BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Desa Kerso1 Desa Kerso merupakan salah satu daerah di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Untuk mengetahui gambaran umum tentang kondisi geografis kependudukan Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara dipaparkan dalam katalog Desa Kerso tahun 2015. Adapun data monografi tersebut adalah sebagai berikut : a. Kondisi Geografis Berdasarkan letak geografis wilayah, Desa Kerso berada di sebelah selatan ibu Kota Kabupaten Jepara memiliki area tanah seluas 132,772 Ha dimana Desa Kerso terdiri dari luas sawah seluas 94,221 Ha. Desa Kerso termasuk ke dalam daerah dataran rendah 0-25 m dengan curah hujan 2-3 mm/tahun. Desa Kerso merupakan salah satu Desa di wilayah Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara dengan jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan sejauh 3 Km,
jarak dari Ibu Kota
Kabupaten sejauh 11 Km, sedangkan jarak dari Ibu Kota Propinsi sejauh 84 Km. Adapun batas-batas Desa Kerso adalah sebagai berikut :
Batas Utara
: Desa Rau
Batas Selatan
: Desa Menganti
Batas Timur
: Desa Dongos dan Desa Sukosono
Batas Barat
: Desa Tanggul Tlare
Luas lahan yang ada terbagi dalam beberapa peruntukkan, dan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bidang yaitu fasilitas umum, permukiman, pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain.
1
Dokumen, Data Profil Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara Tahun 2015, di peroleh pada tanggal 5 April 2016.
45
46
Secara administratif wilayah Desa Kerso terdiri dari 2 RW dan 19 RT, dengan jumlah KK 1.433. b. Demografi Berdasarkan data administratif pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara administratif berjumlah 5.035 jiwa pada Tahun 2011 kemudian meningkat menjadi 5.597 jiwa pada Tahun 2012 dan di Tahun 2013 menurun dengan jumlah penduduk 4.413. Dengan rincian penduduk Desa Kerso berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak terdapat pada Tahun 2012 dengan jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 2801 dan wanita sebanyak 2796.2 Agar dapat mendeskripsikan lebih lengkap tentang informasi keadaan penduduk di Desa Kerso, dilakukan identifikasi jumlah penduduk dengan menitik beratkan pada klasifikasi usia. Sehingga akan diperoleh gambaran tentang kependudukan Desa Kerso yang lebih konprehensif. Untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan deskripsi tentang jumlah penduduk di Desa Kerso berdasarkan usia secara detail dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Kerso Berdasarkan Usia3
2 3
Umur
Jumlah
Umur
Jumlah
Umur
Jumlah
< 1 tahun
82
20 tahun
46
40 tahun
112
1 tahun
96
21 tahun
83
41 tahun
96
2 tahun
68
22 tahun
92
42 tahun
89
3 tahun
53
23 tahun
115
43 tahun
109
4 tahun
55
24 tahun
88
44 tahun
112
5 tahun
67
25 tahun
109
45 tahun
105
6 tahun
91
26 tahun
95
46 tahun
101
Ibid. Ibid.
47
7 tahun
63
27 tahun
142
47 tahun
92
8 tahun
54
28 tahun
140
48 tahun
64
9 tahun
47
29 tahun
96
49 tahun
50
10 tahun
97
30 tahun
100
50 tahun
71
11 tahun
49
31 tahun
90
51 tahun
50
12 tahun
67
32 tahun
110
52 tahun
80
13 tahun
119
33 tahun
112
53 tahun
90
14 tahun
94
34 tahun
90
54 tahun
98
15 tahun
65
35 tahun
57
55 tahun
67
16 tahun
64
36 tahun
61
56 tahun
69
17 tahun
52
37 tahun
75
57 tahun
56
18 tahun
106
38 tahun
84
58 tahun
74
19 tahun
10
39 tahun
104
>58 tahun
162
Jumlah Penduduk
5.035
c. Perekonomian Desa Secara umum kondisi perekonomian Desa Kerso ditopang oleh beberapa mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam beberapa bidang mata pencaharian, seperti : petani, buruh tani, buruh/swasta, pengrajin, pedagang, PNS/TNI/Polri, penjahit, montir, sopir, karyawan swasta, tukang kayu, tukang batu, guru swasta dll. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :
48
Tabel 3 Tingkat Perekonomian Masyarakat Desa Kerso Berdasarkan Mata Pencaharian4 No.
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
1.
Petani
200 orang
2.
Buruh Tani
151 orang
3.
Buruh/Swasta
500 orang
4.
Pengrajin
96 orang
5.
Pedagang
20 orang
6.
PNS/TNI/Polri
32 orang
7.
Penjahit
9 orang
8.
Montir
15 orang
9.
Sopir
25 orang
10
Karyawan Swasta
33 orang
11
Tukang Kayu
1106 orang
12.
Tukang Batu
8 orang
13
Guru Swasta
45 orang
d. Sosial dan Budaya Desa Sosial dan Budaya Desa ini meliputi : a) Pendidikan Dalam rangka memajukan pendidikan, Desa Kerso akan secara
bertahap
merencanakan
dan
menganggarkan
bidang
pendidikan baik melalui Anggaran Dasar Desa, Swadaya masyarakat dan sumber-sumber dana yang sah lainnya, guna mendukung program pemerintah yang termuat dalam RPJM Daerah Kabupaten Jepara.
4
Ibid.
49
Untuk melihat taraf/tingkat pendidikan penduduk Desa Kerso, jumlah angka putus sekolah serta jumlah sekolah dan siswa menurut jenjang pendidikan, dapat dilihat di tabel di bawah ini : Tabel 4 Jumlah Angka Putus Sekolah dan Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Kerso5 No.
Jenjang Pendidikan
Jumlah
1.
Belum sekolah
389 orang
2.
Usia 7-15 tidak pernah sekolah
43 orang
3.
Pernah sekolah SD tetapi tidak tamat
106 orang
4.
Tamat SD/Sederajat
3.539 orang
5.
Tamat SLTP/Sederajat
474 orang
6.
Tamat SLTA/Sederajat
380 orang
7.
D-1
26 orang
8.
D-2
27 orang
9.
D-3
20 orang
10.
S-1
29 orang
11.
S-2
2 orang
12.
S-3
0 orang
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Kerso pendidikannya paling banyak lulusan Sekolah Dasar. Dari keadaan tersebut kondisi pendidikan di Desa Kerso dikatakan dalam keadaan rendah. Permasalahan pendidikan secara umum antara lain masih rendahnya kualitas pendidikan, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan, terbatasnya sarana dan prasarana
5
Ibid.
50
pendidikan, rendahnya kualitas tenaga pengajar dan tingginya angka putus sekolah. Yang dapat di lihat dalam tabel berikut : Tabel 5 Lembaga Pendidikan, Jumlah Siswa dan Tenaga Pengajarnya6 No.
Lembaga Pendidikan
Jumlah
Siswa
Guru
1.
Taman Kanak-kanak
2
80
8
2.
SD/Sederajat
4
720
52
3.
SLTP/Sederajat
2
299
42
4.
SLTA/Sederajat
2
240
40
5.
Pendidikan Keagamaan
4
105
6
6.
Perguruan Tinggi
0
0
0
b) Kesejahteraan Sosial Masalah kemiskinan dan pengangguran tetap merupakan salah satu masalah di Kabupaten Jepara pada umumnya. Demikian juga dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya di Desa Kerso. Berikut data PMKS di Desa Kerso sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 6 Tabel Kesejahteraan Keluarga7
6 7
Ibid. Ibid.
No.
Uraian
Jumlah
1.
Kepala keluarga
1.363 keluarga
2.
Keluarga prasejarah
403 keluarga
3.
Keluarga sejarah 1
200 keluarga
4.
Keluarga sejarah 2
175 keluarga
5.
Keluarga sejarah 3
125 keluarga
6.
Keluarga sejarah 3 plus
25 keluarga
51
c) Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Desa Kerso dapat di lihat dalam tabel sebagai berikut : Tabel 7 Perkembangan Sarana dan Prasarana Kesehatan8 No.
Uraian
Jumlah
1.
Puskesmas
-
2.
Puskesmas pembantu
1
3.
Poliklinik / balai pengobatan
2
4.
Apotik
-
5.
Posyandu
4
6.
Toko obat
-
7.
Dokter umum
-
8.
Dokter gigi
-
9.
Dokter spesialis
-
10.
Paramedis
4
11.
Dukun terlatih
3
12.
Bidan Desa
2
Adapun jarak tempuh warga Desa Kerso ke Puskesmas / Puskesmas Pembantu terdekat adalah 3 km atau 45 menit apabila ditempuh dengan berjalan kaki, dan apabila menuju ke Rumah Sakit terdekat dapat ditempuh dengan kendaraan selama 30 menit.
d) Prasarana dan Sarana Desa Pembangunan terbatasnya
infrastruktur
kemampuan
akan
Pemerintah
dihadapkan
Desa
Kerso
pada untuk
menyediakannya. Pada sebagian infrastruktur, pihak Desa Kerso
8
Ibid.
52
telah berhasil menghimpun swadaya masyarakat murni yang terkoordinir di masing-masing RT dan RW. Tabel 8 Jumlah Sarana dan Prasarana Desa9 No.
Prasarana
Km / Unit
1.
Jalan aspal
1,50
2.
Jalan makadam
1
3.
Jalan tanah
2
4.
Jalan aspal antar desa/kecamatan
1,50
5.
Jembatan beton
5
6.
Jembatan antar desa/kecamatan
3
Beberapa masalah infrasruktur yang perlu mendapatkan perhatian dan merupakan kebutuhan masyarakat adalah : 1) Jalur transportasi 2) Jaringan irigasi sawah 3) Jaringan air bersih 4) Jaringan listrik 5) Jaringan telpon rumah 6) Pasar desa
e. Pemerintahan Umum Untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di sektor pemerintahan umum, pemerintah Desa Kerso telah sejak lama memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, antara lain berupa : pencatatan sipil / surat-surat keterangan perkawinan yang telah teradministrasi dengan baik. Selain itu guna memenuhi persyaratan administrasi perjanjian, juga telah secara rutin memberikan surat 9
Ibid.
53
keterangan usaha kepada warga masyarakat Desa maupun pihak lain yang akan membuka usaha di Desa Kerso. Peng-administrasian perijinan juga telah dilakukan dengan baik, meskipun diperlukan penyempurnaan / perbaikan demi kepentingan kearsipan.10 Tabel 9 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Kerso11 No.
Jabatan
Nama
1.
Petinggi
Drs. Sutomo, MH.
2.
Carik
K.H Djawawi
3.
Kamituo I
Ulin Ni‟am
4.
Kamituo II
Ahmad Mashuri, S.Hi
5.
Petengan I
Kamid
6.
Petengan II
Jono
7.
Modin I
Baidlowi
8.
Modin II
Ahmadun. S.Ag
9.
Labu I
Idris
10.
Labu II
Hariyanto
11.
Kaur TU
Asyik
12.
Kaur Keuangan
Asyik
f. Keberagaman Masyarakat Desa Kerso Jika di lihat dari agama penduduknya, desa Kerso mempunyai penduduk yang semuanya beragama Islam. Perkembangan di bidang spiritual dapat di lihat dari banyaknya sarana peribadatan yaitu masjid dan musholla. Dari hasil pendataan penduduk yang beragama Islam
10
Wawancara dengan Bapak Drs. Sutomo, MH (Petinggi Desa Kerso) pada tanggal 5 April 2016. 11 Ibid.
54
sebanyak
5.035
dengan
jumlah
musholla/langgar/surau sebanyak 33 buah.
mesjid
1,
dan
jumlah
12
Dalam suasana kehidupan sosial beragama, masyarakat desa Kerso tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Jawa pada umumnya, mereka tidak lepas dari adat istiadat setempat yang telah ada sejak nenek moyang mereka. Kepercayaan akan hal-hal mistis melekat dalam suasana kehidupan sehari-hari. Masyarakat desa Kerso biasanya melakukan kegiatan sosial keagamaan antara lain sebagai berikut : a) Manaqiban Adalah merupakan salah satu adat masyarakat desa Kerso yang dilaksanakan setiap ada hajat atau sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Tradisi manaqiban ini merupakan kebiasaan dengan mengundang tetangga dekat untuk membaca manaqib/sejarah Syeh Abdul qodir Jaelani disertai dengan memotong ayam yang dijelaskan syarat manaqib kemudian ayam yang telah di masak sedemikian rupa tersebut dibagikan kepada para tetangga
yang
diundang
tersebut.
Budaya
manaqiban
ini
dilaksanakan dengan harapan memperoleh penambahan rizki ataupun nikmat dari Allah SWT dengan melalui wasilah atau perantara Syeh Abdul Qodir Jaelani Waliyullah.13 b) Tahlilan Merupakan salah satu adat masyarakat desa Kerso yang yang dilaksanakan pada saat seseorang dari salah satu keluarga ada yang meninggal dunia. Biasanya dilakukan pada saat sudah mencapai 3 hari, 7 hari, 100 hari, haul setahun dan 1000 hari dari kematian seseorang. Tradisi tahlilan ini dilaksanakan dengan harapan agar
12
Dokumen, Data Profil Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara Tahun 2015, di peroleh pada tanggal 5 April 2016. 13 Wawancara dengan Bapak Kyai Badaruddin (Ulama‟ Desa Kerso) pada tanggal 10 Maret 2016.
55
arwah orang yang meninggal dunia diterima di sisi Allah, di ampuni segala dosanya serta diterima segala amalnya.14 c) Hajatan Adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Kerso ketika akan melaksanakan hajat pernikahan, khitanan dan pemberian nama bagi bayi yang baru lahir. Biasanya sebelum hajat dilaksanakan, terlebih dahulu melaksanakan tahlilan atau mengirim do‟a kepada ahli kubur untuk memohon kepada Allah SWT agar hajat yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar dan selamat. Acara ini biasanya di hadiri oleh para tetangga yang di undang oleh orang yang punya hajat tersebut.15 d) Berjanjenan Adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Kerso dengan tujuan sebagai rasa syukur kepada Allah atas hajat yang dilaksanakan semisal tasyakuran atau kelahiran seorang anak atau dalam istilah Jawa disebut “puputan” dan sebagai rasa syukur atas penempatan rumah baru. Dalam acara ini dibacakan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, para kyai percaya dengan membaca sholawat kepada Nabi, Allah SWT akan menjadikan budi pekerti maupun tingkah laku anak yang baru lahir seperti budi pekerti Rosulullah. Atau berjanjen ini biasanya dilaksanakan setiap malam senin sehabis sholat maghrib oleh ibu-ibu atau para wanita yang bergabung dalam jam‟iyyah berjanjen. Sedangkan bapak-bapak atau para lelaki melaksanakan berjanjen setiap malam jum‟at di musholah atau masjid setempat.16 e) Muludan Merupakan salah satu tradisi yang masih berlaku di desa Kerso sebagai salah satu tradisi untuk mengenang hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Mauludan ini dilaksanakan di musholah ataupun 14
Ibid. Ibid. 16 Ibid. 15
56
di masjid dengan tujuan untuk memperingati hari lahir beliau, sejarah perjuangan beliau dan mensyiarkan agama Islam serta agar mendapat syafaat beliau di hari kiamat. Tradisi mauludan ini dilaksanakan secara besar-besaran setiap 1 tahun sekali yang bertepatan pada bulan Rabiul awal yaitu tanggal 1 sampai tanggal 12 bulan Rabiul awal.17 f) Nariyahan Acara ini dilakukan oleh bapak-bapak di rumah-rumah secara bergilir, acara ini dilaksanakan setiap seminggu sekali yaitu pada setiap sabtu malam minggu.18 g) Do‟a awal tahun dan akhir tahun Acara ini dilakukan pada waktu setiap malam tahun baru hijriyah di masjid atau musholah-musholah. Dengan tujuan mengoreksi diri atas perbuatan kita selama satu tahun dan awal tahun dengan harapan agar tahun yang akan datang lebih baik, lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.19 h) Nisfu sya‟ban Acara ini dilakukan pada tanggal malam sya‟ban di masjid atau musholah-musholah dengan niat agar dipanjangkan umurnya karena ibadah kepada Allah SWT, agar diberikan rizki yang banyak dan halal karena sebagai bekal kekuatan untuk beribadah kepada Allah agar ditetapkan imannya.20
17
Ibid. Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid. 18
57
2. Data Pelaksanaan Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Kerso Pada dasarnya aturan perceraian telah tertera dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, semisal PP No. 9 Tahun 1975 dirasakan terlalu jauh perbedaannya dengan kesadaran hukum yang ada di tengah masyarakat muslim,21 khususnya perceraian yang terjadi di Desa Kerso. Di Desa Kerso ini masih ada beberapa yang melaksanakan praktek perceraian di luar Pengadilan Agama. Gambaran perceraian masyarakat Desa Kerso berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama, Ibu Wr mengungkap bahwa telah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama berjalan hampir 2 tahun yang lalu, secara kekeluargaan dengan dihadiri kedua orang tuanya dan orang tua dari suaminya, serta kakek dan paman dari suami sebagai saksi. Sebelum ikrar talak diucapkan suaminya, saksi-saksi dari kedua belah pihak yang merupakan orang tuanya tersebut sebelumnya memberi nasehat-nasehat agar memikirkan ulang niatnya bercerai demi kebaikan bersama. Ini terlihat dari ungkapan Ibu Wr : “Saya bercerai di rumah 2 tahun yang lalu secara kekeluargaan, kakek saya yang menuntun suami saya mengucapkan ikrar talak secara lisan secara langsung di depan saya dan para saksi yaitu kedua orang tua saya dan orang tua dari suami karena dulunya dijodohkan, sebelum ikrar talak diucapkan dari orang tua saya sendiri sudah berulang kali menasehati saya agar mengurungkan niatan berpisah namun atas kesepakatan bersama demi kebaikan bersama akhirnya kami memutuskan untuk bercerai.22 Tak jauh berbeda dengan penuturan dari Ibu Wr, Ibu Yt mengaku telah Melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama berjalan hampir 7 tahun yang lalu, secara kekeluargaan dengan dihadiri anak-anak mereka yang telah berumah tangga serta sesepuh desa yang dipercaya sebagai saksi. Sebagaimana penuturan dari Ibu Yt :
21
Amiur Nuruddin dkk, Op.Cit., hlm. 235. Hasil wawancara dengan Wr, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 10 April 2016. 22
58
“Saya berpisah dari suami saya secara kekeluargaan, sesepuh desa yang memimpin proses perceraian saya, selanjutnya suami saya mentalak saya secara langsung”.23 Sedangkan Ibu Ad mengaku telah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama berjalan hampir 3 tahun yang lalu, secara kekeluargaan dengan dihadiri anak-anak mereka serta menantu dan beberapa tetangga. Hal ini sesuai dengan penuturan Ibu Ad : “Saya bercerai Secara baik-baik di rumah, suami saya mengucapkan ikrar talak secara lisan di depan saya dan para saksi, mengenai proses mediasi sebelumnya anak saya sudah menasehati saya, namun keputusan saya sudah bulat”. 24 Bapak Rs Melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama berjalan hampir 3 tahun yang lalu secara kekeluargaan dengan dihadiri anak-anak mereka serta menantu dan beberapa tetangga dekat. Ini terlihat dari ungkapan Bapak Rs : “Saya berpisah dari istri saya secara damai, kekeluargaan, dan saya talak secara lisan”. 25 Setelah wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, peneliti mendapatkan keterangan bahwa mereka melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama dengan cara kekeluargaan, dengan dihadiri keluarga suami (ayah dan ibu) serta keluarga si istri (ayah dan ibu) serta beberapa saudara atau seorang yang ditunjuk sebagai saksi. Biasanya pihak yang bercerai membawa saksi masing-masing yang mereka percaya untuk meyaksikan jalannya perceraian mereka. Setelah semuanya berkumpul, dibukalah musyawarah keluarga sebagai usaha terakhir sebelum akhirnya memilih jalan bercerai. Masing-masing dari pihak keluarga suami maupun istri sebisa mungkin berusaha mendamaikan dan memberikan nasehatnasehatnya untuk memikirkan kembali keputusan bercerai mereka serta 23
Hasil wawancara dengan Yt, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 12 April 2016. 24 Hasil wawancara dengan Ad, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016. 25 Hasil wawancara dengan Rs, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016.
59
menasehati agar kedua belah pihak (suami dan istri) tetap menjaga hubungan yang baik setelah bercerai. Dengan menghindari permusuhan dan rasa dendam, dari pihak yang merasa kurang puas dengan perceraian yang terjadi. Setelah dinasehati dan keputusan mereka telah bulat untuk bercerai maka suami mengucapkan lafalz talak secara lisan di depan istri, keluarga serta para saksi maka terjadilah perceraian.
3. Data Faktor Yang Melatarbelakangi Masyarakat Desa Kerso Melakukan Perceraian di Luar Pengadilan Agama Talak merupakan perbuatan halal yang dibenci oleh Allah, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada kedua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yag lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian, talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.26 Kenyataan yang terjadi di Desa Kerso bahwa terdapat praktek pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama yang didorong oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat Desa Kerso melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama berdasarkan hasil wawancara dengan para pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso adalah : Ibu Wr menuturkan bahwa : “Saya telah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama sekitar 2 tahun yang lalu, karena proses perceraian di luar Pengadilan Agama lebih cepat, dan tidak berbelit-belit memakan banyak waktu, karena saya sudah ingin cepat-cepat bercerai sebelum mantan suami 26
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, UII Press, Yogyakarta, hlm., 107.
60
saya kembali lagi ke perantauan, sebenarnya saya memiliki niat untuk bercerai di Pengadilan namun karena mantan suami saya menginginkan perceraian secara kekeluargaan saja akhirnya saya melangsungkan perceraian di rumah, meskipun mengetahui kalau bercerai seharusya ke Pengadilan Agama.27 Lain halnya dengan alasan Ibu Wr, Ibu Ytn memilih melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama, beliau menuturkan bahwa : “Saya pisah dengan suami saya sudah berjalan hampir 7 tahun yang lalu karena merasa biaya perceraian di Pengadilan yang mahal sedangkan kebutuhan makan sehari-hari saja masih sulit”.28 Sedangkan Ibu Ad menuturkan bahwa : “Saya telah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama kurang lebih 3 tahun yang lalu karena merasa malu dan tidak ingin perceraiannya menjadi buah bibir masyarakat”.29 Mengenai alasan kenapa Bapak Rs lebih memilih bercerai di rumah daripada di Pengadilan, beliau menuturkan bahwa : “Saya telah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama sekitar 3 tahun yang lalu karena merasa suatu hal yang lumrah sebagai umat Islam lebih mengedepankan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari”.30 Dari hasil wawancara peneliti dengan pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di atas, maka dapat di paparkan faktor yang melatarbelakangi masyarakat Desa Kerso melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama adalah sebagai berikut : 1) Faktor Waktu Waktu persidangan yang begitu lama dan berbelit-belit, memicu masyarakat di Desa Kerso memilih melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ibu Wr, bahwa ia 27
Hasil wawancara dengan Kerso pada tanggal 10 April 2016. 28 Hasil wawancara dengan Kerso pada tanggal 12 April 2016. 29 Hasil wawancara dengan Kerso pada tanggal 7 April 2016. 30 Hasil wawancara dengan Kerso pada tanggal 7 April 2016.
Wr, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Yt, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Ad, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Rs, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa
61
sengaja memilih untuk bercerai di luar Pengadilan Agama dengan pertimbangan perceraian di luar Pengadilan Agama prosesnya lebih cepat, tidak berbelit-belit dan langsung masuk inti tujuan tanpa harus mengulur-ulur waktu. Menurutnya berdasarkan pengetahuan beliau dari tetangganya yang melangsungkan perceraian di Pengadilan Agama menghabiskan waktu hampir 6 bulan lamanya sejak pengajuan gugatan sampai putusan akhir, sedangkan setelah mengungkapkan keinginan bercerai dengan suaminya, suaminya pun menyetujui dengan memilih perceraian secara kekeluargaan saja.31 2) Faktor Ekonomi Selain faktor waktu yang lebih lama, faktor lain yang mempengaruhi masyarakat Desa Kerso melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama adalah faktor ekonomi. Mengingat perceraian di Pengadilan Agama membutuhkan biaya administrasi yang tidak sedikit menurut mereka meskipun ada subsidi khusus bagi mereka yang kurang mampu namun tetap saja pilihan bercerai di luar Pengadilan Agama lebih mereka pilih. Hal ini berdasarkan penuturan dari Ibu Yt yang mengaku keberatan dengan biaya perceraian di Pengadilan Agama sedangkan untuk makan sehari-hari masih kurang dan sering hutang sana-sini.32 3) Faktor Kurangnya Kesadaran Hukum Di Indonesia Aturan perceraian telah diatur dalam UUP No. 1 Tahun 1974 ini serta aturan pelaksanaan lainnya, semisal PP No. 9 Tahun 1975 namun terasa terlalu jauh perbedaannya dengan kesadaran hukum yang ada di tengah masyarakat muslim.33 Khususnya bagi masyarakat di Desa Kerso dalam melakukan perceraian mereka lebih memilih bercerai di luar Pengadilan Agama meskipun sebagian dari
31
Hasil wawancara dengan Wr, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 10 April 2016. 32 Hasil wawancara dengan Yt, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 12 April 2016. 33 Amiur Nuruddin dkk, Op.Cit., hlm. 234.
62
mereka mengaku mengetahui proses perceraian yang seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama bagi mereka yang muslim dan di Pengadilan Negeri bagi mereka yang non muslim. Maka dari penuturan tersebut dapat dikatakan bahwa mereka tidak taat hukum dan kurang sadar hukum yang berlaku di Indonesia karena sebenarnya mereka mengetahui namun memilih tidak mentaatinya, dengan dalih hukum Islam harus lebih diutamakan jika telah ada hukum yang mengaturnya, kecuali jika memang tidak ada hukum yang mengaturnya dalam Islam, oleh karena itu dalam hal ini mereka lebih memilih melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan penuturan dari Bapak Rs, bahwa menjadi hal yang lumrah sebagai umat Islam lebih mengedepankan Hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.34 Sedangkan berdasarkan penuturan Ibu Wr, Beliau mengaku mengetahui bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama akan lebih baik karena dapat diakui keabsahannya secara Hukum Agama maupun Hukum Negara sedangkan pilihannya melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama hanya sah di mata Hukum Agama.35 4) Faktor Masalah Pribadi Perceraian mengakibatkan terputusnya tali pernikahan, meskipun halal namun perceraian tetap merupakan perkara yang sangat dibenci Allah, maka dari itu mereka yang melakukan perceraian berpikir perceraian merupakan masalah pribadi dan menjadi aib yang harus ditutupi. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Ibu Ad, bahwa beliau lebih memilih bercerai di luar Pengadilan Agama karena merasa malu dengan tetangga mengingat usia pernikahannya tidak lagi muda, anak-anaknya telah dewasa dan berumah tangga bahkan telah memiliki beberapa cucu.
34
Hasil wawancara dengan Rs, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016. 35 Hasil wawancara dengan Wr, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 10 April 2016.
63
4. Data Dampak Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Kerso Ada beberapa dampak yang terjadi sebagai suatu akibat dari perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso, berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama maka dapat peneliti sampaikan hasil wawancara sebagai berikut : Setelah bercerai dari suaminya Ibu Wr membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak semata wayangnya yang kini berusia 2 tahun seorang diri, karena setelah perceraian terjadi tak lama kemudian suaminya kembali ke perantauan. Sebenarnya masalah nafkah anak telah dibahas sebelum perceraian, dan sang suami memberi uang 1 juta sebagai uang ganti persalinan dan kebutuhan anak, namun pemberian nafkah tersebut hanya sekali karena setelah perceraian mantan suaminya tersebut tidak pernah pulang, sedangkan pembahasan masalah harta gono gini tidak ada dan tidak dipermasalahkan karena usia pernikahan mereka masih muda36 Lain halnya dengan penuturan Ibu Wr, setelah bercerai dari suaminya Ibu Yt mengaku tidak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya namun hal tersebut tidak menjadi masalah baginya karena ia tau bahwa suaminya tersebut pengangguran. Sedangkan untuk masalah pembagian harta gono gini tidak terlalu dipermasalahkan karena hak rumah ditempati Ibu Yt dengan anak bungsunya yang telah dewasa, sedangkan suaminya tinggal di rumah anak pertamanya37 Setelah bercerai dari suaminya Ibu Ad mengaku dirinya tidak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya karena dua bulan kemudian suaminya menikah lagi dengan seorang janda dan tinggal di rumah istri barunya tersebut. Namun mengenai pembagian harta gono gini Ibu Ad 36
Hasil wawancara dengan Wr, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 10 April 2016. 37 Hasil wawancara dengan Yt, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 12 April 2016.
64
mengaku kecewa dengan keputusan suaminya yang hanya memberikan hak rumah yang telah dibangun bersama, karena tanah tersebut merupakan warisan dari orang tuanya, sedangkan harta bersama lainnya masih atas nama suaminya38 Sedangkan berdasarkan penuturan Bapak Rs setelah beliau mentalak istrinya beliau merasa lega dan puas meskipun dampak dari perceraiannya di luar Pengadilan tersebut membuatnya tidak bisa melangsungkan pernikahan keduanya secara resmi di Kantor Urusan Agama karena tidak ada surat cerai yang sah dari Pengadilan39 Dari hasil wawancara peneliti dengan pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di atas, maka dapat di paparkan bahwa dampak perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso adalah sebagai berikut: 1) Hak nafkah anak kurang terpenuhi Dengan bercerainya kedua orang tuanya hak anak atas kasih sayang dan nafkah dari kedua orang tuanya menjadi berkurang, hal ini sesuai yang diungkapkan Ibu Wr, setelah bercerai dari suaminya ia mengaku bahwa mantan suaminya tersebut memberi nafkah terhadap anaknya hanya sekali dari sejak perceraian sampai sekarang, terlebih setelah perceraian terjadi tak lama kemudian suaminya kembali ke perantauan dan tidak ada kabar lagi, Ia menyadari perceraian yang ia lakukan di luar Pengadilan Agama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum maka ia tidak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk menuntut hak nafkah atas anaknya.40
38
Hasil wawancara dengan Ad, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016. 39 Hasil wawancara dengan Rs, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016. 40 Hasil wawancara dengan Wr, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 10 April 2016.
65
2) Nafkah iddah istri terabaikan Setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan, si istri tidak mendapatkan haknya secara penuh, seperti nafkah selama masa iddah serta sandang pangan. Hal ini sesuai yang dialami Ibu Wr, dan Ibu Ad. Ibu Ad mengaku bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah iddah sama sekali hanya saja suaminya memberikan rumah yang biasa ditempati bersama itupun tanahnya merupakan tanah warisan dari orang tua Ibu Ad, sedangkan harta bersama yang lain berupa dua buah motor dan satu mobil masih menjadi hak milik suaminya.41 3) Adanya kesewenangan suami terhadap istri Adanya kesewenangan suami terhadap istri karena perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama sang suamilah yang memegang hak yang lebih kuat dari pada istri mengingat dari segi Agama suamilah yang berhak memutuskan ikrar talaq atas istrinya. Selain itu dalam pembahasan harta gono gini sering kali kurang menguntungkan bagi istri, suami dengan sewenangnya membagikan harta gono gini sesuai keinginannya karena memang perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama tidak ada aturan Hukum yang kuat dalam mengaturnya. Sedangkan mengenai pembagian harta gono gini Ibu Ad mengaku kecewa dengan keputusan suaminya yang hanya memberikan hak rumah yang telah dibangun bersama, karena tanah tersebut merupakan warisan dari orang tuanya.42 4) Tidak ada kepastian hukum Perceraian di luar Pengadilan agama memiliki dampak beragam setelahnya, karena tidak adanya kepastian hukum yang mengaturnya,
jadi
status
keabsahan
perceraiannya
masih
dipertanyakan hukumnya. Terlebih bila salah satu pihak berniat menikah lagi maka hal tersebut menjadi kendala besar tentunya karena 41
Hasil wawancara dengan Ad, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016. 42 Hasil wawancara dengan Ad, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016.
66
secara Hukum Negara dianggap masih terikat dengan pernikahan sebelumnya. Hal tersebut seperti yang dialami Bapak Rs. Bapak Rs mengaku karena minimnya pengetahuan hukum, setelah bercerai dari istri pertamanya, ia berniat menikah lagi dengan wanita lain di Kantor Urusan Agama sebagaimana pernikahan sebelumnya namun hal tersebut ternyata ditolak pihak KUA sampai ada bukti sah surat cerai dari Pengadilan, akhirnya ia menikah di bawah tangan.43 5. Data Pandangan Ulama’ dan Tokoh Masyarakat Tentang Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Kerso Dengan adanya fenomena perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Kerso maka perlu sekali untuk menggali tanggapan dan pandangan ulama‟ atau tokoh masyarakat setempat atas perceraian tersebut. Dari beberapa pendapat para ulama‟ tentang perceraian yang pada prinsipnya semuanya membolehkan perceraian dengan berbagai ketentuan yang bervariasi. Ada yang membolehkan perceraian dengan syarat dan alasan yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan persyaratan yang ketat, namun mereka sepakat menegaskan bahwa dibolehkannya perceraian hanya dalam keadaan darurat saja sebagai jalan terakhir jika dirasa tidak menemukan titik temu dari suatu permasalahan. Berikut ini akan penulis paparkan beberapa tanggapan dan pandangan ulama‟ atau tokoh masyarakat setempat mengenai perceraian serta perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Kerso antara lain sebagai berikut : Menurut Bapak Baidlowi selaku modin Desa Kerso beliau berpendapat bahwa : “Kalau masyarakat yang tau dan taat kepada Agama dan hukum, seseorang itu harus menyelesaikannya perceraiannya dengan baik dan bijak, kita menikah dengan sah, legal, baik-baik dan berdasarkan landasan hukum yang baik dalam perceraianpun kita 43
Hasil wawancara dengan Rs, Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Kerso pada tanggal 7 April 2016.
67
harus selesaikan dengan baik-baik, bijak sah dan legal pula, untuk kebaikan masa depan suami istri ke depannya. Jikalau dalam kenyataannya masih ada yang bercerai di luar Pengadilan Agama secara syariat telah sah dan gugur pernikahannya tapi secara hukum positif negara belum sah bercerai dan harus mengurusnya ke Pengadilan Agama setempat agar mendapatkan akta cerai yang sah. Supaya mantan istri dan suami apabila mau menikah lagi dengan suami atau istri baru tidak ada kendala dikemudian hari”.44 Hal senada juga dikemukakan oleh Bapak Kyai Badaruddin, selaku tokoh ulama‟ yang disegani di Desa Kerso, beliau berpendapat bahwa : “Hukum perceraian itu sendiri dalam Islam merupakan perbuatan halal yang dibenci Allah, artinya tetap boleh dilakukan dalam kondisi tertentu dengan alasan-alasan yang kuat. Sedangkan menanggapi fenomena perceraian di luar Peradilan Agama yang terjadi di Desa Kerso jika dilihat dari sisi hukum Islam perceraian tersebut tetap sah jika syarat dan alasan perceraian tersebut terpenuhi namun jika dilihat dari sisi hukum negara perceraian tersebut tidak mempunyai cukup bukti dan tetap sah sebagai suami istri, dan ikrar talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama tidak mengakibatkan jatuhnya talak menurut pandangan hukum negara, karena di Indonesia telah ditetapkan aturan perceraian bahwa perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan Agama”.45 Selanjutnya Bapak H. Asnawi, selaku sesepuh desa Kerso, beliau beranggapan bahwa : “Talaq dalam Islam merupakan perbuatan yang sangat jelek, buruk dan merupakan perkara mubah yang sangat dibenci Allah dimana sebisa mungkin dijauhi karena dapat membuat „Arsy Allah bergoncang, jika tanpa alasan yang kuat sebisa mungkin lebih baik dihindari namun dengan beberapa alasan perceraian tetap diperbolehkan jika dirasa sudah tidak ada solusi lain yang lebih baik selain perceraian. Sedangkan mengenai hukum talaq di luar Pengadilan Agama hanya sah dalam hukum Agama sedangkan secara hukum Negara ya masih sah sebagai suami istri”.46
44
Wawancara dengan Bapak Baidlowi (Modin Desa Kerso) pada tanggal 10 Maret 2016 Wawancara dengan Bapak Kyai Badaruddin (Ulama‟ Desa Kerso) pada tanggal 10 Maret 2016. 46 Wawancara dengan Bapak H. Asnawi, (Sesepuh Desa Kerso) pada tanggal 14 Maret 2016. 45
68
Lain halnya dengan Bapak Kyai H. Busro selaku ulama‟ yang disegani di desa Kerso beliau beranggapan bahwa : “Hukum agama jauh lebih dulu ada sebelum hukum yang dibuat pemerintah, mengenai perceraian isinya tetap sama cuma beda tata caranya saja, artinya jika sudah jatuh talak suami kepada istri maka berarti berlakulah hukum talak tersebut meskipun tidak di bawa ke Pengadilan. Pengadilan Agama hanyalah wadah atau tempat saja dalam proses perceraian, intinya jika hukum Agama telah ada maka harus lebih didahulukan dibanding hukum negara, dan sah tidaknya sebuah perceraian itu dasar hukumnya diambil dari hukum agama. Namun kembali lagi kepada keyakinan masingmasing pribadi untuk melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama maupun melalui Pengadilan Agama”.47 B. Pembahasan 1. Perceraian di Luar Pengadilan Agama Perceraian atau talaq yang sah menurut pendapat Ulama Syi‟ah Imamiyah adalah talak yang dijatuhkan ketika ada saksi. Dalam Kitab Kifayatul Akhyar syarat talak adalah lafaz dari suami yang dewasa, tidak gila, tidak tidur, dan tidak dipaksa.48 Sedangkan
Sayyid as Sabiq,
menuturkan bahwa : “Mempersaksikan talak hukumnya wajib dan merupakan syarat sahnya, sebagaimana Ali r.a pernah berkata kepada orang yang pernah bertanya kepadanya tentang talak. Katanya: apakah engkau persaksikan kepada dua orang laki-laki yang adil sebagaimana perintah Allah dalam al Qur‟an?, jawabnya: tidak. Lalu Ali berkata: pulanglah, talakmu itu bukan talak yang sah”.49 Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa penjatuhan thalak dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : a. Thalak dengan lisan, thalak dengan mempergunakan ucapan kalimat. Thalak dengan ucapan ini dibagi dua bagian yaitu : dengan ucapan yang jelas (sharih) dan dengan ucapan kalimat sindiran (kinayah) b. Menjatuhkan thalak dengan surat (tulisan) c. Menjatuhkan thalak dengan isyarat, isyarat bagi orang bisu merupakan sarana atau alat yang dipergunakan untuk menyampaikan maksud
2016.
47
Wawancara dengan Bapak K.H. Busro, (Ulama‟ Desa Kerso) pada tanggal 14 Maret
48
Taqyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul-Akhyar, hlm., 52-65. Sayyid Sabiq, Op.Cit., hlm., 220.
49
69
hatinya. Jadi sama nilainya dengan kata-kata yang diucapkan dalam penjatuhan thalak, bagi orang bisu memberikan isyarat berupa tindakan yang dipahami bahwa yang dimaksudkannya adalah mengakhiri hubungan suami istri d. Menjatuhkan thalak dapat juga dilakukan dengan mengirim utusan untuk menyampaikan kepada istri bahwa dia dithalak oleh suaminya, thalak seperti ini biasanya dilakukan oleh suami yang berada jauh dari istrinya.50 Tata cara thalak tersebut dapat ditempuh oleh suami jika berkehendak menjatuhkan thalak, namun dalam menjatuhkan thalak oleh suami harus mengikuti ketentuan-ketentuan penjatuhan thalak agar terhindar dari kemadharatan, karena pada dasarnya Islam lebih menginginkan langsungnya suatu perkawinan. Adapun batasan-batasan thalak tersebut, menurut Wahbah Zuhaili dengan mengutip pandangan ulama‟ ada (3) tiga macam yaitu, pertama; thalak harus didasarkan atas kebutuhan yang bisa diterima syara‟ dan urf. Kedua; thalak harus dilakukan dalam keadaan istri suci dan tidak di jima‟ (dicampuri), ketiga; thalak dilakukan bertahap (berpisah-pisah) dan berupa thalak satu. Ketiga batasan thalak tersebut dapat diperjelas sebagai berikut: Thalak harus didasarkan pada kebutuhan yang diperkenankan oleh syara‟, ulama‟ membuat kaidah “thalak pada dasarnya adalah dilarang, berbahaya dan menyalahi perilaku utama, kesimpulan ini dikemukakan jumhur ulama‟ selain Hanafiah. Hanafiah berpendapat bahwa thalak pada asalnya adalah boleh, karena ayat-ayat yang menerangkan thalak terutama Q.S. 2:226, 65: 2 memakai redaksi kata mutlak (tidak diikuti oleh batasan tertentu), juga adanya bukti sejarah tentang kasus-kasus perceraian oleh para sahabat dan Nabi. Pendapat jumhur di atas oleh Wahbah Zuhaili dinyatakan lebih rajih karena lebih sesuai dengan maqashid Al-Syari‟ah (tujuan hukum) untuk menghindari perbuatan melewati batas. Kendati demikian ulama‟ sepakat bahwa thalak tanpa adanya hajat jatuh dan pelakunya dinyatakan berdosa.51 50 51
Ibid., hlm., 27-33. Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hlm., 399-400.
70
Dalam kitab-kitab klasik, yang ditulis oleh para imam madzhab dan pengikutnya tidak ditemukan pendapat yang menyatakan bahwa ikrar talak harus diucapkan di depan pengadilan, kecuali kitab-kitab yang ditulis oleh ulama kontemporer. Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'i sebagai berikut:
عن أبي ىريرة رضي هللا عنو أن رسٌل هللا صلى هللا عليو ًسلن قال ثالث جدىن جد ًىسلين جد النكاح ًالطالق ًالرجعة (رًاه األربعة إال النسائي )ًصححو الحاكن Artinya : “Dari Abu Huraiarah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-sungguh dan main-main menjadi sungguhsungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk” (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh Hakim).52 Keadaan
seperti
ini
dipandang
dari
sudut
pemeliharaan
kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri). Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: اليكر تغيراالحكام بتغيراألزهان Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.53 52
Muhammad Ibn Isma‟il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Terj. Dahlan, Bandung, t.th, hlm., 175. 53
Qawaid al-Fiqh, hlm., 113.
71
Sedangkan menurut fiqh kontemporer perceraian harus melalui Pengadilan Agama karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo UU Nomor 3 Tahun 2006 Jo UU Nomor 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa ikrar talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya harus ada alasan-alasan, melalui proses permohonan cerai talak, diucapkan oleh suami di hadapan majlis hakim dan dengan dihadiri para saksi. Sebagian masyarakat banyak yang mengikuti dan menganggap perceraian di luar persidangan adalah sah karena mereka berpegang kepada kitab klasik atau mengikuti imam mazhab. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 ( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1975 dalam pengertian umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi talak dapat dilihat pada pasal 117 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai berikut : “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131” Bunyi pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut : “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu“ Pasal 130 KHI berbunyi sebagai berikut : “Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi “. Sedangkan bunyi pasal 131 KHI berbunyi : “Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan
72
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak”. Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat diterima oleh sebagian umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yang menyatakan bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa aturan perkawinan yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa setiap perceraian baik cerai talak (diajukan oleh pihak suami) maupun cerai gugat (diajukan oleh pihak isteri) harus dilakukan di depan sidang Pengadilan dengan adanya alasan yang jelas. Suatu perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan, sama halnya dengan suatu
perkawinan
yang dilakukan dengan tidak
mencatatkannya. Ia tidak diakui oleh hukum dan oleh karenanya tidak dilindungi hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum (no legal force). Oleh karena itu hukum menganggapnya tidak pernah ada (never existed). Suatu perceraian yang dilakukan di luar pengadilan akan menimbulkan kesukaran bagi si suami maupun si istri. Bagi sebagian umat Islam Indonesia prosedur yang mengatur mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan fikih. Aturan fikih mengizinkan perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan. Perbedaan prosedur talak yang terdapat dalam fikih dan KHI ini menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, ketentuan tersebut sulit diterima oleh sebagian umat Islam Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih adanya daerah yang belum seluruhnya mengindahkan
73
peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini, ada sebagian masyarakat yang masih tunduk hanya kepada hukum agama saja serta masih ada masyarakat yang karena sebab-sebab tertentu terpaksa tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalan yang muncul adalah bahwa masih banyak terjadi perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan, hal ini seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Kerso yang notabennya adalah masyarakat yang masih awam serta memiliki ketaatan yang tinggi pada aturan yang dibuat agama. Sedangkan dalam dunia islam seperti halnya di Mesir, pada umumnya muslim Mesir menganut madzhab Syafii dan Hanafi. Maka tidak mengherankan apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya sebelum terjadi pembaruan. Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan Perundang-Undangan Perkawinan. Mesir juga lebih sering dalam melakukan pembaruan ini. Namun demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan semua pihak. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1929 alasan untuk menuntut talak diperluas. Dalam Undang-undang ini ditetapkan dua hal yang dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu: a) b) c) d)
Apabila suami tidak mampu untuk memberikan nafkah; Apabila suami mempunyai penyakit menular atau membahayakan; Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami; Apabila suami pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama. Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang hukum keluarga,
khususnya mengenai cerai dan talak. Sama dengan Indonesia, tujuan pembaruan hukum keluarga di Mesir juga untuk meningkatkan status wanita. Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini maka suami tidak dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap istri. Karena suami harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan talaknya. Selain itu talak harus melalui proses
74
sertifikasi. Berkaitan dengan gugat cerai, istri juga diberi hak yang lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan khulu. Begitu juga apabila suami pergi meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas, suami mengidap penyakit atau tidak mampu memberikan nafkah maka ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. UU Mesir No. 25 tahu 1920 mengenal dua reformasi dalam talak atau cerai, yaitu: Hak pengadilan untuk menjatuhkan talak dengan alasan gagal memberikan nafkah, dan Talak jatuh karena alasan adanya penyakit yang membahayakan. Sementara UU No. 25 tahun 1929 mempunyai reformasi hukum lain, bahwa pengadilan berhak menjatuhkan talak karena: perlakuan yang tidak baik dari suami dan pergi dalam waktu yang lama. Jadi UU tahun 1920 memberdayakan pengadilan dan memperluas difinisi penyakit membahayakan dalam perceraian.
2. Analisis Pelaksanaan Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Kerso Dalam pernikahan perceraian merupakan salah satu hal yang tidak disenangi oleh istri Ini disebabkan bahwa selama ini perceraian sering dipergunakan laki-laki (suami) untuk semena-mena terhadap istrinya. Padahal perceraian menurut Islam, seperti yang telah kita ketahui, merupakan pilihan terakhir yang hanya dibuka apabila terjadi keadaan darurat. Penggunaan hak cerai yang serampangan tersebut bukan saja merugikan kedua belah pihak, tetapi juga terutama anak, keluarga dan juga masyarakat. Banyaknya anak yang kehidupan orang tuanya berantakan, tumbuh menjadi anak-anak nakal dan masalah-masalah sosial lainnya. Untuk
mengatasi
masalah
ini,
undang-undang
berusaha
mengatasinya dengan memberikan aturan, baik tata cara, alasan serta usaha lainnya. Usaha tersebut pada hakikatnya berupaya menekan intensitas perceraian dan segala eksesnya. Perlulah diingat bahwa tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Maka hal ini
75
sejatinya menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. Tata cara perceraian itu sendiri diatur melalui Pasal 14, 15, 16, 17, dan 18 Peraturan Pemerintah Tahun 1975. Yang pada intinya sebagai berikut: Usaha yang bersangkutan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan, penelitian pihak Pengadilan terhadap permohonan, upaya mendamaikan kedua belah pihak oleh pihak Pengadilan setiap kali sidang dan pihak Pengadilan menyaksikan ikrar talak. Selanjutnya, keterangan tersebut diberikan kepada yang bersangkutan dan lembaga terkait.54 Diskursus tentang perceraian menurut Perundang-undangan di Indonesia sebenarnya masih menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya peran yang dimiliki lembaga peradilan untuk menentukan putus tidaknya sebuah perkawinan. Sebagaimana yang telah diungkap di awal, baik UUP No. 1 Tahun 1974, UUPA No. 7 Tahun 1989, PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI semuanya menyatakan bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak" Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan fikih mengizinkan atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan. Di dalam ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1974, antara lain diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 dan dalam PP No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, perceraian di atur dengan cara cerai gugat dan cerai talak, perceraian dapat terjadi atas dasar cara54
Rahmat Hakim, Op.Cit., hlm. 166-167.
76
cara tersebut, yang pelaksanaannya diatur dalam perkawinan menurut Agama Islam akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan, di tempat tinggalnya yang bersih pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.55 Adapun tata cara perceraian menurut Undang-undang dapat dibedakan ke dalam 2 macam yaitu : Cerai talaq dan cerai gugat. Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan: “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat permohonan itu diajukan. “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasanalasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”. Kutipan di atas menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan adalah wilayah tempat tinggal pemohon. Sementara
Undang-undang
Peradilan
Agama,
mengubah
(atau
mempengaruhinya) bahwa tempat mengajukan permohonan adalah pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman termohon, atau dalam bahasa kompilasi tempat tinggal istri. Aturan perceraian yang tertera dalam UUP No. 1 Tahun 1974 ini serta aturan pelaksanaan lainnya, semisal PP No. 9 Tahun 1975 dirasakan terlalu jauh perbedaannya dengan kesadaran hukum yang ada di tengah masyarakat muslim,56 khususnya perceraian yang terjadi di Desa Kerso.
55 56
Shoedharyo Soimin, Op.Cit., hlm. 65. Amiur Nuruddin dkk, Op.Cit., hlm. 234-235.
77
Setelah wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, peneliti mendapatkan keterangan bahwa mereka melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama dengan cara kekeluargaan, dengan dihadiri keluarga suami (ayah dan ibu) serta keluarga si istri (ayah dan ibu) serta beberapa saudara, anak-anak mereka, menantu, tetangga atau seorang yang ditunjuk sebagai saksi. Biasanya pihak yang bercerai membawa saksi masingmasing yang mereka percaya untuk meyaksikan jalannya perceraian mereka. Setelah semuanya berkumpul, dibukalah musyawarah keluarga sebagai usaha terakhir sebelum akhirnya memilih jalan bercerai. Masingmasing dari pihak keluarga suami maupun istri sebisa mungkin berusaha mendamaikan dan memberikan nasehat-nasehatnya untuk memikirkan kembali keputusan bercerai mereka serta menasehati agar kedua belah pihak (suami dan istri) tetap menjaga hubungan yang baik setelah bercerai. Dengan menghindari permusuhan dan rasa dendam, dari pihak yang merasa kurang puas dengan perceraian yang terjadi. Setelah dinasehati dan keputusan mereka telah bulat untuk bercerai maka suami mengucapkan lafalz talak secara lisan di depan istri, keluarga serta para saksi maka terjadilah perceraian.57 Tata cara pelaksanaan perceraian yang mereka lakukan telah sesuai dengan aturan perceraian dalam hukum Islam karena sebelum proses perceraian berlangsung mereka telah menghadirkan setidaknya dua orang saksi yang sekaligus ditunjuk sebagai hakam yang berusaha mendamaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 35 berikut ini:
57
Kerso.
Hasil wawancara dengan Para Pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa
78
Artinya : “Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanaya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lakilaki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. ( Q.S. An-Nisa: 35)”.58 Keharusan melakukan di depan sidang Pengadilan adalah meliputi cerai talak (talak dari pihak suami) maupun cerai gugat (cerai dari pihak istri) sehingga jika dipahami secara mafhum mukhalafah dari kedua pasal tersebut. Maka perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agamadapat dikatakan sebagai bentuk perceraian ilegal, dengan demikian terlepas apakah perceraian di luar Pengadilan Agama sah atau tidak sah hukumnya menurut fiqh Islam yang jelas bntuk perceraian seperti ini sebagai konsekwensinya adalah tidak akan mendapat pengakuan dan perlindungan oleh hukum baik terhadap perceraiannya itu sendiri maupun segala akibatakibatnya karena dilakukan tidak menurut hukum yang berlaku, bahkan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Senada dengan hal tersebut, A. Gani Abdullah menyatakan : “Dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dikatakan sebagai perbuatan hukum dan oleh karena itu maka berakibat hukum (yakni akibat dari tindakan itu mendapat pengakuan perlindungan hukum). Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum, tidak dikatakan sebagai perbuatan hukum meskipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan atau dilindungi oleh hukum”.59 Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan masyarakat Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 yakni bahwa perceraian yang dianggap sah dalam KHI adalah perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan Agama sedangkan perceraian yang 58
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 84. A Gani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Nikah di Bawah Tangan, Mimbar Hukum No. 23, Jakarta, 1995, hlm., 47-48. 59
79
dilakukan di Desa Kerso dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Dengan demikian, praktek perceraian masyarakat Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dapat dinyatakan tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia karena tidak berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan KHI. 3. Analisis Faktor Yang Melatarbelakangi Masyarakat Desa Kerso Melakukan Perceraian di Luar Pengadilan Agama Menyikapi masalah yang terjadi di Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara tentang perceraian di luar Pengadilan Agama maka perlu sekali untuk menggali mengenai alasan-alasan atau faktor yang melatarbelakangi masyarakat melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama, faktor-faktor tersebut diantaranya : 1) Faktor Yuridis (Prosedur berperkara di Pengadilan Agama) Waktu persidangan yang begitu lama dan berbelit-belit, memicu masyarakat di Desa Kerso memilih melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ibu Wr, bahwa ia sengaja memilih untuk bercerai di luar Pengadilan Agama dengan pertimbangan perceraian di luar Pengadilan Agama prosesnya lebih cepat, tidak berbelit-belit dan langsung masuk inti tujuan tanpa harus mengulur-ulur waktu. Menurutnya berdasarkan pengetahuan beliau dari tetangganya yang melangsungkan perceraian di Pengadilan Agama menghabiskan waktu hampir 6 bulan lamanya sejak pengajuan gugatan sampai putusan akhir. Akhirnya setelah mengungkapkan keinginan bercerai dengan suaminya, suaminya pun menyetujui dengan memilih perceraian secara kekeluargaan saja. Proses berperkara di Pengadilan mulai dari tahap memasukkan surat gugatan/permohonan hingga selesai mendapatkan putusan hakim tentu ada prosedur-prosedur tertentu yang harus ditempuh yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prosedur
80
berperkara di Pengadilan dapat dibagi menjadi dua tahap. Pertama: adalah tahap yang berkenaan dengan administrasi perkara, proses ini ditempuh sejak dimasukkannya surat gugatan/permohonan (didaftar dalam register) hingga ditetapkan hari dan tanggal persidangan. Kedua: adalah tahap dimulainya proses perkara persidangan sampai dijatuhkannya putusan Hakim bahkan sampai eksekusi (pelaksanaan putusan) dan eksekusi dalam perkara talak yaitu berupa sidang ikrar talak oleh suami terhadap istri di depan persidangan. Tahap kedua ini dapat disebut tahap beracara di persidangan diatur dengan ketentuan hukum acara yang berlaku yang harus dijalankan oleh Hakim. Prosedur berperkara dari tahap pertama hingga tahap kedua tentu membutuhkan biaya dan waktu yang cukup terkadang sampai berbulan-bulan bahkan bertahun bila sampai tingkat banding/kasasi. Karena panjangnya prosedur berperkara tersebut sehingga membuat sebagian masyarakat Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara enggan melakukan perceraian di Pengadilan Agama. Akibatnya mereka lebih suka menempuh jalan yang relatif lebih mudah tidak banyak memakan waktu dan biaya ringan yaitu dengan memilih perceraian di luar Pengadilan Agama. 2) Faktor Ekonomi Selain faktor waktu yang lebih lama, faktor lain yang mempengaruhi masyarakat Desa Kerso melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama adalah faktor ekonomi. Mengingat perceraian di Pengadilan Agama membutuhkan biaya administrasi yang tidak sedikit menurut mereka meskipun ada subsidi khusus bagi mereka yang kurang mampu namun tetap saja pilihan bercerai di luar Pengadilan Agama lebih mereka pilih. Hal ini berdasarkan penuturan dari Ibu Yt yang mengaku keberatan dengan biaya perceraian di Pengadilan Agama sedangkan untuk makan sehari-hari masih kurang dan sering hutang sana-sini.
81
Sebagaiman diketahui bahwa dalam berperkara di Pengadilan harus dikenakan biaya perkara, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 145 ayat (4) R.Bg. dan pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970, yang berbunyi “tidak ada sengketa tidak ada perkara dan tidak ada perkara tanpa adanya biaya”, suatu perkara hanya bisa didaftarkan setelah dibayar panjar biaya perkara oleh yang berkepentingan, dalam bidang
perkawinan
biaya
perkara
dibebankan
kepada
penggugat/pemohon (pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, biaya proses dan biaya materai. Adapun biaya perkara di Pengadilan Agama sekarang ini berkisar antara Rp. 150.000,- s/d Rp. 250.000,- bahkan bisa lebih tergantung radius pemanggilan dan lamanya persidangan melihat kondisi perkara (kasus) itu sendiri. 3) Faktor Sosiologis berupa Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Faktor pemahaman/persepsi masyarakat terhadap hukum, baik terhadap hukum positif maupun hukum Islam itu sangat berpengaruh pada patuh tidaknya masyarakat terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku (kesadaran hukum). Sebagian
masyarakat
Desa
Kerso
Kecamatan
Kedung
Kabupaten Jepara beranggapan bahwa antara hukum positif dengan hukum Islam masih adanya pembedaan yang cukup tajam. Hukum positif dipandang sebagai hukum negara, hukum yang bersifat umum, sedangkan hukum Islam adalah hukum yang berada dalam kitab-kitab fiqih sebagai hukum yang harus ditaati secara mutlak. Jadi ada semacam anggapan bahwa hukum positif dalam hal ini Undangundang No. 1 Tahun 1974 adalah hukum yang bersumber bukan dari nilai-nilai hukum Islam. Meskipun diakui bahwa hukum Islam atau ajaran Islam adalah menjadi salah satu sumber material pembuatan hukum positif di Indonesia. Sementara itu di sisi lain, hukum Islam yang ada dalam kitab fiqih diyakini sebagai hukum yang final, mutlak yang harus ditaati secara ketat. Kecenderungan masyarakat untuk
82
lebih mengamalkan/mempraktekkan materi hukum Islam yang terdapat dalam hukum fiqih Islam daripada mempraktekkan hukum positif, dalam hal ini Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur berkenaan dengan masalah perceraian. Sebagaian
masyarakat
Desa
Kerso
dalam
melakukan
perceraian mereka lebih memilih bercerai di luar Pengadilan Agama meskipun sebagian dari mereka mengaku mengetahui proses perceraian yang seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama bagi mereka yang muslim dan di Pengadilan Negeri bagi mereka yang non muslim. Maka dari penuturan tersebut dapat dikatakan bahwa mereka tidak taat hukum dan kurang sadar hukum yang berlaku di Indonesia karena sebenarnya mereka mengetahui namun memilih tidak mentaatinya, dengan dalih hukum Islam harus lebih diutamakan jika telah ada hukum yang mengaturnya, kecuali jika memang tidak ada hukum yang mengaturnya dalam Islam, oleh karena itu dalam hal ini mereka lebih memilih melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan penuturan dari Bapak Rs, bahwa me njadi hal yang lumrah sebagai umat Islam lebih mengedepankan Hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan berdasarkan penuturan Ibu Wr. Beliau mengaku mengetahui bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama akan lebih baik karena dapat diakui keabsahannya secara hukum Agama maupun hukum Negara
sedangkan
pilihannya
melakukan
perceraian
di
luar
Pengadilan Agama hanya sah di mata hukum Agama. 4) Faktor Budaya Masyarakat Sebagaimana dimaklumi bahwa budaya masyarakat dalam masalah keluarga yang berhubungan masalah nikah, talak, ruju‟ adalah masih dipandang sebagai masalah pribadi, masalah intern keluarga, mereka merasa malu jika permasalahan keluarga tersebut diketahui oleh orang lain atau orang banyak. Apabila terjadi perselisihan
dalam
rumah
tangga,
maka
lebih
cenderung
83
merahasiakannya, jangankan di bawa ke Pengadilan. Padahal masalah nikah, talak, ruju‟ adalah masalah antar individu, keluarga, masalah anak-anak, bahkan masalah antar kampung/desa jika suami istri yang bermasalah tersebut berasal dari kampung/desa yang berlainan. Bahkan bisa jadi juga masalah keluarga tersebut menjalar menjadi masalah negara, dapat dibayangkan bagaimana tidak tertibnya jika masalah tersebut tidak diatur oleh negara, negara perlu mengaturnya karena hal tersebut berkenaan dengan masalah kependudukan dan masalah kependudukan adalah yang sangat mendasar bagi sebuah negara dengan berbagai kebijakan melalui peraturan Perundangundangan agar tercapai suatu ketertiban dan ketentraman sebuah keluarga. Oleh karena itu menurut hemat penulis budaya masyarakat seperti tersebut di atas juga bisa mempengaruhi terhadap terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Kerso, yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi atau hanya diketahui oleh beberapa saksi yang mereka percayai mengingat hal tersebut di perbolehkan dalam hukum Islam.
4. Analisis Dampak Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Kerso Yang paling mendasar sebagai dampak dari talak di luar Pengadilan adalah tidak adanya kepastian hukum untuk perceraian tersebut, maka hal itu akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari, mengingat tidak ada bukti yang kuat sehingga perceraian tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan dalam hukum negara masih dianggap sah sebagai suami istri dan tidak akan mendapatkan hak apapun bagi suami istri yang melakukan perceraian tersebut. Sehingga, dari ketiadaan hukum secara pasti itulah akan berakibat kepada : 1) Hak nafkah anak kurang terpenuhi
84
Dengan bercerainya kedua orang tuanya hak anak atas kasih sayang dan nafkah dari kedua orang tuanya menjadi berkurang, hal ini sesuai yang diungkapkan Ibu Wr, setelah bercerai dari suaminya ia mengaku bahwa mantan suaminya tersebut memberi nafkah terhadap anaknya hanya sekali dari sejak perceraian sampai sekarang, terlebih setelah perceraian terjadi tak lama kemudian suaminya kembali ke perantauan dan tidak ada kabar lagi. Ibu Wr menyadari perceraian yang ia lakukan di luar Pengadilan Agama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum maka ia tidak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk menuntut hak nafkah atas anaknya. Perceraian yang terjadi tidak hanya memberikan dampak kepada suami istri namun juga kepada anak, dalam hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Wr bahwa ia mengaku khawatir dengan kondisi kejiwaan anaknya secara psikis karena sejak lahir hingga berusia dua tahun tidak mendapatkan kasih sayang dari sosok ayah, maupun lelaki karena ia tinggal serumah dengan ibu dan adik perempuannya sementara ayahnya merantau, anaknya tumbuh menjadi anak yang pendiam dan mudah takut dengan orang yang tidak biasa ia kenal terlebih jika dengan orang laki-laki, ia terlihat ketakutan bahkan sampai menangis jika dipaksa diajak. Jadi sudah seharusya orang tua lebih bijak sebelum memutuskan untuk bercerai mengingat dampak yang ditimbulkan cukup banyak terlebih kepada anak dan jika perceraian terlanjur terjadi maka sebagai orang tua meskipun hubungan suami istri telah putus namun demi anak mereka harus tetap memberikan hak-hak anak seperti biaya kehidupan, kasih sayang, serta dalam hal mendidik anak. Sebagaimana dalam Pasal 41 Undang-undang perkawinan, bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a) Orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi putusannya.
85
b) Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak; bilamana bapak dalam kenyataannya tak dapat memenuhi kewajiban tersebut; pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya-biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas meskipun perkawinan telah bubar namun ikatan darah antara orang tua dan anak tetap terikat, hal ini artinya ayah dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka, semata-mata untuk kepentingan anak. 2) Nafkah iddah istri terabaikan Setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan, si istri tidak mendapatkan haknya secara penuh, seperti nafkah selama masa iddah serta sandang pangan. Hal ini sesuai yang dialami Ibu Wr, dan Ibu Ad. Ibu Ad mengaku bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah iddah sama sekali hanya saja suaminya memberikan rumah yang biasa ditempati bersama itupun tanahnya merupakan tanah warisan dari orang tua Ibu Ad, sedangkan harta bersama lainnya masih atas nama suaminya. Dengan putusnya perkawinan, maka semua akibat perkawinan, yaitu semua hak dan kewajiban selama perkawinan, menjadi hapus sejak saat itu. Bekas istri memperoleh kembali status sebagai wanita yang tidak kawin. Maka bagi pasangan yang telah bercerai menjadi haram bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri. Selain itu mantan suami berkewajiban memberi mut‟ah kepada istri yang ditalak yakni suatu yang menggembirakan sesuai dengan kedudukan dan kemampuan suami. Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah ini secara mendalam yang dimuat dalam Pasal 149, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:60
60
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit., hlm., 44.
86
a) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. b) Memberi nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil. c) Melunasi mahar yang masih berhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul. d) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Perceraian di luar Pengadilan Agama yang mereka lakukan cenderung merugikan pihak istri, karena dalam kenyataannya setelah bercerai Ibu Wr dan Ibu Ad mengaku tidak bisa menuntut suaminya untuk memberikan nafkah iddah karena tidak adanya Hukum yang kuat yang mengaturnya. 3) Tidak ada kepastian hukum Perceraian di luar Pengadilan agama memiliki dampak beragam setelahnya, karena tidak adanya kepastian hukum yang mengaturnya,
jadi
status
keabsahan
perceraiannya
masih
dipertanyakan hukumnya. Terlebih bila salah satu pihak berniat menikah lagi maka hal tersebut menjadi kendala besar tentunya karena secara Hukum Negara dianggap masih terikat dengan pernikahan sebelumnya. Hal tersebut seperti yang dialami Bapak Rs. Bapak Rs mengaku karena minimnya pengetahuan hukum, setelah bercerai dari istri pertamanya, Bapak Rs berniat menikah lagi dengan wanita lain di Kantor Urusan Agama sebagaimana pernikahan sebelumnya namun hal tersebut ternyata ditolak pihak KUA sampai ada bukti sah surat cerai dari Pengadilan, akhirnya ia menikah di bawah tangan. Tentunya hal ini akan mengakibatkan ketidakjelasan status suami istri dan jika tidak segera diurus secara Administratif Negara dikhawatirkan akan menimbulkan masalah tersendiri dikemudian hari, mengingat seorang istri yang telah di cerai suaminya di luar Pengadilan Agama tidak mempunyai bukti yang kuat untuk menunjukkan ke calon suaminya yang baru jika dia telah di cerai suaminya yang lama. Tentunya hal ini
87
akan menjadi problem tersendiri dikemudian hari mengingat dalam hukum negara si istri masih berstatus istri yang sah dari mantan suaminya.
Jadi
untuk
mempertegas
statusnya
si
istri
harus
mendaftarkan kembali perceraiannya di Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan akta cerai yang sah. 5. Analisis Tanggapan Ulama’ dan Tokoh Masyarakat Terhadap Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Kerso Menyikapi masalah yang terjadi di Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara tentang perceraian di luar Pengadilan Agama maka perlu sekali untuk menggali mengenai hukum perceraian itu sendiri diperbolehkan apa tidak, sehingga hukum perceraian di luar Pengadilan Agama dapat diketahui dengan jelas. Hukum asal talak, para ulama berbeda pendapat. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa talak itu terlarang, kecuali bila disertai alasan yang benar. Talak itu dekat dengan kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat Allah, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat Allah dan kufur terhadap nikmat Allah adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau telah hilangnya perasaan cinta di antara keduanya serta konflik rumah tangga yang berlanjut yang akhirnya membawa banyak kemandhorotan diantara keduanya. Tanpa alasan-alasan tersebut, perceraian adalah kufur terhadap kemurahan Allah.61 Masalah perceraian dalam agama Islam telah diatur sedemikian rupa dalam ayat-ayat AlQur‟an dan beberapa Hadits Nabi yang yang berkenaan dengan hal tersebut sehingga mempunyai dasar hukum dan aturannya sendiri. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat At-Thalaq ayat 1:
61
Rahmat Hakim, Op.Cit., hlm., 158.
88
Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang,Itulah hukumhukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukumhukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (Q.S. At-Thalaq: 1)62 Selain ayat tersebut terdapat pula Hadits Nabi yang dipahami sebagai dasar hukum perceraian antara lain sebagai berikut :
ِ صلَّى اهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َ قَا َل َر ُس ْو ُل اهلل: َع ِن ا بْ ِن عُ َم َر َرض َى اهلل َع ْن ُه َما قَا َل . ص َّ َ هُ ااْ َ ااِ ُم َ اا ْه َو َ َ (َبْ َ ُ ااْ َ َ ِل ِاَى اهلل االَّ َ ُ ) َرَوااُ َبُ ْو َ ُاو َ َوابْ ُن
Artinya : Dari Ibnu Umar RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: (Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah talak) H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim.63 Dalam hal ini para ulama‟ berbeda pendapat untuk memutuskan hukum perceraian itu sendiri maupun perceraian di luar Pengadilan Agama. Berikut analisis pandangan mereka :
62 63
Ibid., hlm., 558. Al-Hafidz bin Hajar Asqolani, Op.Cit., hlm., 223.
89
Menurut Kyai Badaruddin selaku ulama‟ desa Kerso secara tegas beliau mengatakan bahwa perceraian dalam Islam merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah, artinya tetap boleh dilakukan namun dalam kondisi tertentu dengan alasan-alasan yang kuat. Sedangkan menanggapi fenomena perceraian di luar Peradilan Agama yang terjadi di Desa Kerso jika dilihat dari sisi Hukum Islam perceraian tersebut tetap sah jika rukun, syarat dan alasan perceraian tersebut terpenuhi namun jika dilihat dari sisi Hukum Negara perceraian tersebut tidak mempunyai cukup bukti dan tetap sah sebagai suami istri, dan ikrar talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama tidak mengakibatkan jatuhnya talak menurut pandangan Hukum Negara, karena di Indonesia telah ditetapkan aturan perceraian bahwa perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan Agama. Hal tersebut sejalan dengan pendangan Bapak H. Asnawi selaku sesepuh desa Kerso, bahwa talak
atau perceraian dalam Islam
merupakan perbuatan yang sangat jelek, buruk dan merupakan perkara mubah yang sangat dibenci Allah dimana sebisa mungkin dijauhi karena dapat membuat „Arsy Allah bergoncang, jika tanpa alasan yang kuat sebisa mungkin lebih baik dihindari namun dengan beberapa alasan perceraian tetap diperbolehkan jika dirasa sudah tidak ada solusi lain yang lebih baik selain perceraian. Sedangkan mengenai hukum talaq di luar Pengadilan Agama hanya sah dalam hukum Agama sedangkan secara hukum Negara masih sah sebagai suami istri. Menangggapi pernyataan Kyai Badaruddin selaku ulama‟ desa Kerso, perceraian atau talak sah asal syarat, rukun dan alasan-alasan talak terpenuhi. Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut :64 a) Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh 64
Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm., 179-180.
90
karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. b) Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri, tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. c) Shighat talak. Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak. Baik itu sharih (jelas) maupun yang kinayah (sindiran), baik berupa ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara, ataupun dengan suruhan orang lain. d) Qashdu (kesengajaan). Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkan untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang jatuh talak tersebut. Adapun syarat sahnya suami menjatuhkan talak antara lain sebagai berikut :65 a) Berakal. Artinya suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Dimaksudkan dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya. Orang yang tertutup akalnya karena minuman yang memabukkan yaitu minuman keras atau khamr, candu, narkotika, ganja dan lain sebagainya, sedangkan ia tau dan sadar akan keharaman perbuatannya itu, maka jika dalam mabuknya itu ia menjatuhkan talak, maka jatuhlah talaknya, tetapi jika minumannya itu bukan karena perbuatan dosa semisal karena tidak mengetahui bahwa yang diminum itu sesuatu yang memabukkan, atau mabuk karena berobat, maka talak yang dijatuhkan dalam keadaan seperti ini tidak dipandang jatuh. b) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. c) Atas kemauan sendiri. Dimaksudkan dengan atas kemauan sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena dipaksa orang lain. Alasan-alasan perceraian dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:66 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 65 66
Ibid., hlm., 179-181. Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit., hlm., 35.
91
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar ta‟lik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Sedangkan Bapak Baidlowi selaku modin Desa Kerso berpendapat
bahwa sudah selayaknya masyarakat sadar dan taat hukum, karena kalau masyarakat tau dan taat kepada Agama dan hukum, seseorang itu harus menyelesaikannya perceraiannya dengan baik dan bijak, kita menikah dengan sah, legal, baik-baik dan berdasarkan landasan hukum yang baik dalam perceraianpun kita harus selesaikan dengan baik-baik, bijak sah dan legal pula, untuk kebaikan masa depan suami istri ke depannya. Jikalau dalam kenyataannya masih ada yang bercerai di luar Pengadilan Agama secara syariat telah sah dan gugur pernikahannya tapi secara Hukum Tata Negara belum sah bercerai dan harus mengurusnya ke Pengadilan Agama setempat agar mendapatkan akta cerai yang sah. Supaya mantan istri dan suami apabila mau menikah lagi dengan suami atau istri baru tidak ada kendala dikemudian hari. Lain halnya dengan penuturan Bapak K.H. Busro selaku ulama‟ yang disegani di desa Kerso, beliau berargumen bahwa hukum agama jauh lebih dulu ada sebelum hukum yang dibuat pemerintah, mengenai perceraian isinya tetap sama cuma beda tata caranya saja, artinya jika sudah jatuh talak suami kepada istri maka berarti berlakulah hukum talak tersebut meskipun tidak di bawa ke Pengadilan. Pengadilan Agama hanyalah wadah atau tempat saja dalam proses perceraian, intinya jika
92
hukum agama telah ada maka harus lebih didahulukan dibanding hukum negara, dan sah tidaknya sebuah perceraian itu dasar Hukumnya diambil dari hukum agama. Namun kembali lagi kepada keyakinan masingmasing pribadi untuk melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama maupun melalui Pengadilan Agama. Mereka itu adalah sebagai tokoh masyarakat desa Kerso, yang menjadi figur panutan serta sebagai tempat bertanya tentang berbagai permasalahan agama (termasuk masalah hukum agama yang meliputi nikah, talak, rujuk) dan lain sebagainya. Oleh karena itu tentu pendapatpendapat/fatwa-fatwanya
akan
sangat
berpengaruh
terhadap
pembentukan pola pikir serta kepahaman hukum masyarakat, khususnya bidang hukum keluarga dalam hal ini berkenaan dengan talak atau perceraian, yang pada akhirnya dapat menciptakan perilaku hukum dalam masyarakat. Karena adanya pola pikir serta kepahaman hukum yang berkenaan dengan talak atau cerai seperti itu, maka hingga saat ini masih ada terjadi talak atau perceraian di luar Pengadilan Agama tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan masyarakat desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 yakni bahwa perceraian yang dianggap sah dalam KHI adalah perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan Agama sedangkan perceraian yang dilakukan di desa Kerso dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Dengan demikian, praktek perceraian masyarakat desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dapat dinyatakan tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia karena tidak berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan serta KHI dan sebagai warga negara yang baik sudah seharusnya mentaati aturan pemerintah yang berlaku selagi tidak bertentangan dengan Hukum Islam, karena
93
berdasarkan Firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ ayat 59 yang berbunyi:
Artinya
: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.67 Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kita
diperintahkan agar taat kepada “Ulil amri” di samping harus taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Maksud dari ulil amri adalah suatu pemerintahan yang telah dipilih dan diberikan amanat oleh umat manusia. Salah satu bentuk ketaatan kepada ulil amri adalah dengan mematuhi dan menjalankan produk hukum yang ditetapkan oleh ulil amri selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hal ini makna ulil amri merujuk pada hakim Pengadilan yang ditunjuk langsung oleh presiden. Pada praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kerso dasar hukum pelaksanaan cerai di luar Pengadilan Agama yang digunakan oleh masyarakat Desa Kerso adalah dasar perceraian yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni dapat dilakukan di depan orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum perkawinan Islam. Menurut penulis, dasar hukum Al-Qur‟an memang menjadi dasar dari segala hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia (umat Islam), termasuk dalam hal perceraian. 67
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 87.
94
Namun jika merujuk pada kedudukan hukum perceraian yang ada di Indonesia, perceraian di luar Pengadilan Agama adalah sebagai bentuk ketidaktaatan/pembangkangan terhadap Undang-undang berarti tidak taat kepada pemerintah/ulil amri dan tidak taat kepada ulil amri berarti juga tidak taat kepada Allah SWT karena menyalahi firman Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 59 seperti tersebut di atas. Karena itu harus ditinggalkan, dan kalaulah perceraian di luar Pengadilan Agama tidak dapat dikatakan haram, dan dengan melihat dampak-dampak yang ditimbulkan tersebut di atas maka menurut hemat penulis perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Kerso termasuk hal yang makruh hukumnya karena menimbulkan banyak kemadhorotan yang ada. Dengan demikian, proses perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kerso Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara dalam konteks hukum Islam dapat dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam karena adanya unsur pertentangan dengan nash al-Qur‟an yang lainnya.