biomassa lantai hutan mangrove ditampilkan dalam Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa biomassa lantai hutan mangrove yang ada di Blanakan adalah 11,164 ton/ha. Persentase biomassa terbesar ada pada lapisan litter, yaitu mencapai 4,40 ton/ha atau 39,38% dari biomassa yang ada. Lapisan humus juga memiliki jumlah yang hampir sama, yaitu 4,37 ton/ha atau 39,14% dari total biomassa. Sedangkan lapisan F hanya 1,558 ton/ha pada lapisan F1 dan 0,84 ton/ha pada lapisan F2 atau hanya 13,96% dan 7,52% dari total biomassa yang ada. Jumlah produksi biomassa dengan persentase humus yang cukup tinggi merupakan potensi yang baik untuk mendukung budidaya perikanan tambak. 331
Vol. V No. 4 : 329-335, 2008
Tabel (Table) 1. Biomassa lantai hutan mangrove yang tersedia di Blanakan (Mangrove foret floor biomass available at Blanakan) Lapisan (Layer) Litter F1 F2 H Total
Berat basah (Fresh weight) (gr) 202,75 67,55 37,80 175,35 483,45
Berat kering (Dry weight) (gr) 109,90 38,95 21,00 109,25 279,10
Kadar air (Moisture content) (%) 84,49 73,43 80,00 60,50 74,60
Sebagaimana disampaikan oleh Nontji (1987), nilai penting ekosistem mangrove bukanlah sebagai sumberdaya hutan melainkan sebagai penunjang sumberdaya perikanan di perairan lepas pantai. Serasah mangrove yang jatuh diuraikan oleh mikroorganisme kemudian masuk ke rantai makanan sehingga dapat menyediakan nutrien bagi organisme yang hidup di perairan sekitarnya. Biomassa lantai hutan merupakan bahan-bahan organik berupa daun, ranting, cabang, buah, bunga, batang maupun fauna yang jatuh di lantai hutan. Bahan-bahan tersebut apabila terdekomposisi oleh mikroorganisme akan termineralisasi menjadi unsur-unsur yang siap digunakan oleh tanaman. Biomassa lantai hutan terbagi dalam tiga lapisan, yaitu: litter, fermentasi/forna, dan humus. Berdasarkan pengamatan horizon tanah yang dibuat pada lantai hutan mangrove di plot pengamatan, didapatkan kedalaman masingmasing lapisan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2. Tabel (Table) 2. Kedalaman lapisan biomassa lantai hutan mangrove di Blanakan (Layer depth of mangrove forest floor at Blanakan) Lapisan biomassa (Biomass layer) Litter (Litter) Fermentasi (Fermentation) Humus (Humus)
Kedalaman (Depth) (cm) 0-1 1-2,5 2,5-3
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui kedalaman lapisan litter teratas setebal satu cm, lapisan F setebal 1,5 cm terletak pada kedalaman 1-25 cm, dan lapisan humus yang hanya setebal 0,5 cm terletak 332
Biomassa (Biomass) (ton/ha) 4,40 1,56 0,84 4,37 11,16
Persentase biomassa (Biomass percentage) (%) 39,38 13,96 7,52 39,14 100,00
pada kedalaman 2,5-3 cm. Lapisan litter berupa serasah yang baru jatuh dan belum tersentuh oleh mikroorganisme serta masih segar. Lapisan F berupa serasah yang sudah mulai terdekomposisi, bentuk sudah tidak utuh lagi, sebagian sudah saling lengket antar bagian-bagian serasah, berwarna kecokelatan. Lapisan humus merupakan lapisan yang telah terdekomposisi secara sempurna, hasil pengamatan menunjukkan lapisan ini bertekstur lempung berwarna kehitaman. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, bahan organik yang terkandung dalam tanah di lokasi penelitian adalah 1,39-1,40% C dan 0,09-0,01% N, dengan rasio C/N 14-15. Ekosistem mangrove yang dicirikan dengan adanya pengaruh pasang surut air laut dan air sungai menyebabkan terjadinya oksidasi dan reduksi pada lapisan mineral tanah. Pada lokasi kegiatan, lapisan mineral tanah pada kedalaman 3-35 cm berupa tanah liat berwarna kelabu dan pada kedalaman 35 cm sudah dijumpai air. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tekstur tanah di lokasi kegiatan berupa debu 36,5% dan liat 63,5%. Pada lantai hutan yang terendam air, lapisan bahan organik + 10 cm berwarna kehitaman dan pada lapisan di bawahnya berwarna kelabu. B. Jatuhan Serasah Mangrove Pasokan utama biomassa lantai hutan diperoleh dari serasah vegetasi yang terjatuh. Hasil pengukuran jatuhan serasah di delapan titik pengamatan menunjukkan bahwa laju jatuhan serasah rata-rata di Blanakan mencapai 8,56 ton/ha/th
Biomassa Lantai Hutan dan Jatuhan…(M. Siarudin; Encep Rachman)
berdasarkan berat basah dan 6,23 ton/ha/ th berdasarkan berat kering. Berdasarkan pengamatan setiap bulan yang dimulai pada bulan Juli hingga Desember 2006, didapatkan jatuhan serasah sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 1. Pada Gambar 1 dapat dilihat jatuhan serasah cukup tinggi pada bulan ke-1 (bulan Juli) kemudian turun pada bulan Agustus, naik lagi pada bulan September dan Oktober, dan turun pada dua bulan terakhir. Kemungkinan jatuhan serasah yang relatif tinggi pada bulan Juli hingga Oktober dapat dipahami mengingat pada waktu itu adalah bulan-bulan kering sehingga lebih banyak daun dan ranting yang berguguran. Pada bulan November saat mulai terdapat hujan, daun dan ranting kembali bersemi dan lebih kuat. Jenis serasah yang jatuh sebagian besar adalah daun, yaitu sebesar 4,52 ton/ ha/th atau 72,5% dari total serasah; sebagian kecil berupa buah dan bunga sebesar 1,36 ton/ha/th atau 21,8% dari total serasah serta ranting dan cabang sebesar 0,1 ton/ha/th atau hanya 5,6% dari total serasah.
Berdasarkan hasil pengukuran pada dua jenis mangrove dominan di daerah Blanakan, yaitu bakau (Rhizophora api-
culata) dan api-api (Avicenia marina), didapatkan produktivitas serasah jenis apiapi lebih besar dibandingkan dengan jenis bakau. Perbandingan produksi serasah kedua jenis mangrove ini ditampilkan dalam Gambar 2. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa jenis api-api dapat menghasilkan serasah mencapai 6,51 ton/ha/th sedangkan jenis bakau hanya menghasilkan 4,95 ton/ha/th. Produksi serasah antar jenis-jenis mangrove yang diamati terjadi sebaliknya di tempat lain. Berdasarkan pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, jenis R. mucronata menghasilkan 12,21 ton/ha/th daun dan ranting kering, sedangkan jenis A. marina hanya menghasilkan 4,78 ton/ha/th. Produksi serasah tersebut cenderung membesar ke arah garis pantai. Sementara menurut Halidah (2000), perbedaan produksi serasah mangrove dapat juga dipengaruhi usia tanamannya. Berdasarkan jenis serasah, persentase jenis serasah pada bakau dan api-api ditampilkan dalam Gambar 3. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada jenis bakau, persentase daun dan bunga/buah hampir seimbang (masing-masing
Jatuhan seresah (Litter fall) (kg/ha)
2500
Berat kering (Dry weight) Berat basah (Wet weight)
2000
1500
1000
500
0 1
2
3
4
5
6
Pengamatan bulan ke- (Month of observation) Gambar (Figure) 1. Rata-rata jatuhan serasah mangrove Blanakan pada lima bulan pengamatan (Average of mangrove litter fall in five month observation) 333
Vol. V No. 4 : 329-335, 2008
Avicennia marina
Rizophora apiculata
4.95 ton/ha/th
6.51 ton/ha/th
Rizophora sp. Daun (Leaf) Ranting/cabang (Branch) Avicenia sp. species)
Jenis mangrove (Mangrove species)
Gambar (Figure) 2. Jatuhan serasah berdasarkan jenis mangrove yang mendominasi Blanakan (The amount of litter fall by dominant mangrove species at Blanakan)
Bunga/buah (Flower/fruit)
f
0
20
40
60
80
100
Persentase jenis serasah (Percentage of litter by the part of plant)
Gambar (Figure) 3. Persentase jenis serasah pada R. apiculata dan A. marina (Percentage of litter of R. apiculata and A. marina by the part of plant)
51,1% dan 46,9%) dan hanya sebagian kecil terdapat ranting dan cabang (2,1%). Sedangkan pada jenis api-api, serasah berupa daun mencapai 82,3% dan hanya 11,4% berupa bunga/buah dan 6,3% berupa ranting/cabang. Persentase serasah berupa bunga/buah yang relatif besar pada bakau dapat dipahami mengingat bentuk buah pada jenis ini yang relatif besar dibandingkan buah pada api-api. Sementara pada api-api yang memiliki pertajukan lebih lebat, tentu akan menghasilkan 334
serasah berupa daun dan ranting yang lebih besar dari api-api.
IV. KESIMPULAN 1. Biomassa yang tersedia di lantai hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat sebesar 11,164 ton/ha dan kadar air rata-rata 74,60%, dengan lapisan humus (yang terdekomposisi sempurna) sebesar 4,37 ton/ha, lapisan fermentasi tingkat satu sebesar
Biomassa Lantai Hutan dan Jatuhan…(M. Siarudin; Encep Rachman)
1,558 ton/ha, lapisan fermentasi tingkat dua sebesar 0,84 ton/ha, dan lapisan litter sebesar 4,396 ton/ha. Lapisan litter terletak pada kedalaman 0-1 cm, lapisan fermentasi pada kedalaman 12,5 cm, dan lapisan humus pada kedalaman 2,5-3 cm. 2. Laju jatuhan serasah mencapai ratarata 8,56 ton/ha/th berdasarkan berat basah dan 6,23 ton/ha/th berdasarkan berat kering. 3. Berdasarkan jenis mangrove yang mendominasi daerah Blanakan, diketahui bahwa jenis api-api (Avicennia marina (Forssk.) Vierh.) menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan dengan bakau (Rhizophora apiculata Blume), yaitu masing-masing 6,51 ton/ha/th dan 4,95 ton/ha/th. DAFTAR PUSTAKA Anwar, C., H. Gunawan. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta. Halidah. 2000. Produksi dan Kecepatan Penguraian Serasah Rhizophora spp. dan B. gymnorrhiza di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan. Makasar, 22 November 2000. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Khairijon. 1999. Analisis dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia marina dan Rhizophora mucronata Menurut Zonasi di Hutan Mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau. Prosiding Seminar VI : Ekosistem Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1988. Kontribusi MAB Indnonesia No .76-LIPI. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N Suryadipura. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-P. Bogor.
335